matamaduranews.com-Sejumlah media dalam pekan ini memberitakan dengan narasi yang ‘melengking’ tentang dampak Covid-19. Sebuah cerminan bahwa gejolak kegelisahan yang kian memuncak.
Misalnya, judul berita di Mata Madura "Mahasiswa Madura Teriak Minta Tolongâ€, ini bentuk penggambaran situasi yang sangat darurat, kecemasan, kebingungan, kekhawatiran, kepanikan, ketakutan dan kekalutan yang mendalam.
Jarang- jarang media memberitakan peristiwa dengan judul seperti itu.
Saya yang lebih separuh dari usia saya diabdikan sebagai jurnalis dan sebagai pembaca media cetak penerbitan daerah dan nasional, hanya beberapa kali menemukan judul kepala berita yang melengking.
Seingat saya judul serupa, saya temukan di MBM Tempo, pada saat peristiwa kerusuhan Tanjung Priok 1984. Sebuah tragedi di era Orde Baru yang menghabisi nyawa ummat Islam dengan peluru tajam aparat dan yang tewas mencapai kurang lebih 400 orang.
Konon cerita salah seorang sahabat saya Ibnu Umar Fatah, salah seorang aktivis Remaja Masjid Tambora Jakarta. Saat itu, ia berada di sekitar lokasi peristiwa bercerita, darah yang tertumpah di aspal jalan itu, tidak lagi berceceran, tapi bentuk endapan setebal 5 centimeter. Dan bau amis darah itu menyengat hidung, karena hingga satu hari darah itu tidak ada yang membersihkan dan tetap memenuhi ruas jalan itu.
Diceritakan saat kejadian, ratusan orang muslim yang terpaksa tiarap karena ada brondongan senjata dari aparat yang tak henti-henti. Mereka meminta minta tolong.
Namun bukan pertolongan yang mereka terima, tapi mereka justru dilindas panser aparat. Sehingga suara gemeretak tulang-tulang orang muslim yang dilindas roda raksasa panser terdengar warga sekitar.
Dan Tempo mengabadikan kasus serupa pada tragedi waduk Nipah Sampang 25 September 1993, dengan judul “Nyo’on Odik “.
Saya tidak tahu situasi kebatinan redaksi Mata Madura, kenapa memilih judul seperti itu.
Sebegitu daruratkah situasi Madura saat ini? Seperti apa ketidak berdayaan masyarakat dan pemerintahanya? Dan berita memilukan lainnya menggambarkan hal serupa.
Namun saya mendengar pula dari informasi yang lain tentang Sumenep. Bagaimana penderitaan warga akibat diberlakukannya darurat Covid-19.
Sudah bisa dibayangkan, sebab akibat dari pemberlakuan itu, masyarakat sudah dibatasi pergerakannya, seperti lazimnya hukum darurat Covid-9 yang terjadi negeri ini.
Acaman penghukuman pun kepada masyarakat Sumenep yang melanggar ketentuan darurat, juga beredar di media. Sehingga menjadi beban ketakutan yang kian panjang.
Bahkan situasi itu terpotret pada pajangan manusia yang dikafani, menghiasi perempatan kota Sumenep. Strategi untuk mengingatkan masyarakat Sumenep akan ancaman kematian akibat virus Covid-19.
Penghukuman terhadap pelanggar peraturan kedaruratan, juga beredar dalam bentuk vedio dan beritanya, misalnya pedagang bakso yang diganjar hukuman Rp 5 juta rupiah, setelah sebelumnya ada pedagang bubur di ganjar hukuman yang serupa. Namun McD yang melanggar hanya di denda Rp 500.000,- ini tidak adil, ujar salah satu pegiat sosial.
Juga tidak dibayarnya insentif tenaga kesehatan yang bekerja banting tulang dalam menangani kasus C19, ikut mewarnai silang sengkarutnya penanganan Covid-19 (matajatim.id)
Rasa ketidakadilan dalam perlakuan kedaruratan PPKM (istilah yang dipakai Pemerintah Pusat), gaungnya kini terasa di negeri ini.
Tak terkecuali bagi Sumenep yang memberlakukan darurat yang berbeda penyebutannya, yakni dengan menyebut “Status Darurat Bencana Non Alam Wabah Virus Corona Disease 2019 di Kabuapen Sumenep.â€
Bupati Sumenep Ach. Fauzi, menurut hemat saya mulai kelelahan panjang dan kewalahan dengan situasi yang kini sulit dikontrol; banyak yang menduga-dugaakan melakukan “lempar handuk†jika harus dia sendirian yang berjibaku, di tengah ketidak pastian.
Menurut saya pilihan yang sangat tepat, jika ia meminta warganya untuk bersama-sama pemerintah terlibat memutus mata rantai penyebaran C19 di Sumenep. Daripada seperti yang diduga banyak orang, Bupati akan ‘lempar handuk’ dalam penanganan C19 di Sumenep.
Ternyata muncul berita di surat kabar yang membuat saya menepis dugaan ‘lempar handuk’ itu.
â€Semua ikhtiar ini akan berhasil kalau ada kebersamaan. Kita juga meminta bantuan seluruh elemen masyarakat untuk ‘Jung rojung’ saling bahu-membahu bersama pemerintah memutus mata rantai penyebaran C19 di Sumenep “ kata Bupati Fauzi.
Pada kalimat yang lain, Bupati Fauzi berkata:“ Saya sangat berat memahami adanya PPKM Darurat ini terasa berat khususnya terhadap perekonomian masyarakat Sumenep (dapurrakyatnews 7 Juli 2021 ).
Tata penulisan dalam kaidah bahasa Madura kerap ditulis dengan ‘Jhung Rojhung’, namun lengkapnya dalam pemakaian parebesan ini melengkapi dengan kata ‘lombhung’; yang berarti adalah bangunan tempat menyimpan padi-padian. Sehingga menjadi parebasan lengkapnya berbunyi “jhung rojhung lombhung “artinya bahu membahu bekerja dalam rangka berebut yang lebih besar untuk tujuan dan kedamaian bersama.
Permintaan dan ajakan Bupati Fauzi kepada warganya, untuk bersama-sama menanggulangi penyebaran virus C19 wajib disambut ‘mesra’ oleh warga Sumenep. Sebab jika warga tidak ikut ‘Jhung rojhung’ bersama Bupati, seluruh warga pasti yang akan ikut menderita.
Jhung rojhung itu tak boleh kita tolak. Dan kita harus ‘le tale shabbuk’ dalam mewujudkan Sumenep yang “Super“, antara bupati dan rakyat.
Namun teriakan suara rakyat yang ‘melengking’ dari dampak diberlakukannya Darurat Bencana Non Bencana Alam yang menjadi keputusan Bupati Fauzi, semestinya bagian yang terpenting dari program Jhung rojhung; adalah prioritas utama untuk melayani dan menyikapi lengkingan tangisan rakyat.
Misalnya prioritas ketersedian tenaga medis, obat-obatan, fasilitas kesehatan, pengadaan pangan dan informasi terkini penyebaran C19 dan langkah antisipasi serta solusi  lainnya.
Sebab inilah yang paling urgent; di samping itu, tak kalah pentingnya pengadaan tenaga kesehatan (Nakes) dalam jumlah lebih. Mengingat tenaga nakes yang ada, sudah berada di siklus kejenuhan, letih dan berada di puncak ketakutan.
Rekrutmen khusus tenaga relawan nakes, adalah terobosan yang tidak perlu pertimbangan bertele-tele, seperti model-model birokrasi yang ‘ruwet, bullet dan mlitir-mlintir’. Sebab lulusan nakes di Sumenep tergolong melimpah.
InsyaAllah merelakan memberi yang bupati minta.
Tinggalkan pola anggaran rutin, semua anggran yang ada bisa dipakai untuk kedarutan yang dijamin oleh peraturan pemerintah.
Bahkan terobosan yang lain telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya, dengan menghimpun dana sukarela di jajaran ASN dan masyarakat lainnya.
Warga Kota Sumenep, sesungguhnya kaya inovasi, strategi dan inplementasi. Mereka tidak hanya mewarisi leluhurnya Arya Wiraraja ketika hendak mendirikan Kerajaan Majapahit.
Mereka jago dalam banyak hal, seperti buyutnya, Sri Sultan Pakunatan Ningrat alias Sultan Abdurrahman dalam ‘menekuk’ Gubenur Jenderal Ingris, Stamford Raffles.
Namun yang memprihatinkan dalam beberapa pekan ini; darah kepiawaian leluhur Sumenep, mati suri. ‘Turbin-turbin raksasa ‘yang kerap bergerak dengan trengginas dan perkasa dalam Pilkada lalu – yang bisa membasahi puluhan ribu jiwa-jiwa yang kering dan mulut yang mengaga karena kekurangan dan kemiskinan; ternyata sepi dan senyap saat ini.
Turbin raksasa itu tidur lelap..!
Rupanya babakan gerakan Turbin raksasa itu, hanya ada di ruang special, yakni di hari-hari jelang pilkada saja.
Buzzer dan influencer yang garangdan pongah menyebarkan video dan foto-foto kantong-kantong besar berisi sembako, yang dulu busungkan dada, kini tak terlihat di medsos.
Rupanya mereka ikut tenggelam bersama gelombang pandemi.
Bansos ‘mandiri’ yang kerap warga terima dari Sang Paduka itu, yang diharap-harap disaat pandemi, ternyata hanya hadir dalam produk khusus, yakni :‘special edition pilkada’, dalam rangka ‘merampok’suara rakyat.
Bencana C19 yang banyak menimpa masyarakat Sumenep, yang paling terdampak adalah masyarakat pedesaan. Karena masyarakat desa cendrung lebih sedikit menerima informasi dan science dalam banyak hal.
Namun AKD (Asosiasi Kepala Desa) yang merupakan paguyuban kepala desas se Kabupaten Sumenep dan punya power besar di Sumenep, hingga kini belum mainkan perannya dalam Jhung rojhung , seperti yang diminta Bupati Fauzi.
AKD tidak hanya punya massa, ia juga punya pengaruh kuat; disamping dana desa (DD) yang lumayan melimpah. Belum terdengar gerakannya secara masif, walau telah dilindungi dengan instruksi Menteri Desa/Pembangunan Desa Tertinggal No. 1/2021.
Kedekatan Bupati dengan AKD nyaris tak bisa dipungkiri. Paman Bupati Fauzi, yakni MH. Said Abdullah adalah Pembina AKD Sumenep, yang diumumkan setelah usai pemilihan pengurus AKD di Hotel de Bagraf jelang pilkada lalu.
Artinya AKD semestinya menjadi organisasi ‘special engine’ dan mampu memerankan mission penting dengan perangkat desanya di tengah masyarakat desa yang tengah diserbu pendemi yang mengganas.
Demikian pula Bupati Fauzi yang cukup dekat dengan AKD, tak juga menggunakan kedekatannya untuk mainkan Jhung rojhung itu.
Tehnik permainan bola yang digagas mantan pelatih Barcelona FC Josep Guardiola dengan tehnik tiqui-taca ( tiki-taka ) dengan ciri super cepat dan pergerakan dinamis, rupanya belum ditemui dalamproses penyelesaian penanggulangan C19 di Sumenep.
Masih belum terdengar hingga hari ini, desakan atau perintah Bupati Sumenep agar Kades segera merevisi APBDes nya dalam waktu singkat, untuk pengalokasikan APBDes khusus ke tanggap darurat C19 di desanya.
Lontaran Bupati seperti itu amat penting, sebagai ‘Panglima Tertinggi’ dalam penanggulangan C19 di Sumenep, dalam situasi yang darurat. Dan jika dimuat media cetak dan eletronik, terasa akan memberi angin segar.
Demikian pula dengan AKD, tak terdengar ‘ganas’ dalam menghadapi bencana C19. Padahal statemen Ketua AKD H. Miskun Legiyono saat baru terpilih sebagai ketua AKD, dengan tegas menyatakan “Kalau tidak mau dibina (kades,pen), ya biar dibinasakan.†ujarnya.( jatimtimes.com.06/08/2020).
Mestinya AKD dalam situasi seperti ini seganas dalam menyikapi persoalan yang lainnya untuk membuktikan AKD paguyuban yang juga berpihak untuk rakyat. Apalagi diakui, bahwa AKD dari awal terbentuknya merapat ke MH. Said Abdullah.
Bupati Fauzi ‘lempar handuk putih‘ dalam penanganan C19 di Sumenep? Rasanya hal yang musykil dan mustahil, jika melihat kuatnya posisi dia.
Tapi Bupati akan terasa suntuk jika koordinasi tidak terbangun dengan konstruksi yang kokoh.
Misalnya wajib mengisi jabatan yang kosong atau yang dirangkap pejabat lain, khususnya di sector penanganan C19. Sebab budaya rangkap jabatan, tidak berarti yang mengangkat dan diangkat adalah ‘manusia super hero’.
Ahh, kadang keputusan itu saya nilai sesuatu yang ‘menjijikkan’. Karena menjustifikasi dan menilai rendah kwalitas ASN lainnya. Seperti tidak ada yang layak menduduki jabatan itu, walau hanya sekelas Plt.
Saya rasakan pula hal itu keputusan basi dan jauh dari jargon move on.
Di masa pandemic C19 setidaknya menjadi koreksi keras kepada tim yang ada di lingkungan ‘keraton’.
Mengapa begitu terlambat bergerak dalam penanggulangan ini, setelah dikeluarkannya SK Bupati tentang status darurat C19.
Bagaimana kinerja dan kajian Tenaga Ahli yang diangkat Bupati Fauzi?
Semestinya mereka bisa mengurangi beban kerja bupati, dengan membuat skema plan A-B dan seterusnya; sebagai pilihan plan alternative yang kondisional.
Sehingga peristiwa demi peristiwa telah dibuatkan batu loncatan dari batu kes atu ke batu lainnya, ketika hendak menyeberangi badai pandemic. Sebab tugas Tenaga Ahli itu, khusus bekerja karena kekhususannya yang tidak dibebani beban pekerjaan lainnya.
Sungguh naif jika mereka belum tunjukkan keahlian dan kekhususannya.
Untuk apa mereka ada di sekitar Bupati Fauzi........! ?
Jika mereka bekerja serius, tentu akan  membuat bupati nyenyak tidur dengan mimpi indah bersama bidadari di langit ketujuh.  Hook.....hooook..... hoooook......hoooooooook,  hingga subuh menjelang.( J. Faruk Abdillah )
*Penulis adalah Wartawan Senior. Kini Advokat Bantuan Hukum Indonesia. Ketua DPC Perkumpulan Advokat Indonesia ( Peradin ) Sumenep. Berdomisili di Surabaya.
Write your comment
Cancel Reply