MENDENGAR cerita Nyi Eva saya tak tahan. Apalagi ada di dekatnya. Atau mereka yang pernah berdarah-darah bantu Nyi Eva.
Saya belum pernah ketemu fisik dengan Nyi Eva. Belum pernah bicara formal. Belum bicara berhadapan. Kecuali komunikasi via WA. Itu pun sekali.
Dulu. Sejak dulu.
Sebelum menjabat Wabup. Pun ketika menjabat Wabup. Beberapa kali hanya komunikasi via WA. Juga saat Nyabup.
Saya hanya mengenal lewat cerita dan berita-berita soal Nyi Eva.
Usai Pilkada 2015. Cerita Nyi Eva haru biru. Macam-macam. Anda sudah dengar? Atau belum.
Soal kebenarannya? Wallahu a’lam.
Saat ketemu di tempat makan ikan bakar di samping Pasar Turi, Surabaya, tempo dulu. Saya juga tak menyapa. Tak pede.
Baru setahun lalu. Beberapa bulan setelah ada di rumdis Wabup Sumenep. Saya diajak seorang teman. Bertamu.
Tak ngerti maksud teman ngajak bertamu dengan Wabup Nyi Eva.
Pertemuan itu perdana. Bicara berhadapan. Meski sesekali, saya menunduk.
Sepintas tak ada yang menarik dari Wabup Nyi Eva. Maklum seorang Nyai. Keturunan dari seorang ulama yang disegani.
Anehnya: yang segan kepada kakek Nyi Eva bukan mereka yang pernah mondok.
Di sini, banyak orang tak ngerti: Kiai Usymuni Tarate, kakeknya-banyak menerima tamu.
Para tamu itu rata-rata datang dalam keadaan ruwet. Penuh masalah.
Si tamu diberi amalan atau bacaan berisi doa-doa. Kiai Usymuni sekdar berdawuh sepatah dua kata.
Lalu si tamu pulang.
Seiring berjalannya waktu. Para tamu itu keluar dari keruwetan. Banyak terkabul hajatnya. Keluar dari masalah yang dihadapi.
Para tamu itu ada yang kembali sowan ke Kiai Usymuni. Bercerita bla-bla.
Ada juga yang tak datang menemui Kiai Usymuni. Tapi menyimpan jasa baik Kiai Usymuni.
Lalu bercerita kepada sanak keluarga dan keturunannya.
Meski sesekali bertemu dengan Kiai Usymuni. Faedah pertemuan itu dirasa manfaatnya. Hingga tercurah ke anak cucunya.
Lalu mengatakan: Kiai Usymuni Tarate itu gurunya.
"Keluarga sang guru harus dihormati," begitu kira-kira pesannya kepada anak keturunannya.
Bagi kaum milenial. Jasa-jasa tersembunyi seperti yang dilakukan Kiai Usymuni, kurang ngeh.
Bacaan atau doa-doa dianggap biasa. Tak ada yang istimewa. Karena mudah didapat. Baik lewat buku atau youtube.
Tapi mereka, kaum milenial lupa. Bahwa istilah connection dalam dunia IT memiliki kunci kesuksesan sebuah jaringan.
Sehebat apa pun jaringan dan peralatan yang ada. Tapi belum tersambung (connection) ke dunia satelit yang akan memancarkan signal jaringan. Ya sia-sia.
Begitu tamsil doa-doa atau amalan yang dibaca, kenapa berbeda khasiat manfaatnya.
Wajar dan sudah menjadi tradisi dalam jamaah NU. Sarana ketersambungan itu, perlu wasilah.
Next: kehidupan warga muslim NU.
Biasanya, yang dijadikan wasilah adalah sosok yang diyakini bisa membuka signal ketersambungan ke Sang Khalik, Pencipta Alam Semesta Raya.
Hal ini, berefek dalam kehidupan warga muslim NU.
Terpolarisasi.
Itu bukan karena akibat perbedaan politik. Tapi karena perbedaan sosok yang menjadi wasilah.
Ada yang yakin kepada sosok si A. Sebagian kepada si B. Begitu seterusnya.
Sosok Kiai Usymuni bagi kebanyakan tamunya: ibarat oase. Tamu datang dalam keadaan 'haus'. Pulang membawa solusi yang bisa dinikmati anak cucunya.
Efek Kiai Usymuni dan Ikon wasilah itu. Tanpa terdesain mengalir ke sosok Nyi Eva.
Sebagai cucu Kiai Usymuni. Kebanyakan orang Sumenep masih menganggap Nyi Eva bagian dari wasilah yang perlu dihormati.
Itu kenapa Nyi Eva masih 'sakti' dalam politik. (hambali rasidi)
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply