Catatan: Hambali Rasidi
matamaduranews.com-PKB Sumenep perlu niru gaya politik Gus Dur.
Waktu mahasiswa.Tahun 1996. Gus Dur berceramah di Ponpes Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya.
Gus Dur menyampaikan pesan ke jamaah yang hadir. Agar warga NU ada di mana-mana.
“Warga NU harus jadi ABRI. Jadi Polisi. Jadi Bupati. Jadi Gubernur. Kalau bisa jadi Presiden,†dawuh Gus Dur dengan intonasi tinggi.
Lalu disambut dengan gemuruh tepuk tangan jamaah.
Maklum, waktu itu saya mahasiswa. Hanya ikut tertawa dan sengar sengir mendengar ceramah Gus Dur. Gak ngerti apa pesan tersirat yang disampaikan.
Waktu itu. Rezim Orde Baru. Boro-boro jadi Bupati, Gubernur atau Presiden. Warga NU jadi Ketua Umum Parpol peserta pemilu saja, tak bisa
“Warga NU, Hanya dibutuhkan saat pemilu. Suara warga NU menjanjikan. Setelah pesta usai, ya..diberi secuil diantara secuil kekuasaan,†kata banyak pengamat saat saya baca di koran-koran dan majalah.
Tahun 1997. Itu pemilu terakhir Orde Baru. Gus Dur mengkampanyekan Golkar.
Gus Dur ngajak Mbak Tutut berkeliling ke pesantren-pesantren. Ponpes tersohor, lagi. Bukan Ponpes yang santrinya puluhan orang.
Para Kiai NU banyak yang tersulut. Terutama para Kiai NU yang menjadi pengurus PPP.
Macam-macam responnya. Seandainya dulu ada medsos. Tak terbayang bagaimana bullying ke Gus Dur.
Akrobat politik Gus Dur tak masuk nalar. Para pengamat politik yang emang subjektif. Macam-macam menilai Gus Dur. Pragmatis-lah. Mendukung penguasa dzalim-lah. Dan macam-macam narasi penilaiannya.
Sebagai mahasiswa saya juga bingung. Senior selalui mendoktrin anti kemapanan. Orde Baru sebagi rezim otiriter. Harus dilawan.
Sementara Gus Dur. Bermesraan politik dengan Mbak Tutut. Putri Soeharto. Penguasa Orde Baru.
Para Kiai yang setia ke NU juga bingung. NU sudah deklarasi di Muktamar 1984 di Situbondo.
NU Kembali ke Khittah. NU tak boleh berpolitik praktis. NU sebagai organisasi masyarakat dan keagamaan. Fokus pada pemberdayaan ummat.
Warga NU banyak yang miskin. NU harus memberdayakan ekonomi ummat. Ummat harus dicerdaskan.
Begitu kesimpulan saya baca latarbelakang dan tujuan NU Kembali ke Khittah 1926.
NU setelah Muktamar Situbondo memang fokus pemberdayaan ekonomi dan pendampingan bagi warga NU yang tertindas. Bukan ke politik.
Tahun 1990. Gus Dur menggandeng pengusaha etnis China, Edwin Soeryadjaya (Tjia Han Poen). PBNU mendirikan bank. Namanya BPR Nusumma.
Maksud Gus Dur, potensi ekonomi NU harus dinikmati warga NU. Bukan orang luar NU yang menikmati. Tak punya modal. PBNU sediakan pinjaman modal di BPR Nusumma.
Program Gus Dur nyata. Bukan sekedar berwacana di NU.
Sekarang, saya baru sadar. Pesan tersirat Gus Dur. Inilah tantangan masa depan NU. Tantangan ekonomi. Biar warga NU banyak yang kaya raya. Tak lagi disebut banyak warga NU yang miskin.
Jutaan warga NU sekarang dihadapkan kontestasi politik praktis. Sistem demokrasi Indonesia yang berpraktik kapitis liberal. Suara terbanyak. Itulah pemenangnya.
Kata guyonan di grup wa. “Man laisal fulus, alamatan Mamfus. Bil fulus kullu sya’in mulus. Laisa fulus manfus,â€
Meme pepatah Arab di medsos ini, dirasa banget bagi yang pernah nyaleg. Atau yang pernah ikut kontestasi Pilkada.
Lalu, bagaimana dengan PKB Sumenep sebagai rumah aspirasi politik warga NU menghadapi Pilkada serentak 2020?
Saya punya pemikiran. Emang perlu ditiru politik ala Gus Dur.
Maksudnya?
Biar kondisi internal PKB tak tegang pasca kehadiran Fattah Jasin. Sosok non kader yang dipastikan sebagai Cabup PKB.
Beri kesempatan kader PKB yang berpotensi juga ikut kontestasi di Pilkada. Lewat partai non atau independen.
Itu jalan tengah. Mengakomodir dua kepentingan.
Kepentingan elit dan kepentingan lokal.
Ijinkan KH Unais Ali Hisyam nyalon bupati lewat partai non PKB atau independen.
Bu Fitri juga perintahkan suruh jadi wakil Ach. Fauzi.
Siapa pun yang terpilih di Pilkada Sumenep 2020. PKB adalah pemenangnya.
Pesona Satelit, 22 Januari 2020
Write your comment
Cancel Reply