Oleh: Helmy Khan*
Tiada menyangka keganasan Corona Virus Desease (Covid-19) mampu mengubah segala tatanan di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang beberapa waktu lalu sempat dikabarkan bahwa virus Corona lebih rentan mati di wilayah tropis yang memiliki tingkat kelembapan dan temperatur yang tinggi.
Namun tak berselang lama, tepatnya pada 2 Maret 2020 untuk pertama kalinya Pemerintah Indonesia mengumumkan dua kasus pasien positif Covid-19 di Indonesia. Tentu hal ini sangat mengejutkan. Apa jadinya Indonesia, mengingat negara-negara lain yang lebih dulu tertular Covid-19 terpaksa memutar segala tatanan kepemerintahan untuk menghadapi keganasan Corona. Seperti yang telah kita ketahui bersama Corona tidak hanya menjangkit terhadap suatu bidang, maka dari itu pengkerucutan perhatian terhadap pendidikan tak kalah pentinnya daripada kesehatan dan perekonomian.
Hal utama dalam pelaksanaan pendidikan terletak pada proses belajar mengajar yang dalam kondisi pandemi tak memungkinkan tatap muka langsung. Hingga pada akhirnya untuk memangkas masalah dalam dunia pendidikan banyak lembaga pendidikan yang menerapkan kelas daring atau belajar di rumah masing-masing. Namun yang menjadi pertanyaan adalah seberapa efektifkah pelaksanaan kelas daring tersebut?
Oleh karena itu, untuk melanjutkan aktivitas pendidikan di tengah pandemi diperlukan keselarasan bersama untuk menjaga atmosfer pengetahuan. Tak salah rasanya jika kita menerapkan konsep seperti yang ditawarkan oleh penggagas sekolah kepemimpinan anak muda Kader Bangsa Fellowship Program (KBFP), Dimas Oky Nugroho. Ia mencetuskan konsep “Pendidikan Gotong Royong†dalam mengelola dan menjaga kualitas pedidikan di masa pandemi Covid-19. Konsep Pendidikan Gotong Royong yang dimaksud adalah sinergi antara penyelenggara pendidikan, otoritas kebijakan, keluarga dan per individu dalam memastikan belajar mengajar berlangsung dengan baik.
Akan tetapi, realita saat ini rintangan pendidikan itu sendiri tak hanya pada penyelenggaraannya saja. Ada banya faktor di dalamnya, antara lain faktor ekonomi yang juga berpengaruh besar terhadap penyelenggaraan pendidikan. Berkaca pada pelaksanaan belajar daring sejak beberapa waktu lalu ada banyak kemungkinan, mulai dari efektivitas hingga akses di dalamnya.
Kemungkinan pertama terletak pada efektivitas yang sama antara belajar dengan berinteraksi (tatap muka) langsung melalui media smartphone atau laptop. Karena jika ditarik pada kaca mata psikologi pendidikan, seorang pendidik adalah figur yang menjadi kontrol bagaimana anak belajar, bagaimana guru memotivasi anak dan bagaimana guru mengevaluasi hasil belajar. Diakui atau tidak efektivitas program seperti di atas tidaklah sama karena untuk mengukur sebuah keberhasilan memerlukan peran langsung panca indera yang lima.
Persoalan lain adalah akses internet yang tidak merata dan biaya paket internet pun juga menjadi polemik bersama. Jembatan utama untuk mengikuti pelajaran daring adalah kouta internet dengan jumlah besar. Jika kita memiliki 2 GB kouta internet mungkin itu hanya cukup mengikuti selama dua hari pelaksanaan. Untuk hari-hari selanjutnya pun memerlukan kouta internet yang jauh lebih besar dengan biaya yang juga lebih mahal. Di tengah situasi paceklik ekonomi saat ini tentunya hal itu sangat membebani wali murid.
Belum lagi masalah skenario New Normal dalam dunia pendidikan. Karena untuk kembali melaksanakan aktivitas seperti semula ada beberapa faktor yang perlu ditonjolkan, salah satunya dalah protokol kesehatan New Normal dalam pelayanan pendidikan. Kelengkapan sarana prasana seperti masker, disinfektan, sanitizer, dan beberapa protokol lainnya haruslah selalu tersedia serta mengedepankan sosialisasi SOP (Standar Operasional Prosedur) yang massif kepada siswa dan guru dan menjaga jarak (physical distancing).
Sejatinya pendidikan di tengah pandemi Covid-19 menyinggung persoalan keberlangsungan pendidikan dan kualitasnya. Maka dari itu, mari kita bangun kesadaran bersama untuk memotong rantai persebaran Covid-19, meskipun pemerintah sudah menerapkan New Normal.
*Penulis tercatat sebagai mahasiswa Institut Kariman Wirayudha (INKADHA) Sumenep dan aktif di LPM Dialektika.
Write your comment
Cancel Reply