Post Images
matamaduranews.com-SUMENEP-Abad 17 merupakan awal masuknya pengaruh Mataram ke Madura. Ditandai dengan peristiwa invasi kerajaan Islam ketiga di Jawa, setelah Pajang dan Demak. Peristiwa invasi yang menjadi fase kedua masuknya budaya Jawa ke Madura, setelah sebelumnya dimulai dengan duduknya Aria Wiraraja alias Banyak Wide pada 1269 silam di Sumenep. Saat peristiwa invasi Mataram, beberapa wilayah Madura yang terbagi dari Madura Barat, Pamelengan, dan Madura Timur mengalami perubahan status. Madura pun masuk dalam cengkraman Mataram, yang di masa mendatang berlanjut dengan cengkraman VOC atau bangsa asing yang menjajah Nusantara. Tahun 1620-an, penguasa di tiga wilayah mengadakan perlawanan habis-habisan. Pangeran Tengah di Arosbaya, Pangeran Jimat di Pamekasan (Pamelengan), dan Pangeran Cakranegara I di Sumenep, gugur sebagai ksatria. Untuk wilayah Sumenep, roda pemerintahan langsung ditangani Mataram. Karena sang putra mahkota, Raden Bugan diungsikan ke Jawa dan masih di bawah umur. Sebagai pengisi kekosongan, sekaligus pelaksana tugas sebagai “raja” atau Adipati Sumenep, ditunjuklah seorang bangsawan muda dari Jepara, yaitu Raden Mas Anggadipa. Pendiri Masjid Laju Menurut Kangjeng Zainalfattah dalam bukunya, “Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di Daerah-daerah di Kepulauan Madura dengan Hubungannja”, Mas Anggadipa tidak diangkat Mataram, melainkan diangkat Demak. Kala itu menurut Kangjeng Zainal, Demak masih belum sepenuhnya di bawah Mataram. Sehingga tatkala terjadi kevakuman kepemerintahan di Sumenep, yang notabene merupakan trah Sultan Demak I, Raden Fatah, maka ditunjuklah Anggadipa, anak bupati Jepara. Dalam Babad Songennep juga, tulisan yang lebih awal, juga menyebut bahwa Anggadipa ditunjuk oleh Demak sebagai pengganti Cakranegara I. Beliau membawa piagam pengangkatan dari Demak. Hal ini tentu masih perlu dikaji lebih lanjut. Karena dalam perkembangannya memang, beberapa tahun ke depan, Anggadipa diberhentikan dengan hormat atas instruksi Mataram, bukan Demak. Tepat tahun 1626 Masehi, saat Raden Mas Anggadipa boyongan ke Sumenep untuk melaksanakan tugas dari Mataram, sebagai wakil Sultan. Kedatangannya disambut baik oleh masyarakat Sumenep. Sosok Anggadipa sangat lembut dan santun. Beliau juga dikenal dekat dan peduli pada rakyat kecil. Sebenarnya, Anggadipa bukan orang baru di Pulau Garam. Beliau masuk ke Madura diawali dengan proses perkawinannya dengan anak Panembahan Lemah Duwur (Raden Pratanu), Raja Madura Barat. Sementara peristiwa invasi Mataram terjadi setelah masa Pratanu, atau tepatnya saat tampuk pemerintahan dipegang putra Pratanu. Anggadipa menikah dengan Raden Ayu Ireng, salah satu putri Lemah Duwur. Semenjak itu beliau mendapat gelar Tumenggung. Dan setelah menjabat sebagai “Plt” adipati Sumenep, beliau menerima gelar Pangeran. Sekitar tahun 1639, dalam versi lain 1640, Pangeran Anggadipa membangun sebuah masjid di kawasan Kepanjin (sekarang kelurahan). Masjid itu merupakan masjid keraton. Karena lebih dulu dari Masjid Jami’ di Bangselok, maka masjid tersebut dikenal dengan nama Masegit atau Masjid Laju (Masjid Lama). Berbeda dengan arsitektur Masjid Jami’ Sumenep yang kaya akan ornamen dan kaya akan perpaduan kebudayaan, Masjid Laju yang dibangun oleh Pangeran Anggadipa ini sangat sederhana. Bentuk arsitektur masjidnyapun mirip dengan masjid-masjid masyarakat tradisional pada umumnya. Pengaruh Jawa nampak pada penggunaan atapnya yang disusun tumpang (atap meru), begitu juga penggunaan sokoguru sebagai konstruksi utama untuk menopang atapnya tersebut. Masjid Laju terdiri dari ruang utama, ruang pewastren (tempat jamaah wanita), dan teras depan. Selain itu tepat di sebelah utara dari bangunan utama terdapat sebuah minaret sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan. Luas bangunan masjid keseluruhan tak kurang dari 400 meter persegi. Tidak Kembali ke Daerah Asal Tahun 1644 Masehi, Pangeran Anggadipa diturunkan secara hormat sebagai adipati Sumenep oleh Raja Mataram. Sebagai penggantinya ialah ditunjuk Raden Tumenggung Jaingpati dari Sampang, sepupu Cakraningrat I. Dengan sebuah intrik, Jaingpati berhasil disingkirkan oleh Raden Bugan dengan bantuan Pangeran Trunojoyo. Kembali pada Anggadipa, kendati sudah tidak menjabat sebagai pelaksana tugas adipati Sumenep, beliau terus menetap di Sumenep hingga akhir hayatnya. Sosoknya tetap dihormati oleh masyarakat Sumenep dan penguasa setempat dari masa ke masa. Beliau juga banyak anak keturunannya di Sumenep. Di masa sepuhnya, Anggadipa sangat dekat dengan keluarga Raden Anggadiwangsa alias Entol Anom, Patih Sumenep yang dikenal alim dan disegani. Cucu Anggadipa kemudian menikah dengan cucu Anggadiwangsa, yaitu Tumenggung Pratalikrama. Konon, Anggadipa juga menetap di dekat dalem Anggadiwangsa di Kepanjin. Setelah wafat, jenazah Anggadipa dimakamkan di area yang di masa kemudian dikenal dengan komplek pemakaman Raja-raja Sumenep atau Asta Tinggi. Makamnya berada di sebuah kubah yang merupakan kubah Pangeran Pulangjiwa, raja Sumenep di masa berikutnya. RM Farhan
Sumenep Sumenep Sosok & Tokoh Sumenep Mengenal Pangeran Anggadipa “Plt Raja Sumenep” Yang Tidak Kembali ke Daerah Asalnya

Share :

admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Blog Unggulan

Surat Kabar

Daftar dan dapatkan blog dan artikel terbaru di kotak masuk Anda setiap minggu

Blog Terbaru