Post Images
matamaduranews.com-Ke Pulau Sapudi,  Sumenep bisa lewat mana saja. Tinggal milih. Dari Kalianget. Dari Dungkek. Juga dari pelabuhan Jangkar atau Kalbut, Situbondo. Apa yang menarik dari Pulau Sapudi? Tergantung kepentingan. Kalau diprosentase urusan keluarga mendominasi. Lalu urusan pekerjaan dinas (kantor). Sisanya urusan bisnis. Urusan politik? Ya juga ada, tapi pada momentum Pileg dan Pilkada. Urusan bisnis di Sapudi emang dikenal bibit Sapi Kerap. Tapi agak meredup sejak covid. Sekarang mulai menggeliat. Meski peminat Sapi Kerap tak seperti sebelum covid. Pecinta Sapi Kerap dari Madura Barat (Sampang dan Bangkalan) banyak datang ke Sapudi. Mereka mencari bibit Sapi Kerap saat latihan Kerapan Sapi. Bibit Sapi Kerap tidak semua desa ada. Hanya desa tertentu. Dari 18 desa di Pulau Sapudi. Hanya 3 desa menghasilkan bibit Sapi Kerap berkualitas unggul. 3 desa itu, Desa Rosong, Desa Talaga, dan Desa Sokaramme Paseser. Ketiganya masuk wilayah Kecamatan Nonggunong. “Apabila bibit sapi berasal dari tiga desa itu, dijamin Sapi Kerap punya kecepatan lari sangat kencang,” cerita Sana, kepada Mata Madura, beberapa waktu lalu. Sana-biasa dipanggil, terjun ke dunia Kerapan Sapi sejak 1970. Awal Sana jadi panongkok (joki, red) saat Lomba Kerapan Sapi berlangsung. Pada tahun 1975, Sana berhenti jadi panongkok. Dia mulai belajar memelihara Sapi Kerap. Sana bisa mengerti banyak hal tentang bibit Sapi Kerap. Akhirnya dia tahu betul ciri-ciri Sapi Kerap yang bisa juara. Lalu Sana dipercaya bos besar yang pecinta Sapi Kerap. Si bos memberi kepercayaan kepada Sana untuk mencari bibit Sapi Kerap yang bisa juara. Kepercayaan itu tak disia-siakan oleh Sana. Dia buktikan dengan mencetak bibit-bibit Sapi Kerap hingga langganan juara di setiap tingkatan. Sebelum level tertinggi se Madura. Nama Sana sudah kesohor di telinga pecinta Sapi Kerap asal Madura Barat. Seperti Abah Tohir Bangkalan dan Abah Sahid (alm) Sampang. Keduanya sang legendaris. Sapi Kerap miliknya langganan juara di tingkat Piala Presiden. Budaya Kerapan Sapi salah satu penggerak ekonomi warga Pulau Sapudi. Setiap hari tertentu, Setiap minggunya-ada latihan Kerapan Sapi. Perputaran ekonomi terjadi. Hukum ekonomi. Ada event Banyak orang datang. Banyak yang jualan. Banyak yang beli. Ajang itu sengaja dicipta oleh para pecinta Sapi Kerap di Sapudi. Tujuannya macam-macam. Bisa untuk mengukur kecepatan Sapi Kerap yang dirawat. Juga bisa menjadi pasar transaksional. Pembeli dari luar Sapudi biasanya datang saat gelaran latihan itu. Bisa menyaksikan langsung. Bos besar hanya mengutus orang kepercayaannya. Atau cukup mendengar laporan dari orang yang dipercaya di Sapudi. Sapi Kerap milik siapa yang memiliki kecepatan untuk menjadi juara disampaikan ke si bos. Yang tak punya modal juga bisa mencari uang di ajang itu. Syaratnya mahir mencari bibit Sapi Kerap. Lalu ditawarkan ke pembeli. Harga bibit Sapi Kerap tergolong murah. Kisaran Rp 25 juta per ekor. Untuk satu pasang bisa di atas Rp 50 juta. Tergantung kualitas pasangannya. Jika pasang Sapi Kerap juara di tingkat kawedanan. Harga jualnya sekitar Rp 150 juta. Harga jual dua kali lipat bila raih juara tingkat kabupaten. Punya tiket untuk berlaga di puncak kerapan. Merebut Piala Presiden. Sang juara itu bisa dipatok sekitar Rp 1 miliar. Pemilik Sapi Kerap juara itu bukan orang Sapudi. Bibit Sapi Kerap juara sudah beralih tangan ke orang Madura Barat. Sejak awal. Orang Sapudi hanya jualan bibit Sapi Kerap. Kalau ada yang mempertahankan sampai juara tingkat kabupaten. Itu untuk menaikkan harga jual. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Selain stok bibit Sapi Kerap di Sapudi menumpuk. Biaya perawatan juga selangit. Telur ayam kampung menjadi menu utama merawat Sapi Kerap. Tinggal menghitung berapa biaya perawatan itu sampai digelar kompetisi tahunan. Sapi Kerap yang dirawat di Sapudi ada ratusan ekor. Saking banyaknya. Sehari butuh ribuan butir telur ayam. Tapi stok itu tak cukup bila mengandalkan di Pulau Sapudi. Kebutuhan telur ayam dipasok dari luar Sapudi. Tiga tahun belakangan. Ajang tahunan Kerapan Sapi tak lagi semarak. Geliat pencari bibit Sapi Kerap di Sapudi agak lesu. Tapi bibit-bibit Sapi Kerap itu tetap menumpuk di Sapudi. Itulah masa-masa keemasan orang Sapudi. Kini keemasan itu sebatas romantisme. Siklus perputaran ekonomi di Sapudi mulai bergeser. Seiring urbanisasi massal ke penjuru kota di Indonesia. Untuk buka toko kelontong. Banyak orang Sapudi merantau. Uang dari berbagai kota itu ditransfer ke Sapudi. Untuk kepentingan bangun rumah dan lainnya. Maka terjadi ledakan pembangunan rumah tinggal. Toko-toko bangunan mulai menjamur. Juga toko-toko elektronik dan kebutuhan rumah tangga lain yang tumbuh subur. Jangan heran bila menjumpai banyak rumah besar ala kota besar. Lengkap garasi mobil. Tapi tak ada penghuninya. Rumah-rumah besar itu biasa ditempati saat lebaran idul fitri. Atau musim resepsi pernikahan. Para urban datang untuk silaturahmi. Juga temu kangen. Sekaligus pamer kemewahan. Mereka bercerita kesuksesan di tanah rantau. Sekaligus mengajak ikut jejaknya. Karena potensi alam di Sapudi nyaris tak bisa diharap. Tanah gersang. Sekian persen yang bisa ditanami padi. Hamparan laut cukup untuk nelayan. Hasil tangkapnya cukup dikonsumsi sehari-hari. Sebenarnya ada berbagai potensi ekonomi di Sapudi yang belum dilirik. Yaitu tembakau dan ternak sapi. Populasi sapi di Sapudi sudah mafhum. Makanya dinamakan Pulau Sapudi. Sebagian memplesetkan akronim pulau sapi. Karena jumlah sapi melebihi jumlah penduduk di Pulau Sapudi. Mereka menyebut setiap minggu ratusan sapi dikirim ke luar Sapudi. Tapi populasi sapi di Sapudi tetap menumpuk. Sedangkan masa produksinya sembilan bulan. Sapi di Sapudi seperti sulit dikembangkan menjadi kawasan peternakan, misal. Padahal Pemprov Jatim saat Gubernur Pak De Karwo menempatkan Pulau Sapudi sebagai penopang swasembada daging sapi di Jawa Timur. Itu kenapa? Karena kekeringan di sejumlah desa penghasil sapi belum teratasi. Pakan ternak sapi lenyap saat kemarau. Sebagian peternak mendatangkan suplay pakan ternak dari Situbondo. Begitu pun potensi tembakau Sapudi. Tembakau Sapudi sudah dikenal karena kualitasnya. Punya pasar di berbagai kota daerah Jawa. Harga jual di atas Rp 100 ribu per Kg. Itulah tembakau pao laseng. Lokasi tanamnya di daerah Gendang Barat dan Gendang Timur. Potensi tembakau berkualitas tinggi itu sedikit yang menanam. Banyak faktor. Salah satunya ya kesulitan air. Emang di daerah itu harga air sangat bernilai saat kemarau. Padahal menyelesaikan krisis air di musim kekeringan sangat mudah dilakukan. Asal ada kemauan untuk membangun tandon besar. Kemudian dialirkan ke daerah Gendang Barat-Gendang Timur. Di area sekitar itu (luar desa) banyak sumber air. Jaraknya tak sampai 5 Km. Hanya tinggal keseriusan membangun tandon besar kemudian dialirkan ke daerah-daerah kekeringan. Emang butuh biaya gede. Perkiraan tak sampai Rp 5 miliar. Kalau lebih sedikit. Dana itu bisa diambil dari berbagai sumber. Seperti DD, APBD, APBD Provinsi dan APBN. Atau dari CSR Migas. Itu kalau para aktivis Sapudi jeli. Juga didukung oleh para tokoh masyarakat Sapudi. Dan diperkuat oleh para wakil rakyat asal Sapudi. Bagaimana CSR Migas HCML yang beroperasi di perairan Sapudi bisa digiring untuk mengatasi kekeringan dan pergerakan ekonomi warga Sapudi. Eman kan kalau CSR Migas hanya dibangun infrastruktur mini. Output-nya, kata anak gaul tak berasa. Biar kondisi Sumenep baik-baik saja. Jangan kecolongan seperti CSR Migas lainnya. (hambali rasidi) Sapudi, 17 Agustus 2023.
Sumenep Sumenep Sumenep Pulau Sapudi Pulau Sapudi Bibit Sapi Kerap Jalan-jalan ke Sapudi Potensi Ekonomi Sapudi Tembakau Sapudi Ternak Sapi CSR Migas

Share :

admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Blog Unggulan

Surat Kabar

Daftar dan dapatkan blog dan artikel terbaru di kotak masuk Anda setiap minggu

Blog Terbaru