Post Images
Catatan Farisi Aris* Banyak orang meyakini bahwa Pilkada Sumenep hanya akan diikuti oleh dua pasangan calon (paslon), yakni Fauzi-Eva dan Fattah-Mas Kiai. Kecuali saya. Ya, saya. Saya tidak sepakat dengan keyakinan itu. Mengingat, masih ada kelompok ketiga yang tiada henti merapal doa dan membangun gerakan. Tak usah dirahasiakan lagi, ia adalah Ra Mamak. Yang sampai hari ini, masih satu barisan dan satu tujuan untuk memperjuangkan kursi 1 Sumenep bersama para Relawan dan Loyalisnya yang super solid dan super kompak itu. Mungkinkah Ra Mamak tetap maju, meski kakaknya (Kiai Ali Fikri)—selanjutnya disebut Mas Kiai—menjadi cawabup Fattah Jasin atau Gus Acing? Itu sangat mungkin. Bagi kiai-kiai Annuqayah perbedaan haluan politik adalah hal biasa. Tidak ada ceritanya perbedaan politik menjadi jurang pemecah keharmonisan keluarga. Urusan politik biarlah apa kata politik. Soal keharmonisan dan kerukunan keluarga harus tetap terjaga. Sebagai tambahan informasi saja. Di Pilgub Jatim, antara Mas Kiai dan Ra Mamak sudah berbeda pilihan. Ra Mamak mendukung Khofifah Indar Parawansa. Sementara Mas Kiai mendukung Gus Ipul-Mbak Puti. Di Pilpres 2019. Petanya pun demikian. Keduanya tetap beda haluan. Mas Kiai dengan sukarela mendukung Prabowo-Sandi. Sementara Ra Mamak mendukung Jokowi-Ma'ruf. Bahkan, fakta yang lebih unik, menurut pengakuan Mas Kiai beberapa saat lalu, beliau pernah nyaleg di Dapil III dan berhadapan dengan kakak sepupu dan majhedi'-nya sendiri. Yakni, Kiai Washil dan Kiai Muhsin Amir. Semuanya kalah. Kompetisi dimenangkan oleh calon luar. Yaitu Salim. Namun, semuanya biasa-biasa saja. Tak mempermasalahkan itu. Meski, sebelum itu sempat ada diskusi “kopi hangat”. Tetapi persatuan dan kesatuan tetaplah kokoh. Jadi, jika hanya masalah berhadapan dengan saudara kandung sendiri, nanti. Kemungkinan Ra Mamak akan tetap maju. Selama ada kendaraan politik yang akan mengantarkannya. Sebab, sekali lagi, perbedaan jalan politik, adalah hal biasa bagi beliau berdua. Apalagi, pendaftaran ke KPU masih akan berlangsung 4-6 September nanti. Yang artinya, perubahan-perubahan politik yang amat mengejutkan masih sangat berpeluang untuk terjadi. Hari ini, sah-sah saja jika mayoritas partai politik (parpol) memberikan surat rekomendasi kepada Fattah-Mas Kiai dan, sebagian kepada Fauzi-Eva. Maka dari itu, sah-sah pula jika di kemudian hari, mendekati pendaftaran ke KPU, sebagian parpol banting setir. Menarik dukungan. Dan mendukung Ra Mamak. Jangankan masih tersisa waktu selama satu minggu lebih. Itu terlalu lama. Dalam kurun 30 menit saja, perubahan politik masih sangat mungkin terjadi. Bagian dan contoh nyatanya adalah kasus Mahfud MD di Pilpres 2019. Saat itu, sebagaimana mafhum diketahui, Mahfud MD 80% telah kongkret akan mendampingi Jokowi di Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019. Bajunya sudah siap. Tinggal pengumuman saja kepada publik. Namun, bagaimana akhirnya? Mahfud MD dikecewakan. Ternyata bukan namanya yang disebut dalam pengumuman. Tetapi, Kiai Ma'ruf Amin. Yang secara politik, amatlah lemah. Isu yang berhembus mengapa bukan Mahfud MD yang mendampingi Jokowi pun bertebaran. Bak angin yang berhembus dengan cepat. Isu itu segera menjadi trending topic. Salah satunya, karena konon, Mahfud MD bukanlah kader NU. Kata NU, Kiai Aqil Siradj, tepatnya. Jika bukan kader NU yang mendampingi Jokowi, NU akan menarik dukungan. Jika NU absen dalam barisan Jokowi, tentu hal itu adalah kesalahan fatal bagi Jokowi. Sebab, NU adalah golongan mayoritas. Membiarkan NU absen, itu sama halnya dengan membiarkan separuh pendukung Jokowi mbalelo. Akhirnya, perubahan mengejutkan nan mengecewakan bagi Mahfud MD pun dilakukan. Semuanya, tak lepas hanya untuk menyelamatkan dukungan NU agar tetap dalam barisan. Begitulah politik. Kasus yang menimpa Mahfud MD bukanlah kasus satu-satunya di Indonesia. Kasus Megawati dan Gus Dur di Pemilu 1999, adalah bagian lain yang menunjukkan bahwa politik memang semaunya saja merubah keputusan. Saat itu, sebagaimana ditulis Greeg Barton dalam Biografi Gus Dur, awalnya Gus Dur sudah menyatakan dukungan kepada Mbak Mega. Tanpa menyadari, Mbak Mega percaya diri bahwa akan memenangkan Pemilu. Padahal, sebagian elite politik secara diam-diam mulai tak mempercayainya. Akibatnya, sebagai luapan ketidakpuasan sebagian elite kepada Mbak Mega itu. Hamza Haz mulai bisik-bisik soal Poros Tengah kepada Amin Rais, sang orator Reformasi 98 itu. Amin Rais menyetujui itu. Dan menawarkannya kepada Gus Dur. Gus Dur pun mau. Maka mulai bekerjalah kelompok Poros Tengah itu. Dan akhirnya, Mbak Mega yang awalnya didukung Gus Dur, dan pede akan memenangkan Pemilu, terpaksa harus menerima kekalahannya saat pemilihan di parlemen. Dan Gus Dur-lah pemenangnya. Kesimpulannya, dari dua peristiwa politik Nasional itu. Kita dapat menerjemahkan bahwa seperti yang saya katakan di atas, dunia politik adalah dunia yang tidak konsisten. Kapan saja, dan di mana saja, ia bisa mengubah timur menjadi barat. Dan barat jadi timur. Dan, katidakpuasan sepihak adalah modal ketidakkosistenan politik itu. Lalu, bagaimana di Pilkada Sumenep, mungkinkah akan ada Poros Baru yang akan menawarkan keuntungan untuk Ra Mamak? Jawabannya sangatlah mungkin. Modal utamanya adalah ketidakpuasan para kader partai yang ada di Sumenep pada surat rekomendasi DPP. Kecuali PDI-P-Gerindra. Keduanya sudah klop. Seperti kata pengamat, keduanya tak mungkin berpisah. Sebab, ada momen besar-besaran yang hendak mereka persiapkan di tahun 2024. Selain keduanya. Ketidakpuasan masih mengharu-biru. Jika saya menyebut, khususnya adalah di PPP dan PKB. Orang-orang PPP dan PKB, tanpa harus dirahasiakan sebenarnya merasa jengkel dengan surat rekomendasi DPP masing-masing. Satu-satunya alasan, yang direkomendasi karena bukanlah kader sendiri. Melainkan kader impor. Kader sendiri, yang berpeluh-peluh membesarkan partai, malah diabaikan. Lamarannya ditolak. Kalau kata muda-mudi kini, “kena tikung di sepertiga malam.” Orang-orang PKB, secara struktural, yo pasti sudah memperjuangkan Fattah-Mas Kiai. Namun, secara personal, orang-perorang, saya tidak yakin sama. Salah satu tokoh berpengaruh dalam PKB, beberapa saat yang lalu, malah sudah menyatakan dukungan kepada Fauzi-Eva. Dan, begitupun di PPP. Kurang lebih sama. Mengingat yang melamar surat rekomendasi lalu, ketua DPC PPP sendiri yang akhirnya dikecewakan. Tentu ketidakpuasan itu akan semakin menemukan puncaknya. Lalu, kapankah Poros Baru itu akan muncul? Tunggu dulu. Hal itu masih jauh. Kecuali, kader-kader PKB-PPP Sumenep yang merasa tidak puas pada keputusan DPP itu berani mengungkapkan ketidakpuasannya kepada DPP keduanya. Menyatakan keberatan. Membuka opini baru. Yang sekiranya membuat DPP PPP-PKB mengubah keputusannya, seperti halnya kasus politik yang menimpa Mbak Mega dan Mahfud MD. Jika DPP berani membuat keputusan yang mengejutkan kader. Para kader juga harus berani membuat gebrakan untuk DPP. Yang, sekiranya DPP mau berpikir ulang tentang keputusannya dan, berencana membangun Poros Baru. Pun gerakan ini terindikasi konyol. Setidaknya perjuangan memperjuangkan kebenaran yang dianggap benar telah dilakukan. Tidak tunduk-patuh pada atasan. Tunduk-patuh tidak selamanya kebaikan. Pada konteks tertentu, ia adalah keburukan. Kata Erich Fromm, “Sejarah umat manusia berawal dari ketidakpatuhan, dan bukan tidak mungkin sejarah umat manusia justru akan berakhir dengan kepatuhan.” Kepatuhan macam apakah itu yang akan menjadi biang kehancuran umat manusia? Dalam konteks politik PKB-PPP, adalah bertindak patuh saat melihat rekom DPP partai yang jelas-jelas salah alamat. Itu kemungkinan yang pertama. Kemungkinan lain yang juga berpotensi akan memberi kejutan politik adalah partai yang pecah kongsi. Yakni, PAN dan Hanura. Bukan tidak mungkin kedua partai ini akan urun rembuk untuk menyelesaikan konflik kekeluargaannya. Dan, satu-satunya jalan agar kedua partai ini kembali harmonis adalah sama-sama menarik dukungannya dari kedua paslon. Itu adil bagi kedua kelompok partai yang pecah kongsi ini. Sebagai jalan alternatif, karena menarik diri, dan tidak mungkin menjadi penonton Pilkada Sumenep saja, satu-satunya jalan adalah membangun Poros Baru. Jika hal ini dilakukannya oleh kedua partai: PAN dan Hanura, dan bertepatan dengan luapan ketidakpuasan kader PPP dan PKB pada keputusan DPP, nantinya. Inilah momen politik yang sesungguhnya: ambyar. So, benar atau salah itu akhirnya. ini cuma analisisnya. *) Esais dan Penikmat Politik
Pilkada Sumenep Pilkada Sumenep Pilkada 2020 Pilkada 2020 Meninjau Peluang Poros Baru Poros Tengah Poros Baru Pilkada Sumenep

Share :

admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Blog Unggulan

Surat Kabar

Daftar dan dapatkan blog dan artikel terbaru di kotak masuk Anda setiap minggu

Blog Terbaru