Post Images
Tiga pekan lewat sejak tragedi Duren Tiga terjadi Jumat 8 Juli lalu, hingga akhir pekan ini masih misteri. Apa sebenarnya latar belakang tewasnya Brigadir J yang jazadnya sudah dieskhumasi (autopsi ulang) tim khusus bentukan Kapolri belum bisa mengungkapkan. Siapa otak dan pelaku yang menghabisi nyawa polisi muda dengan lima tembakan itu. Padahal, petunjuknya sudah jelas. Yakni, Irjen Ferdy Sambo dinonaktikan dari jabatan Kadivpropam, Brigjen Henry JG  dicopot jabatan Karopimnal, Kombes Budi dicopot jabatannya sebagai Kapolres Jaksel dan Bharada E yang diduga penembak nya. Tulisan kompilasi dengan data dari berbagai sumber ini --ada yang belum pernah dipublis-- merupakan analisa penulis. Bukan gatuk-matuk. Namun menggunakan nalar akal sehat. Dan tulisan ini panjang, bagi yang tertarik silakan baca hingga akhir. Terlalu banyak spekulasi dan teori yang beredar terkait kasus penembakan Brigadir J di rumah dinas Duren Tiga. Mulai dari penyiksaan, pelecehan, hingga tertangkap basah berselingkuh. Dan menimbulkan aneka teori. Gak apa-apa, simak saja. Tapi bagi yang ingin benar-benar mengetahui apa yang terjadi, sebaiknya fokus pada fakta-fakta yang kini bermunculan. Dalam penyelidikan modern, pencarian motif tidak begitu menjadi pertimbangan di awal penyelidikan. Ia akan menjadi pelengkap. Kadang bisa menjadi petunjuk, karena 95 persen kasus pembunuhan (dan bisa 99 persen jika ini pembunuhan karena kejahatan jalanan seperti begal dikesampingkan) itu selalu dilakukan oleh orang dekat korban. Gak bisalah seorang membunuh orang lain tanpa alasan. Kecuali psikopat pembunuh berantai yang dia membunuh karena dorongan --seperti orang minum ketika dia haus. Dalam penyelidikan, biasanya penyelidik membedakannya menjadi bukti petunjuk dan alat bukti. Bukti petunjuk itu biasanya sesuatu yang mengarahkan ke sebuah peristiwa, dan biasanya tak bisa berdiri sendiri tanpa bukti petunjuk yang lain. Kadang berkaitan, kadang tidak. Misalnya, telepon seseorang yang merasa dikejar-kejar kepada sahabatnya, dan kemudian terbunuh beberapa saat kemudian. Bisa jadi, pelakunya adalah org yang mengejar-ngejar itu. Tapi, bisa jadi juga tidak. Dia terbunuh oleh pelaku lain dengan motif yang lain. Atau contoh lainnya, ketika ada orang tewas tergantung dengan ada surat kematian di dekat mayatnya. Polisi tak lantas percaya begitu saja. Mereka akan melakukan olah TKP. Melihat posisi tali, posisi gantung diri, mengotopsi jenasah untuk mengetahui sebab kematian. Semua dilakukan untuk mengetahui apakah kemungkinan ini pembunuhan yang disamarkan sebagai bunuh diri ini bisa dihilangkan. Pada dasarnya, penyidik bekerja dengan membuka semua kemungkinan, dan olah TKP dan penyelidikan sebenarnya untuk mengeliminasi satu demi satu kemungkinan, sehingga hanya satu kemungkinan yang tertinggal. Penyidik melakukan olah TKP dan mengumpulkan barang bukti, dan berharap menemukan alat bukti kuat (dalam sistem hukum Indonesia, setidaknya harus ada dua alat bukti). Lebih baik jika menemukan smoking gun evidence, atau barang bukti telak, seperti rekaman CCTV. Untuk itu, maka penting sekali TKP harus steril dan segera dilakukan olah TKP. Karena ada hukum “pertukaran material” yang terjadi di TKP. Bisa jadi sidik jari, bisa jadi ceceran rambut pelaku, bisa jadi ada rekaman CCTV, atau potongan daging yg menempel di kuku korban saat melawan. Nah, sekarang apa saja alat bukti yang ada yang ditemukan penyelidik ? Sejauh ini, dalam kasus Brigadir J, TKP sudah “rusak”. Artinya penanganan tidak profesional. Bahkan, ketika tragedi ini direlease Mabes Polri pada Senin (11/7), tidak ada garis polisi untuk membuat TKP steril. Ini mengherankan dan bisa menjadi bukti petunjuk awal kejanggalan. Divpropam adalah penyelidik berpengalaman, kok bisa tidak menerapkan standar penyelidikan yang benar. Ada apa? Nanti saja pembahasannya. Selain TKP tanpa police line, tiga CCTV yang paling krusial disebut rusak, dan tidak jelas rimbanya. Yang pertama CCTV di rumah dinas, yang kedua CCTV pos sekuriti yang menyorot ke rumah dinas, dan yang terakhir CCTV di rumah Kasatreskrim Polrestro yang bertetangga persis sebelahan dengan TKP. Semua katanya sudah diamankan di hari pertama, dan sekarang tak jelas apakah rusak atau tidak. Yang jelas, tidak ada hasilnya dalam kompilasi video CCTV yang telah dibuat di Polda Metro Jaya. Ini yang kemudian disebut kejanggalan kedua, kenapa justru tiga titik CCTV yang bisa menunjukkan siapa saja yang ada di TKP, atau bahkan peristiwa jahat itu terjadi, justru sekarang rusak atau tidak jelas semua ? Alamak.. Dari hasil rilis Komnas HAM dan sejumlah media, kompilasi video itu memang tak bisa jadi smoking gun evidence. Tapi, bukannya tidak bicara. Penulis coba resumekan dengan singkat seperti ini. Langsung to the point pada waktu-waktu pentingnya. Ini penulis rangkum dan kroscek silang dari ulasan media dan pernyataan pejabat publik: 1. Pukul 15.49, Brigadir J terakhir kali terlihat hidup dari CCTV di kediaman Irjen Ferdy Sambo di Jalan Saguling III, yang berjarak hanya 500 meter dari TKP/rumah dinas di Duren Tiga. 2. Pukul 17.07, Ny Putri Chandrawati (PC) terlihat berangkat ke rumah dinas dari kediaman. Terlihat dari CCTV 3. Pukul 17.09, CCTV tetangga rumah dinas menunjukkan PC melintas dan diperkirakan sampai pada 17.10. 4. Pukul 17.10, Irjen Ferdy Sambo terlihat meninggalkan kediaman di Saguling, setelah terakhir kali terlihat datang dan masuk ke dalam rumah pada pukul 15.29. Ada selisih waktu 101 menit, Irjen FS tidak terlihat di CCTV. Entah menuju rumah dinas atau gimana, yang jelas mobil Lexus yang ditumpangi sang Jenderal terekam di CCTv tetangga rumah dinas, yg artinya berdekatan dengan TKP. 5. Pukul 17.11, ada telepon panik PC ke Irjen FS, yang langsung ke TKP. 6. Pukul 17.20, mobil Alphard yang kemungkinan ditumpangi Irjen FS dan PC terekam CCTV tetangga melintas yang balik menuju ke kediaman di Jalan Saguling. 7. Pukul 17.30, FS dan PC terekam masuk rumah. Dengan kondisi PC yang terlihat syok dengan mata sembap seperti menangis. Nah, demikian kira-kira kronologi yang dihasilkan CCTV. Dari Brigpol J diketahui hidup, hingga tewas (yang diperkirakan diketahui pada 17.11, saat PC melakukan telepon panik ke FS), ada jarak 82 menit. ANALISA: Jarak 82 menit memang cukup panjang dan bisa membuat orang seperti Brigadir J yang segar bugar menjadi tewas dengan sekujur luka (pastinya berapa luka tembakan, atau adakah luka siksaan, menunggu hasil resmi otopsi saja). Namun, baiknya kita menguji narasi “pelecehan berujung baku tembak” yang dirilis Polres Jakarta Selatan bersama Div Propam di awal pengumuman kasus pada 11 Juli lalu. Dengan narasi PC dilecehkan, maka peristiwa “pelecehan berikut baku tembak” terjadi pada pukul 17.11 itu. Pertanyaannya, masuk akal kah narasi itu? Mari kita lihat faktanya. PC sampai di kediaman pukul 17.10. Artinya hanya semenit sebelum melakukan telepon panik. Bisakah terjadi pelecehan dalam waktu semenit? Itu termasuk PC membuka pagar, membuka pintu, masuk kamar, berganti baju, kemudian tertidur, kemudian Brigadir J masuk kamar, meraba-raba paha (seperti dalam laporan di Polres Jaksel), menodongkan senjata ke kepala PC? Ini sangat janggal. Karena, dari keadaan hendak berbaring dan tertidur tentu butuh waktu beberapa menit. Lagipula, segelap mata apa Brigadir J langsung masuk kamar dan hendak merudapaksa PC, ketika di dalam rumah itu, ada dua orang lainnya. Lagipula, jika memperhitungkan ketibaan Irjen FS di TKP, maka seluruh rangkaian narasi itu, mulai dari terjadinya pelecehan hingga terjadi baku tembak yang menghabiskan 10 selongsong peluru itu, hanya terjadi dalam waktu 2 menit 40 detik. Narasi “pelecehan berujung baku tembak” nyaris tak masuk akal. Mungkin inilah yang menjadikan masyarakat mengkritik dan mengawasi, meski berangkat dari logika spekulatif yang masuk akal: “mungkinkah seorang bintara bisa sedemikian celuthak (kurang ajar, Red) dan nekat melecehkan istri atasannya yang dikenal sebagai seorang jenderal sangar?” Lalu apa isi telepon panik PC ke Irjen FS pada 17.11? Ini yang harus ditelusuri lagi. Jika kemungkinan terjadi pelecehan bisa dieliminir, maka kemungkinannya dua: PC melihat Brigadir J sudah tewas tertelungkup bersimbah darah di rumah dinas (mengindikasikan Brigadir J dieksekusi entah oleh siapa, tapi tidak mungkin oleh Bharada E. karena katanya Bharada E bersama PC saat masuk rumah) PC di dalam kamar tiba-tiba mendengar suara tembakan yang membunuh Brigadir J (mengindikasikan bahwa Brigadir J dieksekusi dengan sangat cepat, jika dia benar ikut rombongan PC) Soal penyiksaan? Jika yang terjadi adalah kemungkinan kedua (yang PC mendengar suara tembakan), maka tidak ada penyiksaan. Langsung eksekusi begitu saja. Pembunuhan berencana. Karena waktunya hanya 2 menit 40 detik. Jika yang terjadi adalah kemungkinan pertama (PC datang dan melihat Brigadir J sudah tergeletak menjadi mayat), maka kemungkinan Brigadir J dibunuh dan kemungkinan bisa disiksa dalam rentang 82 menit itu. Sayangnya, sampai di sini bukti petunjuk CCTV yang ada membawa kronologi. Inilah kenapa rusaknya CCTV di rumah dinas, pos sekuriti, hingga tetangga sebelah menjadi sebuah kejanggalan. Apalagi, rusaknya setelah diamankan entah provos, entah tim olah TKP Polrestro Jaksel. Maka, seharusnya ada penyelidikan tersendiri kepada tim Div Propam atau Polres Jaksel mengenai penanganan TKP yang sembrono, yang sebenarnya lebih terindikasi sebagai penghilangan barang bukti. Irjen FS adalah reserse kawakan, dan dengan jabatannya, dia tentu sangat menguasai teknik olah TKP dan prosedurnya. Maka, nyaris mustahil dia melakukan olah TKP pertama dengan sesembrono ini. Oya, satu lagi, saya tidak bisa memahami ketika di awal pengumuman, Irjen FS membuat alibi dia tidak ada di TKP karena melakukan tes PCR di luar. Padahal, hasil rekaman CCTV yang dilansir Tempo menyebutkan bahwa PC maupun Brigadir J justru melakukan tes PCR di rumah. Ketika ada fasilitas PCR mandiri di rumah, kenapa Irjen FS justru membuat alibi tes PCR di luar? Apalagi temuan media, seperti IDN Times menunjukkan bahwa di tempat langganan Irjen FS PCR, pada hari itu Irjen FS tidak datang. Kenapa Irjen FS berbohong? Apa yang ditutupinya dengan alibi itu? Nah, demikianlah fakta-fakta yang saya ketahui dari hasil merangkum apa yang telah dirilis Komnas HAM dan ulasan-ulasan media. Silakan menambahi alternatif kemungkinan, jika saya luput… Bagaimana dengan senjata, ponsel, dan sebagainya. Nah, saya tak membahasnya karena saya kurang yakin. Yang pertama harus uji balistik, dan sampai saat ini belum ada rilis terbaru dari tim gabungan yang saya jadikan patokan. Yang kedua, karena saya tak yakin dengan keaslian TKP. Misalnya, soal bolong-bolong peluru di tembok. Karena TKP sejak hari pertama diragukan kesterilannya (dan juga karena saya tak bisa melihat TKP secara langsung), maka ya apa pun di TKP ya saya agak meragukannya. Karena itu bisa diengineer oleh profesional. Perlu ahli Inafis jempolan untuk bisa memastikan mana yg rusak, dan mana barang bukti yg berkaitan langsung dengan kasus. Juga soal ponsel. Yg diserahkan penyidik Polda Metro Jaya adalah dua buah iPhone brigadir J yang ter-passcode. Pertama, kata keluarga hape korban adalah samsung, ini bisa diragukan. Yang kedua, iPhone ter-passcode gak akan pernah bisa dibuka. FBI pernah nyerah ketika Apple menyatakan tak bisa dan tak mau membuka iPhone seorang tersangka teroris yang mati. Jadi begitu untuk soal-soal yang saya tak begitu paham atau ragu, saya tak akan berani membahas. (*) sumber: kempalan
Irjen Ferdy Sambo Polisi Tembak Polisi Misteri 82 Menit Rumah Irjen Ferdy Sambo Kardono S

Share :

admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Blog Unggulan

Surat Kabar

Daftar dan dapatkan blog dan artikel terbaru di kotak masuk Anda setiap minggu

Blog Terbaru