matamaduranews.com-SAYA ditandai dalam diskusi Grup WhatsApp. "Kak...kok tak nulis lagi konflik Pantai Gersik Putih Sumenep," begitu kurang lebih isi pesan Marlaf Sucipto, penasihat hukum GEMA AKSI.
"Padahal sampean pertama yang menulis konflik Pantai Gersik Putih Sumenep," lanjutan pesannya.
Saya akui, pertama nulis pantai yang ber-SHM itu. Lewat status facebook Marlaf Sucipto. Tulisan itu menghadirkan perspektif hukum soal Alih Fungsi Pantai Gersik Putih Gapura.
Konflik Pantai Gersik Putih berkelanjutan. Sampai aksi ramai-ramai warga ke Kantor ATR/BPN dan Kantor Bupati Sumenep. Saya pun tak menulis. Sengaja saya lakukan semata ingin mencari informasi lain. Dari sudut pandang jurnalis. Ingin mengerti banyak soal pantai titik konflik itu.
Yang disebut produk jurnalistik itu mengungkap fakta. Menghadirkan realita. Fakta penyebab konflik itu ada dua kepentingan. Yaitu, warga dan pemilik SHM.
Dua kepentingan yang menyulut konflik berkepanjangan itu perlu dihadirkan dalam bingkai jurnalis. Kepentingan warga sudah banyak yang meliput. Tinggal kepentingan si empunya SHM yang belum diulas secara utuh.
Menghadirkan dua fakta kepentingan butuh waktu. Saya cari info siapa saja pemilik SHM (Sertifikat Hak Milik) lokasi pantai konflik itu. Saya ketemu orangnya. Dia fasih bercerita dari A-Z. Hingga memiliki SHM di lokasi konflik pantai itu.
Kenapa perlu menghadirkan kepentingan si empunya SHM dalam produk jurnalis? Di sini awal mula bias informasi soal Pantai Gersik Putih yang menyulut konflik.
Berita yang berseliweran seperti ada kedzaliman kepada warga Dusun Tapakerbau Desa Gersik Putih, Gapura. Sampai banyak tokoh dan aktivis 'hadir' untuk mengawal kepentingan warga. Dengan misi selamatkan pantai dari kepentingan kapital.
Sayang, saya belum berkesempatan melihat langsung objek pantai itu. Juga belum bertemu dengan warga Tapakerbau. Yang bersikeras menolak alih fungsi pantai itu menjadi tambak garam.
Saya akui kelemahan. Tapi saya tak ingin memproduksi jurnalisme rilis.
Saya cari cara. Mensiasati dalam mengungkap fakta dalam kaidah jurnalistik.
Melalui orang-orang yang kenal. Saya tanya banyak hal. Saya minta video lokasi. Saya tanya kehidupan warga yang menolak itu. Ingin tahu kondisi sekitar lokasi pantai itu. Seakan saya hadir kepada warga di objek pantai konflik itu.
Dari itu, baru tergambar bara konflik kepentingan Pantai Gersik Putih itu. Karena saya sudah memperoleh banyak informasi dari si empunya SHM. Sebelum suasana mencekam Selasa sore 4 Juli 2023.
Kepentingan warga dan kepentingan pemilik SHM-sama-sama berorientasi ekonomi. Di titik konflik itu, pemilik SHM ingin memproduksi garam. Berdalih bisa menyerap lapangan kerja warga setempat dan bla..bla..
Warga berkepentingan mempertahankan pantai sebagai mata pencaharian. Objek biota laut. Menjadi sumber pendapatan warga.
Pantai itu anggap musiman. Jika surut, tampak tanah. Warga bisa mengais rezeki dari biota laut. Kalau air pasang, terlihat laut. Sehingga menjadi tambatan perahu warga yang jadi nelayan.
Luas pantai musiman itu kurang lebih 40 hektare. Yang ber-SHM seluas 21 hektare. Pantai seluas itu yang menjadi titik konflik.
Pemilik SHM bukan menyerobot. Tapi membeli dari warga setempat. Pantai yang menjadi episentrum konflik itu ternyata sudah ada pipil. Yaitu, bukti penguasaan atas tanah yang berbentuk non sertifikat.
Pembeli tanah dengan bukti pipil itu adalah orang luar desa. Beberapa tahun kemudian. Tanah itu dijual lagi ke orang lain. Pembelinya tetap orang luar desa. Hingga ada semacam perkumpulan pemilik tanah dengan bukti pipil itu.
Lalu paguyuban pemilik tanah pipil itu mengurus Sertifikat Hak Milik (SHM). Beberapa bulan kemudian terbit SHM dari BPN Sumenep.
Tanah SHM seluas 21 hektare milik banyak orang. Lupa jumlah si pemilik. Si empunya sempat nyebut nama-nama si pemilik SHM.
Yang pasti si empunya SHM itu juragan garam. Orang Sumenep. Punya duit untuk menyulap tanah pantai menjadi tambak garam.
Karenanya, alat-alat berat yang diturunkan ke lokasi konflik itu milik pengusaha jasa alat berat. Orang Marengan. Pemilik SHM hanya iuran bayar sewa alat berat.
Si empunya SHM itu bercerita: butuh banyak uang untuk menyulap lahan kosong menjadi tambak garam. Warga setempat tak punya modal biaya untuk nyulap pantai jadi tambak garam. Hingga tanah pipil itu dijual ke orang.
Kalau sudah jadi tambak garam. Nilai jual per hektare mencapai Rp 600 juta. Jika ada 21 hektare. Nilai jual tambak garam-di lokasi konflik itu-mencapai Rp 12,6 miliar.
Setelah lahan seluas 21 hektare itu menjadi tambak garam. Ada kesepakatan bersama. Intinya si empunya SHM akan menyerahkan lahan tambak garam seluas 5 hektare untuk dikelola desa.
"5 hektare tambak kok diserahkan ke desa. Bukan ke warga?," saya tanya ke si empunya SHM.
"Biar desa yang mengatur ke warga," ucap si empunya SHM.
Nama si empunya SHM minta dirahasiakan. Dia bersedia bercerita apa adanya agar publik ngerti maksud pemilik SHM. Warga Dusun Tapakerbau Gersik Putih yang menolak alih fungsi pantai menjadi tambak garam juga diharap mengerti.
Bahkan, sisa pantai seluas 19 hektare,- kata si empunya SHM-bisa dimiliki warga untuk disulap menjadi tambak garam.
"Intinya kami ingin memberdayakan warga sekitar lokasi. Kalau warga mau akan direkrut sebagai pekerja tambak garam. Tiap hektare butuh dua pekerja. Ada 42 warga setempat yang bisa kerja di tambak garam itu," kata si empunya SHM menambahkan.
Mayoritas warga Dusun Tapakerbau adalah pekerja tambak garam. Ada yang kerja ke tambak garam milik PT Garam. Sisanya kerja ke perorangan. Pemilik tambak garam.
Di kanan kiri pantai titik konflik itu sudah ada tambak garam. Tersisa 40 hektare yang belum disulap menjadi tambak garam.
Konflik Pantai Gersik Putih perlu diakhiri. Caranya? Para petinggi Sumenep yang ngerti.
"Atau bisa meniru pola penyelesaian sengketa Yayasan Petani Garam di Desa Pinggirppas dengan PT Garam, awal reformasi dulu. Petani garam yang bernaung dalam banyak yayasan ingin mengusir PT Garam dari tanah Pinggirpapas-Karanganyar. Dalih petani, tambak garam yang dimiliki PT Garam milik leluhurnya. Ketika kran demokrasi dibuka. Ahli waris itu menuntut hak leluhurnya. Konflik berkepanjangan antara petani dan PT Garam akhirnya berakhir damai dalam satu bahasa: .....," bisik seseorang. (*)
Write your comment
Cancel Reply