Rifand NL
Kamis Siang (18/11), saya duduk santai menunggu dimulainya pembahasan Raperda di Komisi II DPRD Sumenep untuk reportase.
Tak seperti biasanya, kantor dewan sepi. Jurnalis bisa dihitung jari ngepos di sana siang itu. Di samping saya, ada Mas Bima Afandi dari Disperindag untuk penuhi undangan rapat serupa.
Usai ngobrol soal Raperda Perlindungan Tata Niaga Garam, saya coba buka WA. Iseng, sembari mengisi rasa jenuh akibat acara yang belum juga dimulai.
Seperti biasa, satu persatu group WA saya buka. Siapa tahu ada info terupdate soal isu terkini. Bunyi dering notif WA muncul di group WA Keluarga Besar PMII Unija. Saya buka sekalian.
Mas Imam Syaf "Bawaslu" tiba-tiba ngirim screnshoot foto Mas Joko Suhardi. Tertulis dalam caption-nya, Mas Joko menghembuskan nafas terakhir di Jogja.
Praktis saya tanya balik "Beneran ini kak? Billahi Mas Joko," ada rasa tak percaya dalam diri. Secepat itu, kabar kepergian Mas Joko menjadi kabar duka di story WA senior.
Saya pun di ambang rasa antara percaya dan tidak. Sebab beliau masih seperti di depan mata. Serasa tengah duduk mendengar wejangan Mas Joko.
Tapi lekas-lekas saya sadarkan diri, Mas Joko telah tiada. Sebagai kader saya sedih. Ada rasa bersalah, hajat belum terpenuhi untuk silaturahim kembali. Karena nyaris tak bertemu pasca demisioner dari ketua komisariat. Selain karena jarak, Mas Joko bertugas ke Sumatra, selanjutnya Jogja.
Seharian penuh, silih berganti story WA penuh ucapan duka. Ada banyak orang merasa kehilangan. Maklum, siapa tak kenal Mas Joko. Mantan aktivis yang tergolong sesepuh di Sumenep.
Bayangan Mas Joko selalu hadir di ingatan saya. Sontak, memori saya terbang ke lorong waktu. Mengenang awal kenal Mas Joko hingga perjumpaan yang menakutkan tapi mengesankan.
Awal Kisah
Tahun 2016, saya masuk PMII. Nama Joko Suhardi selalu disebut oleh senior di komisariat. Saya mencari tahu siapa sesungguhnya orang yang disebut-sebut itu.
Kak Agus Kopi, saat itu Ketua Komisariat PMII Unija memberi tahu saya. Bahwa Joko Suhardi itu salah satu pendiri PMII Unija, juga PMII Sumenep. Pantas saja namanya kerap disebut. Rupanya bukan orang sembarangan.
Sebagai kader ingusan (pemula), saya hanya mendengar cerita-cerita klasik Mas Joko. Mulai perjuangan pendirian PMII Sumenep, lebih-lebih Komisariat Unija. Tak lupa cerita-cerita heroisme perihal sosoknya dulu.
Memasuki 1,5 tahun saya berproses, kali pertama saya berkesempatan berjumpa Mas Joko. Saat itu, Rayon FISIP PMII Unija mengadakan bukber (buka bareng). Semua senior dan alumni diundang. Bertempat di kantor salah satu media online di Sumenep.
Dalam acara sederhana itu, momen yang tak akan terlupakan sampai sekarang. Semua alumni banyak hadir. Saat itu pula, saya mengenal satu persatu senior FISIP, dari yang muda sampai yang tua.
Usai menyantap menu buka puasa, Mas Joko banyak memimpin jalannya obrolan. Mas Joko duduk paling barat di ruangan, diapit Mas Jen Darain dan Anwar, alumni PMII Jogja yang masing-masing bekerja sebagai Staf Kementerian RI.
Sejak itu, saya mengenali gaya bicaranya, suaranya, bahkan prinsipnya yang tegas dan keras dalam mendidik junior. Maklum, waktu itu saya banyak membaca buku psikologi, selain juga filsafat yang menjadi santapan. Jadi, cepat menangkap kepribadian seseorang.
Mas Joko cukup piawai menggugah semangat junior yang hadir saat itu. Satu persatu senior FISIP ia sebut beserta kariernya. Termasuk juga dua orang di sampingnya, yang kariernya moncer di Jakarta.
Tak luput dari perhatian, Mas Joko mewanti-wanti supaya kami menggeluti bidang dan kemampuan masing-masing. Mas Joko tak ingin kelak juniornya kariernya hanya dalam satu server.
Ada satu spirit yang saya tangkap dari Mas Joko, yaitu berproses jangan tanggung. Bekali juga dengan skill. Karena kelak skill yang akan menjadi pengantar karir kita berada.
Selang 3,5 tahun berproses di PMII, saya memberanikan diri silaturahim ke kediaman Mas Joko. Kebetulan diberi amanah sebagai Ketua Komisariat (2019-2020). Maklum, sebagai ketua punya tanggung jawab menyambung dan merawat silaturahim kepada seluruh senior.
Apalagi, Mas Joko adalah mantan Ketua Cabang PMII Sumenep pertama. Juga Ketua IKA-PMII Sumenep.
Di rumahnya, seperti biasa saya bukan mendengar wejangan yang lembut. Sebab, bukan Mas Joko namanya jika tidak tegas saat mendidik juniornya. Bicaranya menggebu-gebu, bak sedang berorasi.
Pertemuan itu cukup berbeda. Mas Joko memberi wacana baru. Pentingnya mindset entrepreneur. Mas Joko memberi saran, supaya komisariat memikirkan kemandirian ekonomi organisasi.
Alternatif yang bisa dijangkau, Mas Joko memberi opsi usaha warung kopi. Minimal komisariat bisa menjalankan bisnis itu. Bagi Mas Joko bisnis warkop mudah dijalankan teman-teman. Belum lagi warkop bisa digunakan tempat berdiskusi. Jadi selain berbisnis, tak lupa menghidupkan tradisi intelektual pula.
Sejak saat itu, komunikasi saya tak pernah absen. Sesekali iseng hanya sekadar membalas status WA-nya. Keakraban pun terjadi.
Satu hal yang sering saya ingat, Mas Joko kerap menelepon saya tengah malam. "Teragiyegi sengkok ka terminal," pintanya.
Saya pun sudi menjemputnya, lalu mengantarnya ke terminal Arya Wiraraja Sumenep. Kadang hanya diantar ke depan Hotel Muzdalifah, tempat trayek Bus Sumenep-Surabaya menunggu penumpang.
Sekarang, tidak ada dering HP Mas Joko lagi untuk selamanya. Juga tak akan ada lagi story-nya muncul di WA saya, kalian dan semuanya.
Hanya ada satu memori bagi ribuan kader PMII Kabupaten Sumenep sampai kapanpun. Bahwa tanpa perjuangan Mas Joko (dan lainnya), PMII Sumenep tak akan besar seperti sekarang.
Selamat Jalan Mas Joko. Arsitek PMII Sumenep.
*) Rifand NL, mantan aktivis PMII Sumenep, wartawan media online
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply