Oleh: Moh. Busri*
Hari ini Kabupaten Sumenep sedang ramai dengan perbincangan tentang Pemilihan Bupati (Pilbup) yang sudah hampir dilaksanakan. Perbincangan akan hal itu tidak lagi menjadi pembahasan asing, sebab setiap individu memiliki kriteria yang berbeda-beda akan pemimpinnya. Namun dari berbagai perbedaan kriteria yang diinginkan dapat disimpulkan bahwa semua rakyat yang ada di Sumenep memiliki keinginan untuk mendapatkan pemimpin yang adil dan bertanggungjawab akan semua beban yang dipikulnya.
Sumenep merupakan kabupaten yang masih kental dengan paradigma klasik tentang keagamaannya yang mayoritas penganut agama Islam. Dari hal tersebut muncullah dua pandangan yang bertolak belakang. Sehingga, pertama tidak heran apabila masyarakat selalu mencari pemimpin yang ber-backrground pesantren atau disebut sebagai Ulama. Kedua, mereka berpandangan bahwa Ulama adalah tokoh panutan umat yang seharusnya tidak terjun pada ranah politik. Sebab jika Ulama’ sudah terjun pada ranah politik, maka akan cenderung melupakan perannya sebagai panutan dan pembimbing umat.
Dua pendapat ini sudah menjadi hal yang lumrah terjadi. Bahkan di tengah-tengah problematika seperti itu seringkali muncul pertanyaan, bolehkah Ulama berpolitik?
Persoalan ini dijawab oleh Darwies Maszar dalam bukunya, Perilaku Politik Ulama dan Kiai Dalam Sorotan (2008: 94), “....ulama pun seharusnya didudukkan pada posisi sebagai manusia yang juga memiliki keinginan untuk menikmati seni berpolitik. Jadi, berpolitik dengan tetap berpatokan pada nilai-nilai kemanusiaan merupakan sesuatu yang sangat lumrah terjadi dan dilakukan oleh semua orang, termasuk oleh kalangan ulamaâ€. Sedangkan menurut Aristoteles dalam Darwis (2008: 95), “manusia adalah political animal (hewan politik), di mana dia ada dalam masyarakat politik dengan jenisnya sendiriâ€.
Kolaborasi Background dan Kemampuan
Untuk memilih seorang pemimpin tentu tidak cukup hanya melihat dari latar belakangnya yang ber-background pesantren atau disebut Ulama. Akan tetapi, kemampuan dalam kepemimpinan juga merupakan sesuatu yang paling utama. Percuma jika dalam memilih pemimpin hanya dilihat dari ke-ulamaan-nya, sementara tidak memiliki kemampuan dalam kepemimpinan.
Maka dari itu, boleh saja mencari atau memilih pemimpin dari kalangan Ulama asalkan memiliki kemampuan dalam kepemimpinan. Sumenep membutuhkan pemimpin yang mampu membawa perubahan lebih baik, terlepas dari harus Ulama ataupun tidak.
Berbicara tentang kepemimpinan, ada banyak pendapat dari beberapa pakar. Salah satunya adalah Gareth Jones and Jennifer George (2003: 440) yang mengatakan bahwa kepemimpinan adalah proses seorang individu untuk mempunyai pengaruh terhadap orang lain dan mengilhami, memberi semangat, memotivasi dan mengarahkan kegiatan-kegiatan mereka guna membantu tercapai tujuan kelompok atau organisasi.
Artinya seorang pemimpin harus mampu memberikan pengaruh besar terhadap orang lain, baik dalam bentuk pemberian semangat, motivasi, ataupun pengarahan dalam kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan kelompok yang lebih baik. Jika seorang pemimpin tidak dapat memberikan pengaruh yang lebih baik dalam segala bentuk cara yang positif, maka hal tersebut bisa dikatakan gagal dalam kepemimpinannya.
Paradigma Money Politic
Pada dasarnya ada beberapa persoalan yang terjadi di tengah masyarakat dalam pemilihan seorang pemimpin di tataran birokrasi yang tidak pernah lepas dengan adanya money politic. Permasalahan tersebut timbul tidak hanya disebabkan oleh pemimpinnya yang tidak bertanggung jawab, akan tetapi rakyat sebagai pengusung atau pemilik hak suara juga secara tidak langsung telah melahirkan permasalahan yang demikian, dengan tetap membudayakan adanya money politic.
Seringkali muncul wacana bahwa untuk menjadi seorang pemimpin di tataran birokrasi harus menghabiskan uang yang cukup banyak, sehingga sah-sah saja pada saat telah berhasil menduduki kursi tersebut, dia akan memotong hak rakyat untuk menarik kembali modal yang pernah dikeluarkan diawal.
Oleh karena itu, sebelum memikirkan tentang pemimpin yang ideal seharusnya persoalan money politic yang telah menjangkit masyarakat sangat perlu untuk diselesaikan terlebih dahulu, agar supaya pemilik hak suara akan lebih objektif dalam memilih pemimpin untuk Sumenep. Dan untuk terciptanya kepemimpinan yang baik, maka perlu adanya kesadaran bersama, baik calon pemimpin ataupun juga dari rakyat.
Sumenep Kaya, Tapi...
Sumenep merupakan kabupaten yang cukup kaya dengan sumber daya alamnya, terdapat banyak sumur migas. Bahkan kota ini juga dikenal sebagai kota penghasil garam terbanyak di pulau Madura. Oleh karena itu, jika saja pemimpin (Bupati) Sumenep mampu mengelola kepemimpinannya dengan baik, tentu kekayaan alam tersebut dapat mendorong untuk kemajuan kota ini yang sekarang dikenal sebagai The Soul of Madura.
Menurut data yang dilansir Koran Madura pada 31 Agustus 2018, terdapat 32 sumur migas di Sumenep. dan sudah 7 yang ditawarkan ke investor, sementara 4 diantaranya sudah mulai beroperasi. Dari 4 ladang migas tersebut dapat menghasilkan 450 metrik ton gas. Namun sayangnya, kota ini tidak dapat menikmati kekayaannya secara penuh, karena potensi tersebut dinyatakan bukan berada di wilayah kerja pertambangan Sumenep, melainkan berada di wilayah kerja pertambangan provinsi Jawa Timur.
Jika saja Sumenep diakui sebagai wilayah kerja pertambangan, maka berdasarkan Undang-Undang tentang minyak dan gas bumi, daerah penghasil akan mendapatkan 15% dari laba yang diterima pemerintah Indonesia untuk gas, dan 30% untuk minyak. Akan tetapi karena kota ini tidak dinyatakan sebagai wilayah kerja pertambangan, maka dana yang diperoleh hanya dana Community Development (CD) dan dana Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang hal tersebut tidak seberapa.
Maka dari kasus kecil ini yang dapat berdampak besar bagi kehidupan dan kemajuan Sumenep tentu harus disikapi secara mendalam, dan semua itu hanya bisa diatasi jika pemimpinnya benar-benar mempunyai komitmen mengabdi untuk bangsanya sendiri. Dari sejak dahulu hingga sampai saat ini sumpah serapah beserta janji-janji calon pemimpin seringkali menjadi harapan besar yang basi bagi masyarakat bawah, sebab mereka tidak dapat melihat bukti nyata dari semua itu.
Maka hal tersebut harus bisa menjadi sebuah evaluasi yang dapat membawa Sumenep menjadi lebih baik di masa mendatang. Yaitu dengan mengawal secara terus menerus sampai tuntas setiap kasus yang berkaitan dengan aset kota Sumenep, dan memberikan pelayanan secara baik pada masyarakat dari yang berbentuk pendidikan, layanan pekerjaan, dan yang lainnya. Sebab, seorang pemimpin merupakan sandaran kuat rakyat bawah yang sejatinya tidak paham mengenai persoalan birokrasi, maka sejatinya pula seorang pemimpin harus bisa berpengaruh positif pada masa kepemimpinannya.
*Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI). Aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM Retorika) STKIP PGRI Sumenep.
Write your comment
Cancel Reply