matamaduranews.com-SUMENEP-Asta Tinggi dan Sultan Abdurrahman merupakan salah satu password utama wisata religi di kabupaten Sumenep, Madura.
Asta Tinggi merupakan kawasan Pemakaman Raja-raja di Sumenep yang kini menjadi salah satu ikon utama kabupaten di ujung timur pulau garam. Keberadaannya yang satu paket dengan bangunan keraton di Pajagalan dan masjik Jamik di Bangselok, merupakan karya monumental dinasti terakhir Sumenep (1750-1929 M).
Sementara Sultan Abdurrahman merupakan salah satu penguasa Sumenep yang paling dikenal. Satu-satunya yang bergelar Sultan di Madura Timur, dan di masanya kemajuan peradaban Sumenep mencapai puncaknya.
Begitu kuatnya kharisma sang Pakunataningrat ini sehingga di sepeninggalnya, banyak warga Sumenep yang masih mengenangnya dan menjalankan petuah dan tradisi-tradisinya.
Salah satunya mengenai adab berziarah ke Asta Tinggi.
Wasiat Yang “Hilangâ€
Setiap harinya, Asta Tinggi bisa dipastikan tidak sepi dari pengunjung atau peziarah. Tidak hanya dari kawasan Sumenep, melainkan juga dari luar kota Sumenep.
Bahkan secara kuantitas, jumlah pengunjung dari luar lebih banyak. Karena umumnya berjamaah. Puluhan bis pariwisata biasa berlalu lalang di jalan Asta Tinggi menuju parkiran yang disediakan.
Hanya saja, para pengunjung itu tumpah ruah di kawasan utama. Sebuah kompleks berpagar yang luasnya 112,2 meter x 109,25 meter. Selepas itu balik pulang.
Padahal banyak destinasi penting lainnya yang perlu disinggahi. Sehingga memahami secara utuh, atau paling tidak memiliki cerita lengkap yang bisa dibawa pulang.
Salah satu destinasi penting ialah yang tampak diabaikan para pengunjung. Padahal tokoh besar yang diziarahi mereka dahulu mewanti-wanti, menganjurkan, berwasiat, agar satu kawasan penting di luar kompleks utama disinggahi dulu sebelum ke makam raja-raja Sumenep.
Di mana letak kompleksnya? Dan siapa sosok yang ada di kompleks itu hingga Sultan Abdurrahman—tokoh besar yang disebut di atas—berwasiat demikian.
Kompleks itu terletak di pundak bukit Asta Tinggi. Sekitar kurang lebih 50 meter sebelum sampai pintu pagar kompleks utama.
Posisinya di kanan jalan jika dari bawah bukit. Tidak ada lahan parkir di sana. Artinya memang peziarah harus berhenti di depan cungkup atau kubah di pinggir jalan itu. Selanjutnya mendaki sisa tanjakan menuju kawasan utama.
Makam siapakah? Sebuah papan baru bertuliskan latin menyebut bahwa sosok yang ada di cungkup itu ialah Raden Adipati Suroadimenggolo V (di nisan bertuliskan Kangjeng Kiai Adipati Suroadimenggolo).
Salah satu tokoh penting di tanah Jawa, tepatnya Semarang. Tokoh yang menjadi jujukan para bupati-bupati di kawasan tersebut. Posisinya sebagai Adipati Wadhono atau Hoofd Regent, atau kepala para adipati.
Sayangnya, Suroadimenggolo tak lama kemudian jejaknya hampir disirnakan di tanah kelahirannya. Pasalnya, cicit Ronggo Judonegoro (adipati pertama Semarang yang merupakan keturunan langsung Sunan Pandanaran) ini bersinggungan keras dengan kolonial.
Posisinya lantas digoyahkan. Runtuh. Sang Adipati disingkirkan hingga Ambon. Sebelum kemudian mendapat suaka dari saudara sepupu sekaligus menantunya, Sultan Abdurrahman (ibu Sultan berasal dari Semarang, yakni putri Suroadimenggolo III).
Di Sumenep, Kangjeng Kiai (panggilan rakyat Sumenep dan keluarga keraton), ditempatkan di bekas keraton Pangeran Jimat di Dalem Temor. Beliau wafat dalam usia lanjut dan dimakamkan di Asta Tinggi. Kawasan yang diceritakan di atas.
Nah, Sultan sangat menghormatinya, hingga kala wafatnya sang maestro itu, keluarlah anjuran atau wasiat penting. Di kemudian hari, wasiat itu dituangkan dalam sebuah papan kayu kecil. Ditulis latin dan dipampangkan di depan kubah, pinggir jalan.
Sayangnya, sejak beberapa tahun lalu, bersamaan dengan pemugaran tembok pagar cungkup kangjeng Kiai, wasiat itu “hilangâ€. Papan nama dipindah ke dalam pagar. Informasi wasiat lambat laun memudar.
RM Farhan
Write your comment
Cancel Reply