matamaduranews.com-FPI bangkit lagi. Istilah kerennya FPI Reborn, terlahir kembali. Atau kalau memakai istilah film horor, FPI bangkit dari kubur. Tidak perlu menunggu lama, tidak sampai setahun setelah dinyatakan sebagai organisasi terlarang, FPI mengumumkan diri berganti baju menjadi FPI baru.
FPI versi lama adalah Front Pembela Islam. FPI baju baru adalah Front Persaudaraan Islam. Setelah muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) yang melarang keberadaan FPI, Desember 2020, kali ini FPI muncul lagi dengan kemasan yang (sedikit) berbeda.
Kemasan mungkin beda. Casing boleh beda, tapi isinya tetap sama. Logo lama dan logo baru cuma beda-beda tipis. Logo baru tetap berbentuk dasar bulat dilingkari sebuah tasbih, ada huruf FPI berwarna putih di bagian tengah dengan background hijau.
Di bagian bawah tertulis ‘’Front Persaudaraan Islam’’ dengan tulisan memakai huruf Arab di atasnya. Beda dengan logo lama, pada logo baru ini ada gambar Ka’bah, tasbih, kubah berwarna hijau dan kubah emas.
Logo lama FPI berbentuk dasar bulat dengan huruf FPI di tengah. Warna dasarnya hijau cerah, di bawahnya ada tulisan‘’Front Pembela Islam’’ dan tulisan Arab melingkar di bagian atas. Perbandingan sepintas tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok.
Pepatah Inggris menyatakan ‘’old wine in a new bottle’’, anggur lama dalam botol baru. Isi tetap sama, botolnya saja yang berbeda. FPI lama dan baru tentu anti-anggur yang memabukkan.
Tapi, FPI lama dan baru bisa jadi sama-sama membuat keder orang-orang yang mabuk karena alkohol, maupun yang mabuk kekuasaan.
Pemerintah berusaha mematikan FPI dengan mendeklarasikannya sebagai organisasi terlarang. Tidak tanggung-tanggung.
Tiga menteri dan tiga lembaga tinggi membuat surat keroyokan bersama untuk melarang organisasi ini, menteri Dalam Negeri, menteri Hukum dan HAM, menteri Komunikasi dan Informatika, kepala Polri, Jaksa Agung, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Pemimpin tertinggi FPI Habib Rizieq Shihab berhasil dikurung sampai 2024. Sekretaris FPI Munarman, sampai sekarang masih ditahan, menunggu pengadilan atas tuduhan terlibat dalam kegiatan terorisme. Beberapa petinggi penting FPI diadili karena tuduhan melanggar protokol kesehatan.
Crackdown terhadap FPI dilakukan secara masif untuk menahan pengaruh FPI yang moncer sejak pilgub DKI 2016.
Setelah berhasil membantu Anies Baswedan mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama dalam kontestasi pemilihan gubernur DKI, gengsi politik FPI naik, bukan saja di level regional, tapi di level nasional. Bahkan di level internasional pun gengsi FPI ikut terdongkrak.
Gerakan 212 yang berhasil mengumpulkan jutaan orang di Jakarta, memecahkan rekor sebagai demonstrasi dengan peserta terbanyak di Indonesia, mungkin juga di dunia.
Tidak ada rekor resmi MURI (Museum Rekor Indonesia) yang dicatat, atau tidak ada rekor Guiness Book of Record yang didaftarkan. Tapi, demonstrasi 212 menjadi fenomena baru dalam politik Indonesia. Jumlah peserta boleh diperdebatkan. Ada yang mengklaim jumlah dua juta, ada yang menyebut tidak sampai satu juta.
Isu-isu politik yang dinarasikan FPI bukan lagi isu-isu lokal, tapi sudah merambah ke isu kepemimpinan nasional. Sebagai organisasi dakwah FPI berfokus pada amar makruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan, melarang perbuatan buruk).
Dalam pengamalan prinsip itu FPI menjadi gerakan sosial yang memberikan pertolongan setiap kali terjadi bencana di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam menerapkan prinsip dakwahnya, FPI disebut lebih fokus pada ‘’nahi munkar’’, melarang perbuatan buruk. Karena itu FPI sering turun langsung ke lokasi yang dianggap menjadi pusat kegiatan maksiat.
Tindakan ini sering dianggap sebagai sweeping yang menyebabkan kontroversi.
Habib Rizieq Shihab (HRS) menjadi tokoh sentral gerakan ini. Kemampuan orasi dan retorikanya yang tinggi menghipnotis banyak orang.
Kepemimpinannya yang karismatis, tidak kenal takut, membuatnya dinobatkan sebagai ‘’Imam Besar’’ umat Islam Indonesia. Banyak kalangan yang tidak mau menerima penobatan ini, tapi di kalangan pendukungnya, HRS tetap seorang imam besar.
HRS mengisi kepemimpinan oposisi yang vakum di Indonesia. Ketika partai-partai politik kehilangan fungsinya sebagai pengontrol kekuasaan, ketika parlemen gagal memainkan peran untuk melakukan checks and balances, ketika para politisi lebih memilih berkoalisi ketimbang beroposisi, HRS mengisi void itu.
Kalangan kelas menengah yang biasanya menjadi sumber gerakan demokratisasi, tidak terdengar kiprahnya lagi. Korporatisme negara mencengkeram sangat kuat sehingga kelas menengah menjadi mandul.
Intelektual kampus tidak berani bersuara, atau kalau bersuara hanya sayup-sayup nyaris tak terdengar.
Gerakan mahasiswa yang menjadi engine penggerak demokrasi ditutup dengan sangat rapat. Ruang protes ditutup rapat.
Lima mahasiswa Solo yang membentangkan plakat dalam kunjungan Jokowi (13/9) langsung diamankan polisi. Protes jalanan melalui mural sindiran pun diberangus dengan cepat.
Tak bisa dimungkiri, pengadilan terhadap HRS adalah pengadilan yang tidak netral dari pengaruh politik. keputusan hakim untuk memenjarakan HRS sampai 2024 dianggap sebagai upaya membungkam HRS, supaya tidak menjadi nuisance yang merecoki agenda elite dan oligarki politik pada 2024.
Upaya banding sudah dipatahkan. Upaya hukum lain mungkin tetap menemui jalan buntu. Tapi spirit oposisi HRS sulit dihentikan begitu saja.
Dalam sejarah pergerakan politik di mana pun di seluruh dunia, pemenjaraan tidak bisa menghentikan atau mematikan sebuah gerakan politik. Malah sebaliknya, gerakan politik akan makin membesar karena pemenjaraan tokohnya.
Semua pejuang kemerdekaan di Indonesia dan di seluruh dunia pernah masuk penjara. Tidak ada satu pun pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia yang tidak pernah merasakan penjara atau pengasingan. Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan lain-lain, semua pernah masuk penjara dan diasingkan dari lingkungannya. Tapi, spirit perjuangan mereka justru menjadi semakin kuat setelah bebas dari penjara.
Pemimpin Afrika Selatan, Nelson Mandela, menghabiskan 27 tahun hidupnya di penjara. Akhirnya Mandela bebas pada 1990, dan bisa menumbangkan rezim apartheid yang sudah berkuasa ratusan tahun.
Memoir Mandela ‘’Long Walk to Freedom’’ (1994) menunjukkan ketegaran jiwa dan raganya dalam menghadapi rezim orotiter. Penjara tidak membunuh spirit Mandela, tapi justru membuatnya lebih yakin terhadap perjuangannya.
Pemimpin spiritual Iran, Ayatullah Khomeini diasingkan ke Paris untuk mengisolasinya dari pendukungnya. Tapi, justru dari tempat pengasingan itu pengaruh Khomeini menjadi lebih besar.
Akhirnya pada 1979 Khomeini kembali ke Iran dan sukses memimpin revolusi menumbangkan rezim diktator Reza Pahlevi, yang mendapat dukungan langsung dari Amerika.
HRS tidak sama dengan Mandela atau pun Khomeini. Tetapi, selalu ada kesamaan benang merah dalam gerakan oposisi di mana pun di dunia. Pemenjaraan dan pembungkaman tidak pernah bisa mematikan oposisi.
Tidak ada yang tahu, apa yang bakal terjadi pada 2024. (dhimam abror djuraid)
sumber: kempalan
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply