matamaduranews.com-Â MOCHAMAD Samanhudi Anwar, mantan walikota Blitar ditangkap polisi Jumat (28/1) karena diduga menjadi otak di balik perampokan dan penyekapan Walikota Blitar Santoso di rumah dinas, Desember tahun lalu.
Samanhudi membocorkan kepada penjahat informasi detail mengenai kondisi rumah dinas walikota yang pernah ditempatinya selama 8 tahun pada 2010 sampai 2018.
Kepala daerah atau mantan kepala daerah yang ditangkap karena kasus korupsi bukan berita yang aneh di Indonesia. Puluhan kepala daerah dan mantan kepala daerah tercokok oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena menggarong uang rakyat. Tapi, mantan kepala daerah yang ditangkap karena terlibat perampokan baru terjadi terhadap Samanhudi ini.
Samanhudi Anwar ialah walikota Blitar 2 periode 2010 sampai 2020. Pada periode pertama Samanhudi dicalonkan oleh PDIP berpasangan dengan Purnawan Buchori. Samanhudi menjadi walikota menggantikan Djarot Saiful Hidayat yang dipromosikan menjadi wakil gubernur DKI mendampingi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Pada periode kedua Samanhudi menggandeng Santoso sesama kader PDIP. Pasangan ini kembali menang. Tapi, pada 2018 Samanhudi tersandung kasus suap proyek dana APBD dan tertangkap tangan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Samanhudi divonis 5 tahun dan mendekam di LP Sragen. Samanhudi curiga ada orang dalam di balik laporan ke KPK yang berujung pada OTT (operasi tangkap tangan) yang membuatnya tertangkap. Ia bebas pada November 2022, dan di depan para pendukungnya ia bersumpah akan membalas dendam karena ia merasa menjadi korban kezaliman politik.
Samanhudi tidak menyebut siapa yang akan menjadi target dendam politiknya. Ia juga tidak menyebut siapa yang melakukan penzaliman politik terhadap dirinya. Tetapi publik Blitar menduga kuat bahwa target Samanhudi ialah walikota petahana Santoso.
Pecah kongsi Samanhudi dengan Santoso terlihat jelas pada pemilihan walikota Blitar pada 2019 yang lalu. Kabarnya, dari balik jeruji besi Samanhudi merancang perlawanan politik terhadap Santoso. Samanhudi menjagokan anak kandungnya, Henry Pradipta Anwar, menghadapi pasangan Santoso-Tjujuk Sunario. Persaingan berlangsung keras karena Samanhudi dikenal punya basis dukungan massa yang kuat.
Akhirnya Santoso yang memenangkan kontestasi politik. Tetapi dendam politik dan polarisasi tidak berhenti sampai disitu. Di depan pendukungnya Anwar berkali-kali menegaskan akan membalas dendam.
Perampokan dan penyekapan di rumah dinas Walikota Santoso diduga diotaki oleh Samanhudi. Dalam banyak kasus penjara bukanlah tempat untuk insaf dari kejahatan. Banyak yang menjadi penjahat kambuhan setelah keluar dari penjara.
Samanhudi bertemu dengan sesama penghuni penjara dan membocorkan informasi mengenai kondisi rumah dinas. Dari situ skenario perampokan dimulai. Informasi itu begitu detail sampai mengungkap lokasi penyimpanan uang dan jadwal Santoso menginap di rumah dinas.
Enam perampok itu menyatroni rumah dinas Santoso, melumpuhkan penjaga, dan menyekap Santoso bersama istri. Perampok membawa lari uang tunai Rp 400 juta dan sejumlah perhiasan.
Motif kejahatan politik bermacam-macam. Dendam politik terjadi dimana-mana, bukan hanya di Indonesia. Di negara demokrasi matang yang sudah berumur 230 tahun seperti Amerika Serikat pun dendam politik bisa berujung pada tindak kriminal.
Pada pilpres Amerika 2019 petahana Donald Trump dari Partai Republik kalah dari Joe Biden-Kamala Harris dari Partai Demokrat. Trump tidak terima dan menuduh ada kecurangan pemilu. Trump dengan tegas menolak hasil pemilu dan mendorong pendukungnya untuk menolak kemenangan Biden.
Puncaknya terjadi pada 6 Januari 2021. Ribuan pendukung Trump menyerbu dan menduduki gedung DPR Amerika, Capitol Hill. Para penyerbu membawa berbagai jenis senjata api termasuk senapan mesin. Empat orang tewas dalam kerusuhan itu termasuk seorang sekuriti.
Kongres Amerika mengadili Trump melalui proses impeachment, tapi Trump lolos dari hukuman. Pendukung Trump dari Partai Republik ternyata masih sangat kuat di Kongres Amerika.
Dendam politik Trump masih membara. Ia menegaskan akan maju lagi sebagai calon presiden pada 2024. Trump sekarang sudah berusia 78 tahun tapi ambisi politiknya masih meluap-luap.
Dendam politik juga terjadi di Indonesia pada level paling tinggi. Sampai sekarang Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih belum bisa sama-sama move on gegara dendam politik dari pilpres 2004. Ketika itu SBY yang menjadi menteri di kabinet Mega menolak menjadi calon wakil presiden Megawati. SBY maju sendiri sebagai calon presiden bersama Jusuf Kalla dan berhasil mengalahkan Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Megawati sakit hati karena merasa dikhianati oleh SBY. Sakit hati itu menjadi dendam politik yang yang berkepanjangan sampai hampir 20 tahun.
Persaingan politik yang keras tidak selalu terjadi antara orang-orang yang berbeda partai. Disertasi Kuskridho Ambardi di Ohio State Univesity yang menjadi buku berjudul “Mengungkap Politik Kartel: Studi mengenai Sistem Kepartaian Indonesia Era Reformasi†(2009), mengungkap bahwa persaingan keras justru terjadi pada kuadran ideologi yang sama.
Partai-partai Islam akan bersaing keras dengan sesama partai Islam ketimbang dengan partai yang berada pada kuadran ideologi yang berbeda. Pada tataran mikro hal itu tercermin pada persaingan yang keras antar sesama kader partai.
Kasus Samanhudi memberi dimensi baru dalam persaingan politik yang berujung pada tindak pidana untuk meneror lawan politik.
Sistem demokrasi seharusnya menjadi katalisator untuk menyalurkan dendam politik melalui jalur kontestasi politik yang legal seperti pemilihan umum. Tetapi ternyata saluran itu tidak selamanya bisa meredam dendam politik. Kasus Donald Trump di Amerika maupun Samanhudi di Blitar menjadi bukti bahwa dendam politik tidak selalu disalurkan melalui mekanisme demokrasi.
Reputasi Samanhudi di Blitar memang tidak jauh dari dunia kekerasan. Seorang jurnalis senior bercerita mengenai masa lalu Samanhudi yang terkait dengan premanisme termasuk judi dadu. Ada yang menyebut Samanhudi dengan sarkastis sebagai keturunan Ken Arok. Pendiri kerajaan Singasari itu dikenal dengan masa lalunya yang kelam sebagai pemabuk dan pejudi.
Blitar dikenal sebagai Bumi Bung Karno dan melahirkan kader PDIP level nasional seperti Djarot Saiful Hidayat yang menjadi salah satu politisi elite PDIP di pusat.
Sebagai pengganti Djarot di Blitar mungkin muncul harapan agar Samanhudi bisa mengikuti jejak Djarot ke pentas nasional. Alih-alih promosi ke pusat Samanhudi malah promosi dua kali ke penjara.
Kita tidak tahu, dari dalam kuburnya Bung Karno menangis atau tertawa melihat kasus Samanhudi. (*)
sumber: kempalan
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply