matamaduranews.com-Fenomena Jurnalisme Rilis-meminjam istilah almarhumah Sirikit Syah-seakan menyesaki pemberitaan media online saat ini. Karena fenomena itulah. Jumlah media online dan jurnalis dadakan bak jamur di musim penghujan.
Sirikit Syah saat aktif menulis jelang ajal menjemput melihat sejumlah pemberitaan yang tampak kehilangan spirit jurnalisme-nya. Dia mencontohkan pemberitaan kriminal dari satu sumber yaitu siaran pers kepolisian. Almarhumah bukan hendak mematahkan siaran pers pihak kepolisian. Lebih dari itu. Sirikit menyebut berita berita yang satu sumber bukan lagi sebagai bentuk spirit jurnalisme.
Wartawan senior Surabaya, Riadi Ngasiran membuat catatan atas fenomena jurnalisme di tengah gempuran arus teknologi informasi saat ini. Dia menulis di situs Ngopibareng.id sebagai lonceng kematian jurnalisme apabila dibandingkan dengan influencer atas kecepatan informasi yang diunggah di berbagai platform media sosial. Seperti TikTok. Berdasar survei, audiens lebih banyak mengerti informasi dari platform medsos dibanding media arus utama. Berikut tulisannya:
Kematian Jurnalisme
Catatan Riadi Ngasiran
Jurnalisme berawal dari keterpesonaan seorang anak remaja nilai-nilai kehidupan. Seorang remaja membayangkan, menulis adalah kehadiran. Kehadiran seorang yang mempunyai kepekaan terhadap kemanusiaan. Kepekaan terhadap problem-problem yang dihadapi manusia sekaligus menjadikan manusia sebagai pusat orientasi: kemuliaan manusia dan memanusiakan manusia.
Ia pun menggeluti ranah yang kemudian dikenal sebagai kerja jurnalistik. Dunia profesi yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Semasa sekolah menengah, ia hanya membayangkan tulisannya -- kehadirannya itu -- terpublikasi di suatu media, majalan atau koran.
Melahap pemikiran para jurnalis dan penulis masa itu menjadi bagian aktivitas yang disadarinya sejak remaja. Mahbub Djunaidi, Abdurrahman Wahid, Mochtar Lubis, di antara tulisan yang dilahapnya.
Kepekaannya atas kepedulian manusia pun terasah melalui Ali Syariati dan Murtadha Muththahari, yang memperjelas pembelaan terpenting kepada kaum lemah dan dilemahkan, kaum mustadh'afin.
Begitu pun Tan Malaka lewat Madilog-nya, Soe Hok Gie dengan Catatan Harian Seorang Demonstran-nya, Ahmad Wahib dengan Pergolakan Pemikiran Islam-nya, telah membakar kegairahannya akan nilai-nilai suatu perjuangan di tengah masyarakat yang berubah.
Tapi adakah jurnalisme dan orientasi profesi yang membangkitkan kegairahan hidup dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, masih hinggap bagi kaum muda kini?
Ia selalu memertanyakan: adakah jurnalisme punya posisi di hati para pengemban profesi itu sekarang? Jurnalisme di tengah gempuran media sosial, yang mengenal batas-batas etika dan kaidah kepenulisan yang sesungguhnya dalam menghadirkan suatu informasi?
Kisah tentang obsesi dan eksistensi remaja di masa lalu seperti itu memang anomali pada zamannya. Juga, saya kira, berbeda pada saat ini. Seseorang tak lagi menggeluti secara serius profesi jurnalistik dengan memegang bara api menyala akan perjuangan itu. Bahkan, ia berposisi di mana dalam konteks sosial pun tak lagi menjadi kesadaran pasti. Pokoknya, melakukan aktivitas memenuhi tuntutan suatu institusi media dan target-target dengan kuantitas tertentu selesai tugas.
Tak sedikit di antara mereka tak mengenal pembedaan makna berita dan informasi. Juga pembedaan kata "bahwa" dan "jika". Jurnalisme benar-benar di ujung senjakala karena derasnya informasi, yang justru kecepatannya mengalahkan pekerja-pekerja yang tetap berpegang teguh dengan kaidah jurnalistik. Suatu survei menyebutkan "Influencer Salip Jurnalis sebagai Sumber Berita".
Survei menemukan 55 persen pengguna TikTok, Snapchat, dan 52 persen pengguna Instagram mendapatkan berita mereka dari para influencer dan selebritas. Hanya 33 sampai 42 persen yang mendapatkan berita dari media arus utama dan jurnalis di platform-platform tersebut, yang sangat populer di kalangan masyarakat muda.
Laporan tentang hasil survei itu dirilis pada hari Rabu 14 Juni 2023. Angka tersebut didasarkan pada wawancara dengan sekitar 94.000 orang di 46 negara, yang dilakukan untuk Reuters Institute for the Study of Journalism, bagian dari Oxford University di Inggris. Jurnalis arus utama sering memimpin percakapan seputar berita di Twitter dan Facebook. Mereka berjuang untuk mendapatkan perhatian di jaringan yang lebih baru seperti Instagram, Snapchat, dan TikTok".
Nic Newman, penulis utama survei itu, menyoroti orang-orang seperti Matt Welland dari Inggris, yang membahas peristiwa terkini dan kehidupan sehari-hari di TikTok untuk 2,8 juta pelanggannya. Atau bisa jadi selebriti seperti pesepakbola membicarakan acara berita topikal. Kepada kantor berita AFP, dicontohkannya kampanye pesepakbola Marcus Rashford pada 2020 untuk mendapatkan makanan gratis di sekolah bagi anak-anak dari keluarga miskin.
Bagi kaum muda, "berita" bukan hanya yang secara tradisional fokus pada politik dan hubungan internasional, melainkan "segala sesuatu yang baru yang terjadi di setiap lapisan masyarakat: olahraga, hiburan, gosip selebriti, peristiwa terkini, budaya, seni, teknologi...
Facebook tetap menjadi sumber berita utama di antara jejaring sosial di seluruh dunia, tetapi pengaruhnya menurun, dengan 28 persen mengatakan mereka menggunakannya untuk mendapatkan berita, dibandingkan dengan 42 persen pada 2016.
Fakta depan mata kita: kemungkinan mencerminkan pergeseran Facebook dari sarana berbagi berita ke fokus pada teman dan keluarga, serta preferensi anak muda pada banyak aplikasi berbasis video seperti TikTok dan YouTube. TikTok kini menjangkau 44 persen pengguna dari usia 18-24 tahun, dan 20 persen mendapatkan berita dari aplikasi, naik lima persen dari tahun lalu.
Media arus utama adalah masa lalu. Menghadapi tantangan terbesar. Bagi outlet berita tradisional, jumlah orang yang membuka langsung situs web, hanya 22 persen, turun 10 poin sejak 2018. Kebanyakan pembaca sekarang mengandalkan tautan media sosial.
Begitulah kenyataannya dunia media informasi, jurnalisme dan profesi jurnalistik. Zaman berubah, tradisi jurnalistik pun melemah. Ada model baru di semesta informasi...
Kita segera disadarkan betapa pergeseran ini menghadirkan "perubahan yang jauh lebih mendasar" bagi industri berita. Bahkan lebih drastis dibanding peralihan dari cetak ke digital satu generasi yang lalu.
Dalam kata-katan Rasmus Kleis Nielsen, Direktur Institut Reuters: "Media lawas ... sekarang menghadapi transformasi digital yang berkelanjutan seiring bertambahnya usia generasi (pembaca mereka)". Generasi baru "memiliki lebih sedikit minat pada banyak tawaran media konvensional yang berorientasi pada kebiasaan, minat, dan nilai-nilai generasi yang lebih tua".
Audiens baru sadar akan risiko mengandalkan algoritma, dengan hanya 30 persen berpikir ini adalah cara yang baik untuk mendapatkan berita yang seimbang. Tetapi hal itu masih dianggap lebih baik daripada mengandalkan laporan para jurnalis, yang hanya mendapat skor 27 persen.
Semua ini bukan kabar baik bagi perusahaan media konvensional yang bergantung pada pelanggan dan pendapatan iklan. Survei Reuters Institute menemukan, 39 persen pelanggan telah membatalkan atau menegosiasi ulang langganan, meskipun jumlah keseluruhan orang yang membayar berita di 20 negara yang disurvei tetap stabil, yaitu sebesar 17 persen.
Kini, lebih banyak orang membaca berita dari media sosial. Tak lagi penting institusi media: jurnalisme berada di ambang kematian. Senjakala itu telah mengantarkan kita diam atau tertantang?
Seorang remaja di masa lalu, tak lagi menyaksikan spirit dengan generasi muda dengan orientasi yang baru di masa kini. Zaman mempunyai generasinya sendiri. Di manakah kita bisa ambil bagian? (riadi ngasiran)
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply