Catatan
Catatan untuk Pilkada Sumenep yang Telah Berlalu
Catatan Farisi Aris*)
Setelah melalui proses politik yang panjang, dan pertarungan politik yang cukup alot antarpaslon (pasangan calon) yang ada, selesailah kita melaksanakan Pilkada itu. Dengan menghasilkan Fauzi-Eva sebagai Bupati/Wakil Bupati terpilih 2021-2024.
Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) pasangan yang dikenal dengan tagline “Bismillah Melayani†itu berhasil mengumpulkan suara sebanyak 319. 541 dengan peresentase suara sebesar 51. 9%.
Sementara rivalnya, Fattah Jasin-Mas Kiai yang terkenal dengan tagline yang tak kalah religusnya, yakni “Sumenep Barokah†berhasil memperoleh suara sebanyak 296. 347, dengan peresentase 48. 1%. Secara keseluruhan terdapat 616. 552 total suara. Dan sebanyak 7300 ditetapkan sebagai suara tidak sah. Bermasalah.
***
Setiap yang berlalu akan menjadi kenangan. Dan kenangan akan selalu mesra untuk didiskusikan. Tak terkecuali Pilkada Sumenep yang telah berlalu. Bahkan, bagi saya hal itu adalah keharusan. Mengingat akan dilaksanakan kembali di masa depan.
Jadi, mendiskusikan kenangan yang berlalu, dan yang akan dilaksanakan kembali di masa depan pada intinya adalah semacam memberi evaluasi atau catatan guna menemukan pelaksanaan yang lebih sempurna di masa depan.
Apalagi, pada kenyatannya pelaksanaan Pilkada Sumenep 2020 memang tak sempurna secara teoretis maupun secara filofis. Hal itu kita maklumi. Sebab, sebagaimana kata Plato dalam teori idenya, setiap hal—apa pun namanya—yang ada di dunia realitas (inderawi) merupakan bentuk tak sempurna dari model (ide) itu sendiri. Termasuk Pilkada Sumenep di dalamnya.
Namun, dengan memaklumi, bukan berarti kita menerima ketidaksempurnaan itu dan terus membiarkannya. Tidak. Sikap maklum di sini hanya untuk memaklumi posisi kita sebagai manusia yang terbatas, selebihnya mari kita terus berusaha untuk sampai pada kesempurnaan idea pilkada yang sesungguhnya.
Baca Juga: Hitungan-Hitungan Politik; Antara Fauzi-Eva dan Fattah-Ra-Fikri
Karena, kegagalan kita mencapai kesempurnaan ide Pilkada Sumenep 2020 senyatanya adalah kenangan buruk—yang jika Anda punya nurani sungguh menyedihkan. Apa saja kenangan buruk Pilkada Sumenep 2020 yang patut menjadi catatan bagi kita di masa depan?
Pertama, politik uang. Jauh-jauh hari sebelum akhirnya Pilkada Sumenep digelar pada 9 Desember lalu, sebenarnya saya sudah punya kekhawatiran perihal merebaknya politik uang di Pilkada Sumenep. Sebab, berkaca pada Pemilu Legislatif 2019 kemarin, misalnya, uang tampak terlihat begitu ‘mengerikan’ dalam mempengaruhi suara rakyat. Tampak sah-sah saja tanpa sedikitpun dosa.
Sebab itu—anggaplah sebagai antisipasi kecil-kecilan—pada 01 Agustus 2020 lalu saya pernah menulis artikel panjang tentang nyatakan perang pada politik uang di Mata Madura. Dengan harapan bisa mengingatkan kita semua akan bahaya politik uang dan konsekuensi hukumnya. Saat itu, saya berpikir, sekecil apa pun gagasan ini, setidaknya inilah yang bisa saya berikan kepada Sumenep.
Siang berganti malam. Waktu terus bergulir sesuai keteatapan-Nya. Hingga akhirnya proses politik Sumenep semakin menemukan puncaknya. Wajah-wajah pemain politik Sumenep yang sesungguhnya—para kiai—baca: Menegosisiasi Ulang Indonesia, (Abdul Gaffar Karim, 2020)—menampakkan diri. Saya pikir ada harapan di situ untuk tercegahnya praktik politik uang.
Baca Juga: Soal Visi-Misi
Namun, 1 X 24 jam sebelum Pilkada Sumenep digelar pada 9 Desember, kenyataannya tetap saja menyedihkan. Serangan fajar bekerja. Uang berdaulat. Dan menjadi alat tukar kekuasaan yang nampak disepakati secara sah oleh rakyat dan para pemangku kepentingan.
So, dengan hal ini bukan berarti saya beranggapan bahwa keterlibatan sejumlah kiai dalam proses Pilkada Sumenep mengamini hal itu. Tidak. Kesimpulan saya mengatakan mungkin mereka belum berhasil saja. Begitu. Husnudzan lebih baik. Namun, hal ini harus mejadi catatan serius bagi kita di masa depan.
Apalagi bagi Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu). Tentu. Hal itu kewajiban. Politik uang ini adalah masalah nyata. Bawaslu harus bergerak. Wawancara saya dengan sejumlah warga menghasilakan kesimpulan yang ironis tentang politik uang ini. Semua pasangan calon (paslon) terindikasi mempraktikkan politik uang. Mereka tak peduli pada demokrasi.
Dan, jika hari ini ada pihak yang melaporkan bahwa ada salah satu paslon diduga mempraktikkan politik uang, hal itu dipermasalahkan, dan berencana dibawa ke meja hijau sebagai tindak pidana pemilu, percayalah bahwa pihak itu sedang tak ‘merasa’ bersalah saja. Sebab, nyatanya sama saja.
Baca Juga: Aku Suka “Komitmen Politik†Mas Kiai: Lanjutkan
Meski mungkin pelanggaran keduanya ada yang di tingkat parah dan super parah.
Kedua, politik gentong babi. Masalah yang kedua ini saya tak pernah membayangkan sebelumnya. Namun, soal praktiknya, hal ini nyata adanya dalam Pilkada Sumenep, dan mungkin juga di daerah-daerah lain.
Istilah politik gentong babi ini dapat didefinisikan sebagai praktik politik yang memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan seorang paslon. Umumnya hal ini dilakukan calon incumbent. Karena hanya calon incumbent yang memiliki akses luas dengan fasilitas negara. Misalnya, mengatasnamakan Bansos (bantuan sosial) yang dikeluarkan negara sebagai bantuan pribadi calon.
Nah, dalam konteks Sumenep, hasil wawancara saya terhadap beberapa warga mengonfirmasi akan adanya praktik politik gentong babi ini. Aktor lapangannya sebagian adalah aparat desa. Sejumlah bantuan resmi dari negara untuk keluarga miskin dipolitisir. Dan, dikatakan bahwa bantuan ini dari calon X, jadi nanti harus memilih X.
Baca Juga: Meninjau Peluang Poros Baru
Hal ini memang tampak tak terlalu bermasalah. Karena pada intinya hak warga tetap diberikan. Tapi, hal ini tetap harus kita jadikan masalah. Sebab mengarah pada pertarungan politik yang tidak sehat dan tak berprinsip jurdil (jujur dan adil). Dan, tentu kita mengetahui apa akibatnya jika kekuasaan politik diperebutkan dengan tidak sehat; akan melahirkan sistem politik yang tidak sehat pula.
Selain dua kenangan buruk itu, netralitas ASN dan kepala desa saya kira juga penting untuk menjadi catatan. Saya tidak memiliki data terkait masalah ini. Namun tampaknya juga terjadi secara terstruktur di aras pedesaan. Dan, sikap kubu 02 yang telah membawa kasus ini ke Bawaslu sebagai pelanggaran Pemilu patut kita dukung.
Bukan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang benar, tapi untuk masa depan demokrasi Sumenep itu sendiri. Syahdan, itulah Pilkada Sumenep dan kenangan buruknya yang seyogyanya mesti kita sesali. Lalu kita perbaiki di masa depan untuk demokrasi dan sistem politik Sumenep yang lebih ideal.
Mesin demokrasi dan sistem politik nasional sedang kacau serta mengalami kerusakan. Atau, meminjam bahasa Edward Aspinall 2019—mengalami kemunduran. Karena itu, Sumenep jangan sampai menjadi salah satu penyuplai kerusakan itu dengan praktik-praktik politik yang tidak sehat seperti politik uang dan politik gentong babi di setiap hajatan Pilkada. Juga, Pileg.
***
Pilkada Sumenep telah usai. Dan Fauzi-Eva (jika tak ada perubahan) adalah paslon yang akan dilantik menjadi Bupati/Wakil Bupati Sumenep 2021-2024. Kita sambut kepemimpinannya dengan semangat demokrasi. Tak perlu ada permusuhan lagi. 01 dan 02 telah sirna menjadi sejarah. Kita, “Saatnya Move Onâ€, kata judul buku sang bupati (Fauzi) terpilih itu.
Mari benarkan posisi dan tempat duduk kita. Fauzi-Eva jelas akan menjadi petahana. Anda—02—jangan begitu juga. Selaku rival di Pilkada, setidaknya Anda harus jadi opoisi. Dalam kamus politik Indonesia, kita memang tak mengenal kata oposisi. Tapi Sumenep harus menerapkannya. Itu pilihan idealnya. Mengimbangi kepemimpinan pertahana dengan semangat check and balances.
Tak perlu ada dusta di antara kita. Kita harus bekerja sama meski dengan wadah perjuangan yang berbeda. Terbentuknya sistem pemerintahan Sumenep yang sesuai dengan prinsip good governance adalah cita-cita kita semua. Mari awali dengan berucap bismillah, semoga Sumenep barokah. Wallahu A’lam.
*) Penikmat Politik
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply