Budaya
Wong Agung Dari Semarang vs Kolonial: Dari Melawan, "Menghilang", Hingga Dibuang ke Pulau Garam
matamaduranews.com-SUMENEP-Sebuah sketsa pria berbadan tegap dan tampak sangat berwibawa dengan busana yang dipakainya. Konon, sketsa tersebut menggambarkan seorang pembesar tanah Jawa yang menghilang sekaligus dibuang dari tanah kekuasannya.
Sketsa itu dibuat John Newman, seorang pelukis Inggris di abad 19. Lukisan Newman ini dikutip Pieter Carey dalam sebuah tulisannya tentang keluarga Adipati Semarang di pertengahan awal kurun 1800an tersebut.
Wong Agung dari Semarang. Kita-kira begitulah sebutan sederhana tapi elegan untuk ayah dari 41 anak ini.
Data 41 putra-putri ini merupakan catatan yang bersumber dari silsilah penguasa ujung timur pulau garam.
Siapa wong agung ini sebenarnya? Sampai-sampai membuat kalangan kompeni gemas sekaligus kesal terhadapnya.
Trah Pandanaran
Semarang merupakan daerah yang penting di kawasan Jawa. Kota ini selanjutnya dipilih VOC sebagai pusat cengkramannya atas bumi Pertiwi.
Kota ini sudah lumayan tua. Sunan Tembayat alias Kiai Ageng Pandanaran II atau Pangeran Pandanaran II merupakan penguasa kedua setelah ayahnya.
Sang Ayah, Pandanaran I merupakan penguasa awal wilayah ini. Beberapa versi mengenai asal-usulnya. Salah satu versi yang didukung catatan sepuh di Jawa ialah beliau merupakan cucu Sunan Ampel.
Nah, sepeninggal Pandanaran II yang dikenal meletakkan jabatannya dan memiliki hidup sebagai orang biasa. Namun sebab karomahnya, hingga kini makamnya pun tetap keramat, di Bayat.
Karena bersikukuh ingin turun dari tahta Adipati, maka diangkatlah adiknya sebagai pengganti.
Sang adik dikenal dengan nama Pangeran Kanoman, sekaligus Pandanaran III. Dari sinilah turun dari garis laki-laki kepada wong agung di atas.
Nunggak semi
Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V, begitu nama wong agung ini.
Angka Romawi V di belakang namanya itu menunjukan beliau adalah penguasa kelima.
Tokoh pertama yang memakai gelar ini ialah Tumenggung Ronggo Yudonegoro, lalu dilanjut oleh geranasi ke bawah keturunannya.
Ronggo Yudonegoro merupakan tokoh yang memainkan peran penting dalam suksesi Mataram, alias duduknya Pangeran Puger sebagai Paku Buwono I.
Nah salah satu cicit Yudonegoro alias Suroadimenggolo I ini yang kemudian juga memainkan peran dalam sejarah Semarang periode setelahnya.
Anti Kolonial
Tidak seperti pendahulu-pendahulunya, dalam beberapa catatan, Wong Agung Semarang yang bernama Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V ini lebih progresif dan revolusioner.
Beliau dikenal dengan temperamen kerasnya jika berhadapan dengan orang asing yang dikatakannya tamu tidak baik.
Menurut sebuah catatan, beliau pernah berapa kali bersitegang dan berselisih dengan pembesar-pembesar Belanda. Hal mana yang sejatinya bisa berakibat fatal bagi bangsawan utama yang memiliki kedudukan penting.
Apalagi di eranya, Jawa tengah dipanaskan oleh perlawanan Pangeran Diponegoro. Sebuah info mengatakan, Belanda menganggap Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V pun berada di baliknya.
Tak hanya beliau beberapa putranya juga dituduh merupakan bagian dari perlawanan Diponegoro.
"Menghilang" dari Semarang
Laporan-laporan yang bisa dianggap resmi mengatakan Belanda lantas mengambil tindakan sebagai reaksi dari sikap Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V.
Istilah populer kala itu ialah internir. Yakni dibuang. Orangnya disebut interniran. Dari kata interneerd.
Menjatuhkan sang Wong Agung tentu butuh proses panjang. Pasalnya Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V dan leluhurnya sangat dicintai rakyat Semarang dan sekitarnya.
Sehingga proses licik yang menjadi kebiasaan senantiasa dimainkan oleh VOC.
Wong Agung Semarang itu mulai difitnah dan dianggap tidak loyal dan tidak kasih pada kolonial. Dibumbui oleh beberapa kisah bahwa beliau selalu berselisih dengan wakil raja Belanda di Jawa, sudah mulai tua, dan mulai kurang sehat fisiknya.
Sebuah catatan menyebut beliau ditahan, dan diasingkan dari tanah kelahirannya.
Mulai ditawan di atas kapal menuju Surabaya, untuk selanjutnya dibawa ke Ambon.
Ikut ditahan pula sang putra, R. Saleh Natadiningrat, bupati Lasem. Sang jenius, dan juga revolusioner seperti ayahnya.
Selain beberapa sumber asing, ada juga sumber lokal.
Di catatan keluarga keraton Sumenep, nama Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V begitu keramat. Sebab juga merupakan kerabat dekat dan leluhur bangsawan Sumenep dinasti terakhir.
Meski sedikit mewarnai sejarah sebagai tradisi lisan, namun tidak ada salahnya diungkap sebagai seni dalam sejarah.
Mendapat Suaka
Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V dalam catatan sejarah merupakan penguasa Semarang yang berpangkat kepala dari beberapa Adipati di kawasan Semarang. Dalam istilah Belandanya ialah Hoofd Regent (Kepala Bupati).
Suatu ketika, dalam catatan R. P. Moh Saleh, salah satu keturunan Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo V di Sumenep, dikisahkan bahwa Kangjeng Kiai mengangkat salah satu putranya sebagai bupati Sumedang.
Hal mana yang demikian membuat pemerintah Hindia Belanda gusar. Pasalnya, tanpa melalui proses rembuk.
Namun Kangjeng Kiai memang dikenal keras terhadap Belanda dan begitu tidak suka.
Datanglah kemudian pembesar VOC yang memang berpusat di Semarang.
Kedatangannya untuk mempertanyakan soal pengangkatan Bupati Sumedang.
Bukannya diterima dengan baik, pembesar kolonial itu diusir oleh sang Adipati.
Karena tersinggung si penjajah itu marah, namun akibatnya fatal. Kangjeng Kiai lebih marah lagi, dan menghunus keris pusakanya. Yang dalam riwayat Sumenep dikenal dengan Se Cingkrung.
Ketakutan, pembesar VOC lari. Se Cingkrung dilempar ke arah orang suruhan Wilhelmina itu.
Lemparan itu meleset, namun keris yang jatuh ke lantai itu membuat lantai kadipaten Semarang begetar dan retak sekaligus rusak.
Si pembesar VOC yang ketakutan itu berlari sambil berteriak-teriak, bahwa Adipati Semarang gila.
Beberapa hari kemudian, datang banyak pasukan Belanda bersenjata lengkap. Kangjeng Kiai tanpa melawan ditahan. Namun beliau dikisahkan lenyap dari tahanan.
Adipati Semarang selanjutnya diangkat dari keluarga luar dengan diberi gelar sama: Suroadimenggolo (tanpa angka Romawi).
Namun rakyat lebih hormat pada Kangjeng Kiai, sehingga kemudian, Adipati baru di luar trah itu diganti lagi oleh salah satu putra Kangjeng Kiai dan diberi gelar Suroadimenggolo VI.
Sementara itu, Kangjeng Kiai setelah lama dicari, konon berada di Pasuruan, dan bermaksud ditangkap lagi.
Namun atas upaya saudara sepupu sekaligus menantunya, Sultan Abdurrahman Pakunataningrat dari Sumenep, Wong Agung dari Semarang itu berhasil dibawa ke Sumenep.
Beliau oleh Sultan Sumenep ditempatkan di kawasan bernama Dalem temor, yaitu bekas keratonnya Pangeran Jimat.
Di Sumenep Kangjeng Kiai selalu diawasi, hingga wafatnya di 1242 Hijriah. Beliau dimakamkan di Asta Tinggi.
RM Farhan
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply