matamaduranews.com-Saya baru tahu, jika covid-19 itu ganasnya pada jam 20.00 sampai jam 24.00 malam. Pantas jika aparat selalu siaga melakukan penjagaan di beberapa jalan menuju kota kabupaten.
Penyekatan dimana-mana, PJU dimatikan sehingga situasi menjadi sunyi.
Covid-19 jinak di siang hari di saat mobilitas masyarakat padat. Pasar, swalayan, perkantoran, cafe semuanya ramai dan padat merayap.
Tidak ada aparat yang menjaga secara ketat. Mereka hanya standby di posko-posko dadakan.
Di kampung-kampung, meskipun siaran kematian bersahutan dari jam ke jam, masyarakat tetap beraktivitas seperti biasa.
Silaturrahim tetap jalan, acara perkawinan lancar-lancar saja, tahlil kematian masih ramai, perkumpulan pengajian rutin tidak ada kendala.
Tak ada situasi mencekam seperti di kota yang dijaga ketat aparat sepanjang malam.
Kematian warga mengenaskan sudah biasa terjadi, karena mereka memilih merawat keluarga mereka seadanya. Tanpa pengobatan yang tepat. Tanpa bantuan tenaga medis yang ahli.
Keluarga hanya menyiapkan bubur. Syukur kalau ada obat yang dibeli di toko-toko kelontongan, diberikan untuk meringankan beban sakit, dan tanpa pengetahuan bagaimana merawat orang sakit biasa dengan orang yang sakit karena pagebluk.
Masyarakat tak merasakan layanan maksimal karena rumah sakit sudah penuh. Dokter-dokter dan tenaga medis sudah banyak yang terpapar covid-19.
Lalu siapa yang mau memperbaiki situasi seperti ini?
Masyarakat sudah cukup bersabar, tak mengeluh kepada pemerintah. Kalaupun mereka mengeluh, paling ketika dibatasi mencari nafkah untuk bertahan hidup.
Katanya, anggaran penanganan pagebluk itu unlimited, siap dikucurkan kapan pun. Tapi kemana dana itu, siapa yang menikmati, dan untuk siapa dana itu?
Recofusing anggaran besar-besaran. Sampai ada pejabat bisik-bisik jika anggaran kegiatan kantornya hanya cukup perjalanan dinas dalam kota saja.
Cukup banyak kepala daerah yang kreatif mengelola anggaran untuk penanganan covid-19.
Mereka membuka layanan 24 bagi warga yang butuh apapun. Mulai dapur umum bagi warga yang isolasi mandiri, obat gratis bagi yang membutuhkan, hingga tenaga medis yang siap datang ke rumah-rumah.
Bagi yang usahanya ditutup sementara, dapat kompensasi dari pemerintah.
Kepala Daerah semacam itu, tak butuh membangun citra diri. Karena bagi mereka, rakyat butuh uluran tangan seorang pemimpin, menjadi teladan bagi rakyatnya, menjadi sandaran hidup bagi rakyatnya.
Dia tidak butuh bermanis-manis wajah di depan kamera dan bidikan lensa para pencari warta.
Apalagi membayar tayangan agar terlihat gagah di mata orang lain yang sebetulnya mereka tidak paham kondisi riil rakyat di bawah. (taufiqurr rahman khafi)
*Penulis berdomisili di Pamekasan, ia menjadi kontributor kompas.com di Madura
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply