matamaduranews.com-Nuansa Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten Sumenep tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Fenomena Pileg Kabupaten tak lagi hot. Kurang greget. Para caleg banyak pasif.
Fenomena itu terjadi di hampir Dapil DPRD Sumenep. Jika pun ramai sebatas banner caleg. Dinamika kontestasi antar caleg tak lagi hot. Normally. Terlihat biasa lazimnya di luar Pileg.
Fenomena kurang greget bukan hanya menimpa pada caleg anyar. Caleg incumbent juga terlihat banyak pasif. Kalau pun bergerak. Sepertu meniru acara reses.
Pertanyaan banyak orang. Apakah fenomena itu sebagai bentuk jawaban atas cost politik yang dinilai tak sesuai dengan pendapatan 3 tahun menjabat anggota DPRD Kabupaten?
Lho kok 3 tahun?
Begitu lah kondisinya. Pada tahun pertama menjabat anggota DPRD. Fasilitas pertama didapat adalah gaji bulanan plus tunjangan ini dan itu untuk kelancaran tugas kedewanan.
Konon pendapatan 5 tahun si dewan itu, banyak tersisa Rp 600 ribu per bulan. Sebab jatah 5 tahun itu, diminta duluan ke bank alias kredit dengN jaminan SK Anggota DPRD. Tujuannya untuk pengembalian pengeluaran biaya politik waktu kampanye Pileg.
Bagaimana dengan biaya hidup harian dan merawat konstituen?
Sebagian dari Pak Dewan itu, berharap rezeki dari kunker luar kota. Tapi harapan itu nihil setelah pemberlakukan Perpres 53 tahun 2021 yang membatasi perjalanan dinas.
Oleh-oleh dari kunker ternyata dinilai hanya cukup untuk kopi dan rokok.
Harapan lanjutan dari pendapatan di luar gaji bulanan yang tersisa Rp 600 ribu itu adalah pendapatan usulan program.
Eh ..usulan yang dikenal Pokok Pikiran (Pokir) itu masih berlaku di tahun kedua.
Pelantikan anggota DPRD Kabupaten pertengahan bulan Agustus. Setelah bulan itu waktu pembahasan Perubahan APBD. Lalu dilanjut dengan penetapan RAPBD yang memuat usulan anggota DPRD sebelumnya.
Tahun pertama itu, anggota dewan anyar baru memasukkan usulan program untuk dimasukkan ke RAPBD. Ditetapkan pada tahun kedua.
Sedangkan pelaksanaan APBD masuk pada tahun kedua. Atau sudah berjalan menjabat 2,5 tahun.
Bagi anggota DPRD Kabupaten yang kesusu untuk mengais pendapatan Pokir. Maka berlaku sistem ijon. Semacam BukaLapak.
Itu apabila didesak kebutuhan Pak Dewan yang sangat dinamis. Dan harus tampil borju di hadapan konstituen.
Opsi sementara BukaLapak Pokir.
Inilah benang kusut yang melanda sebagian besar Pak Dewan Terhormat di tingkat Kabupaten.
Cost Politik di atas satu miliar dinilai tak imbang dengan pendapatan yang diraih selama menjabat anggota DPRD.
Ditambah. Masih belum menikmati jabatan dewan. Pada tahun keempat harus bersiap siap mengeluarkan cost politik untuk menggerakkan para tim penggerak.
Sementara BukaLapak terlanjur banyak yang order. Pokir tahun kedua dan ketiga baru saja berlalu. Di tahun keempat, dihadapkan dengan biaya pengeluaran menjelang Pileg.
Puncaknya di awal tahun kelima. Modal utama untuk menjadi DPRD harus dikeluarkan.
Sedangkan saldo masih kosong. Kalau pun ada, masih ngos-ngosan nalangin sisa cost politik sebelumnya.
Itu barangkali yang dialami sebagian incumbent dalam menyambut Pileg 2024.
So... Pilihan terakhir, mereka berujar, "motemmo jelang hari H,".
Sementara, Caleg Anyar yang masih belum merasa goncangan moneter. Sebagian ada yang wait and see. Sebagian lain masih menunggu asupan gizi layaknya kasus gizi stunting.
Barangkali itu fenomena Pileg 2024 untuk DPRD Kabupaten yang terlihat kurang hot.
Atau karena Gibran Jadi Cawapres?
Bagaimana menurut anda?
Hambali Rasidi
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply