Oleh: Om Jo*
matamaduranews.com-Pilkada serentak 2020, tidak lama lagi akan menggelegar bumi pertiwi. Pemilu pada hakekatnya adalah mekanisme mendulang suara rakyat.
Salah satu kantong suara yang menggiurkan adalah lingkungan pesantren. Sebab, pada komunitas ini berlaku budaya paternalistik yang sangat kuat.
Sosok Kiai menjadi patron yang efektif dalam pengambilan keputusan. Sehingga para politisi tidak perlu capek-capek bekerja keras untuk meraup suara sebanyak-banyaknya. Kiai menjadi tokoh kunci.
Nah, berbincang tentang pesantren, maka itu identik dengan NahdlatulUlama (NU). Sebab mayoritas pesantren di
negeri ini memang berafiliasi ke organisasi NU.
Masalahnya, upaya menarik komunitas NU ke tengah kancah politik kerap melahirkan problema tersendiri bagi ormas tersebut.
Karenaitu, pada Muktamar NU 1984 di Situbondo, diterbitkanlah pedoman tentang; Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926.
Salah satu pedoman yang diterbitkan adalah; Ulama sebagai unsur NU menyadari keprihatinan terhadap perkembangan NU dan meras perlu menegaskan pedoman dan petunjuk bagi perkembangan organisasi.
Selama menjadi partai politik atau menjadi unsur partai politik, NU telah mengalami kekaburan identitas.
NU sebenarnya adalah organisasi keagamaan, tetapi dengan menjadi partai politik, maka ia menjadi terpaku pada
prestasi dan prestise politik ketimbang menanggapi perkembangan di sekitarnya secara keagamaan.
Ummat NU juga mengalami disintegrasi dan terjadi saling hujat-menghujat di antara sesama ummat Nahdliyin.
Para Kiai pun banyak yang mangkir dari tugas mengajar di pesantren karena sibuk berpolitik.
Bidang-bidang sosial kemasyarakatan menjadi terabaikan demi prestasi dan prestise politik praktis.
Greg Fealy, dalam buku Ijtihad Politik Ulama; Sejarah NU 1952-1967 mencontohkan, divisi dakwah NU kekurangan staf dan pemimpin. Sehingga kegiatannya dilakukan asal-asalan.
Alhasil, politik praktis telah mengantarkan NU menjadi lembaga yang kurang tanggap terhadap persoalan-persoalan riil yang muncul di tengah masyarakatnya.
Abd A'la, seorang pengasuh PesantrenAn-Nuqayyah, Sumenep, dalam artikelnya pernahmengatakan;
"...terbengkalainya kerja kultural NU itu membuat kehidupan komunitas NU dan budayanya, terutama di tingkat akar rumput, benar-benar tidak mengalami pencerahan. Misalnya, nilai-nilai ke-'ADAB-an menjadi memudar dari kehidupan mereka. Mereka memetaforsis menjadi semacam kekuatan yang sampai pada batas tertentu mengusung 'keberingasan' sosial agama dan budaya."
NU, kata Abd A'la, terjebak ikut mengembangkan tipologi 'santri-abangan' yang senyatanya kental dengan colonial mindset (cara berfikir kaum penjajah).
Dalam tataran budaya, fenomena semacam itu, menjadi mengedepan pula. Dengan demikian, NU kurang mampu lagi menyikapi secara akomodatif, kritis dan kreatif. Akibatnya, visinya menjadi mandul, tidak viable dan jauh dari nilai-nilai transformatif," begitu A'la menegaskan.
"Kekurang-mampuan dalam menerjemahkan dan mengemban visi dan misinya itu, kata A'la, telah menyudutkan warga NU menjadi kelompok periferal (pinggiran), yang hanya diperhitungkan karena aspek kuantitasnya, bukan kualitasnya."
Dalam peristilahan KH Mustofa Bisri (Gus Mus), orang lain sering menggunakan potensi NU, sedangkan ummat
NU sendiri sangat sedikit mendapatkan manfaat dariorganisasi.
"Ibaratnya, NU hanya digunakan untuk mendorong mobil mogok. Ketika mobilnya jalan, NU-nya ditinggalkan," begitu kata Gus Mus, sang Kiai kharismatik asal Rembang.
Wallahu a'lam
*Penulis lepas tinggal di Pabian, Sumenep.
Write your comment
Cancel Reply