matamaduranews.com-SUMENEP-Tidak ada yang menyangka jika sebuah kereta kencana yang bertuliskan sebagai benda milik Sultan Sumenep ini, sebenarnya hanyalah duplikat saja. Benda tersebut memang berkesan ori. Merupakan salah satu koleksi Museum Keraton Sumenep yang memiliki daya tarik tersendiri. Bentuknya memang menggambarkan sebuah Kereta Kencana Raja yang terlihat artistik, anggun, dan tentu saja kuna.
Sultan Sumenep, Abdurrahman Pakunataningrat yang memang cendekia itu, dikisahkan memiliki sebuah kereta kencana. Kereta itu bukan dipesan penguasa terbesar sepanjang sejarah pemerintahan di Sumenep tersebut. Melainkan pemberian sebagai bentuk penghormatan bangsa asing kepada salah satu putra terbaik Madura.
Melor Yang Tak Lagi My Lord
Menurut kisah, begitu orang Sumenep sejak dulu kala menyebut kereta kencana sang Sultan dengan sebutan Melor. Sebutan itu hanya plesetan lidah secara tak sengaja. Namun tak lantas menjadi bahasa baku di masa selanjutnya.
Kata Melor berasal dari bahasa asing. Namun kata menjadi kehilangan maknanya, sebab nama asli kereta tersebut ialah My Lord. Bahasa asing dari negeri British, yang artinya Tuanku atau Tuan saya.
"Orang melafalkan My Lord dengan Melor. Namun malah sebutan Melor yang lebih populer dibanding kata asalnya. Karena, hingga kini belum saya dengar orang Sumenep menyebutnya kereta itu dengan sebutan kereta kencana My Lord," kata H. Kurniadi Widjaja, salah satu tokoh Sumenep yang paham sejarah kereta tersebut, beberapa waktu silam.
Alasan Haji Kurniadi terlihat paham dengan kereta kencana di masa Pemerintahan Sultan Sumenep, Abdurrahman Pakunataningrat memiliki dasar kuat. Ada kisah tersendiri yang mungkin hingga kini tak banyak warga Sumenep yang mengetahuinya.
Kurniadi memulai dengan cerita kejadian sekitar 1990 silam. Saat itu Haji Kurniadi merupakan salah satu pejabat teras di Pemkab Sumenep. Jabatannya waktu itu Kabag Kesra dan Kemasyarakatan Setdakab Sumenep, tepatnya di masa Bupati Soegondo waktu itu.
Di waktu itu, Kurniadi menemukan kereta kencana Keraton sudah tidak utuh, bahkan sudah tak berbentuk. Waktu itu yang ada hanya roda kereta, dan pir.
Merasa prihatin, Kurniadi mengutarakan niatnya pada Bupati untuk merancang kereta kencana meski sudah tinggal berapa bagian kecil. Setelah disetujui, diajukanlah permohonan bantuan renovasi pada Pemprov.
"Alhamdulillah, kita dapat bantuan dana sekitar Rp. 20 juta. Lalu dimulailah rencana tersebut," cerita Kurniadi.
Kendati sudah ada dana, bukan berarti setelah itu tak ada buntut masalah. Masalah yang paling rumit, menurut Kurniadi ialah tidak adanya literatur mengenai gambaran asli kereta kencana Melor.
Akhirnya, Kurniadi memutuskan mengundang para ahli pembuat kereta kencana dari Keraton Jogja. "Lalu datanglah sekitar tujuh orang dari sana," kata Kurniadi.
Ketujuh orang tersebut lalu minta ijin untuk menyepi atau melakukan laku tirakat di Asta Tinggi Sumenep agar mendapatkan petunjuk secara batin. Tujuh hari tujuh malam, tujuh ahli pembuat kereta itu menyepi, sampai datanglah petunjuk gaib.
"Selesai tirakat, para ahli itu datang ke saya dan menunjukkan rupa kereta yang didapatkan melalui petunjuk batin itu. Setelah itu mereka pamit pulang ke Jogja untuk memulai pekerjaannya membuat kereta. Roda dan pir dibawa ke Jogja," kata Kurniadi. Kurang lebih 3 bulan, "Kereta Kencana Melor" kembali ke Sumenep.
Selanjutnya, “kereta kencana†hadiah dari pemerintah Inggris pada Sultan Abdurrahman karena telah membantu menerjemahkan sebuah prasasti berbahasa Sanskerta itu, dipajang dengan apik dan menarik mata pengunjung untuk melihatnya dari dekat.
Nah, karena penasaran, atas petunjuk Kurniadi, media ini mencoba membuka sebuah lapisan di sebuah bagian kereta. Dan benar, di situ ada keterangan tahun pembuatan ulangnya, sekaligus masa pemerintahan Bupati kala itu.
"Ya, begini, karena ada keterangan di masa Bupati Soegondo, akhirnya saya tutup untuk menjaga perasaan Bupati baru yang mengganti. Itu fakta sejarahnya. Masyarakat Sumenep dan pengunjung museum perlu tahu. Itu saja," tutup Kurniadi sambil tersenyum.
Hadiah Yang Tak Dipakai
Dalam beberapa cerita tutur, kereta melor ini jarang digunakan oleh sang empunya. Bahkan menurut sebuah riwayat sesepuh Sumenep, kereta itu tak pernah digunakan oleh sang Sultan. Sultan dikenal sebagai pribadi yang suka menjalankan laku tirakat dan hidup bersahaja. Bahkan tak jarang beliau menyepi dan bepergian tanpa ditandu.
Sultan juga dikenal sebagai pribadi yang menjauhkan diri dari keduniawian. Bahkan pernah dalam sebuah pertemuan para adipati di Jawa beliau menempatkan emas sebagai terompahnya, saat semua adipati yang menempatkan emas di atas kepalanya. Menurut cucu Bindara Saot itu, dunia sesungguhnya hina, jadi harus di bawah telapak kaki, bukan di atas kepala.
RM Farhan
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply