Oleh: Subhan Hi. Ali Dodego*
Sejarah telah mencatat, bahwa pemuda adalah miniatur bangsa dan menjadi garda terdepan kemajuan bangsa dan negara. Pemuda adalah tulang punggung masyarakat. Di pundaknya, terdapat tanggungjawab sosial dan beban moral. Sehingga pemuda, disebut sebagai Agent of Change dan Agent of Social Control. Lebih dari itu, profil pemuda juga disebut sebagai agen kemajuan. Karena, dalam diri pemuda ada satu nilai yang tidak dimiliki oleh kelompok lain yaitu nilai idealisme. Dengan idealisme itulah, pemuda selalu berjuang ke arah kemajuan dan terbukti pemuda berhasil mengusir kaum penjajah dari Ibu Pertiwi.
Dalam tinjauan sosio-historis, gerakan pemuda di Indonesia tercatat ke dalam beberapa fase perjuangan. Yaitu dimulai dari Tahun 1908. Fase ini melahirkan Boedi Oetomo, yang dibidani oleh para mahasiswa yang kebanyakan studi di dalam negeri. Perjuangan pemuda terus berlanjut hingga melahirkan gerakan Soempah Pemoeda pada Tahun 1928. Gerakan yang lahir pada Tahun 1928 ini Ansich gerakan solidaritas pemuda dalam melawan penjajahan di bumi Nusantara.
Kedua, fase perjuangan tersebut membuahkan hasil maksimal melahirkan Gerakan Mahasiswa 45, yaitu gerakan yang dimulai dari asrama-asrama mahasiswa di Jakarta. Tahun 1945 ini dikenal dengan Gerakan Kemerdekaan Indonesia yang diprakarsai oleh Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta. Dan hasilnya Indonesia sukses meraih kemerdekaannya dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme.
Perjuangan pemuda terus berlanjut pasca kemerdekaan. Hingga melahirkan gerakan pemuda Angkatan 66. Gerakan pemuda yang lahir pada Tahun 1966 adalah gerakan yang lebih berlatar belakang ideologis, yaitu upaya pemuda dalam pemberangusan komunis di Indonesia. Pada Tahun 1947, lahir gerakan anti modal asing Jepang yang disebut Malari 74.
Tahun 1978 melahirkan gerakan perlawanan terhadap Soeharto ini disebut Gema 77/78. Kemudian Tahun 1980-an, melahirkan mahasiswa Pasca NKK/BKK, berporos dari isu-isu kampus bertema kerakyatan. Dan puncaknya gerakan pemuda Tahun 1998, dikenal dengan Gerakan Mahasiswa 98, yaitu gerakan yang lahir dari kesadaran pemuda  menumbangkan Rezim Soeharto.
Berangkat dari rekam jejak fakta sosial dan sejarah di atas, dapat dipahami bahwa kehadiran pemuda dapat mengubah tatanan kehidupan masyarakat Indonesia baik dalam dimensi ekonomi, politik, hukum, budaya, dan dimensi keagamaan. Karena terbukti pemuda menjadi pemegang kendali arah dan tujuan Bangsa dan Negara.
Sebagaimana dalam pepata Arab disebutkan “Pemuda hari ini adalah Pemimpin di hari esokâ€. Karena itulah, maju dan mundurnya sebuah bangsa terletak pada pemuda. Lalu, bagaimana potretnya? Apakah pemuda zaman dahulu eksistensinya sama dengan pemuda hari ini? Apakah pemuda zaman dahulu kontribusinya dalam pembangunan bangsa sama seperti dengan kontribusi pemuda hari ini? Pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan jawaban yang objektif.
Dalam menjawab pertanyaan tersebut tentu kita harus jujur, terutama jujur dengan diri sendiri. Apakah kita sendiri telah berkontribusi untuk agama bangsa dan negara atau sedikitpun kita belum memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negara. Menurut hemat penulis, terdapat perbedaan antara pemuda hari ini dan pemuda zaman dahulu di era kolonialisme dan imperialisme hingga pasca kemerdekaan Indonesia. Pemuda hari ini terlalu bereuforia dengan keberhasilan pemuda di masa lalu. Pemikiran utopis yang tidak realistis dan konstruktif itulah yang membuat pemuda hari ini mengalami disorientasi dan dekadensi pemikiran dan tindakannya. Sehingga, gerakan pemuda mengalami stagnasi dan statis.
Tidak dapat dipungkiri, sejarah gerakan mahasiswa dan pemuda mencapai titik nadirnya pada Tahun 1998. Ketika Soeharto berhasil dilengserkan oleh pemuda dan mahasiswa, maka disinilah klimaks dari perjuangan pemuda. Di era Reformasi, gerakan-gerakan pemuda mulai direduksi oleh kepentingan individu dan kelompok. Akhirnya gerakan pemuda mati suri. Dengan fakta sosial inilah penulis mengatakan dengan lugas dan tegas pemuda hari ini tidak perlu ada.
Padahal Bung Karno mengatakan:
“Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya, berikan aku seorang pemuda, niscaya  akan kuguncangkan duniaâ€
“Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah duniaâ€.
Jika kita melihat kondisi pemuda saat ini mengalami degradasi moral, terbuai dengan kesenangan sesaat, sehingga lupa pada tanggungjawab sosialnya sebagai kader umat dan bangsa. Tataran moral dan akademik tidak lagi membawa contoh keteladanan bagi masyarakat. Harus diakui problematika pemuda yang ada di hadapan kita sangatlah kompleks, mulai dari masalah pengangguran, krisis eksistensi, krisis mental hingga dekadensi moral. Karena budaya pramagtis dan hedonis pun masih mengakar. Hal ini terlihat dari pemikiran pemuda cenderung instant dan bermuara pada sikap antisosial.
Adapun masalah yang lain, bobroknya moralitas pemuda berawal dari kurangnya pengawasan orangtua, keluarga dan lingkungan masyarakat termasuk lemahnya pemahaman dan pengamalan pemuda terhadap agama. Akhirnya pemuda melakukan pelanggaran terhadap aturan yang berlaku dan membuat pemuda terjerumus pada jurang kehancuran. Di beberapa penilitian mengemukakan bahwa dewasa ini banyak sekali pemuda melakukan tindakan seks bebas, kenakalan remaja, dan penyalahgunaan narkoba. Hal ini menjadi tugas semua komponen bangsa untuk menyelamatkan masa depan pemuda.
Sebagai bentuk komparatif, idealisme pemuda hari ini dan zaman dahulu pun jauh berbeda. Pemuda zaman dahulu rela mengorbankan jiwa dan raganya demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Pemuda dan mahasiswa, tidak hanya belajar di ruang-ruang kuliah, tetapi pemuda juga beralih profesi dari memegang buku dan pena ke memegang senjata dan bambu runcing untuk melawan penjajah. Pemuda dan mahasiswa turun ke jalan berdemonstrasi, mengkritisi kinerja pemerintah. Lalu hari ini pemuda hanya melanjutkan khittah perjuangan para pendiri bangsa, belajar dengan sungguh-sungguh untuk berprestasi agar mengabdi kepada umat dan bangsa  pun sangat sulit. Jadi, apa yang harus dibanggakan dari pemuda hari ini?
Untuk mengakhiri tulisan ini, ada lima solusi penting yang penulis kemukakan untuk menjawab problematika yang telah dipaparkan di atas. Pertama, konteks pemuda tak perlu ada adalah kaitannya dengan pemuda hari ini. Pemuda hari ini hampir kehilangan elan vitalnya sebagai miniatur dan pemegang tongkat estafet bangsa dan negara. Hal tersebut disebabkan karena idealisme, kreativitas dan inovasi sudah mulai direduksi oleh pemikiran apatis, hedonis dan pragmatis.
Kedua, menurut fitrahnya, manusia berpotensi menjadi pemimpin (khalifah). Terebih lagi manusia yang diberi gelar pemuda memiliki tanggungjawab sebagai pengatur, pelanjut dan pengganti. Karena itu pemuda harus menjadi ujung tombak perubahan dan peradaban dunia. Ketiga, pemuda hari ini harus membaca sejarah dan mengimplementasikan pontensi pemimpinnya. Budaya hedonisme, individualisme, pragmatis dan apatis harus ditinggalkan.
Keempat, Bangsa dan Negara ini didirikan atas dasar pengorbanan jiwa dan raga para founding father dan founding mother. Oleh karenanya, pemuda yang berkarakter wajib menghormati jasa para pahlawan dengan cara mematrikan dan mengejawantahkan nilai nasionalisme dan patriotisme ke dalam hidup dan kehidupan pemuda. Kelima, pemuda hari ini harus memiliki wawasan keislaman yang kokoh. Untuk membawa perubahan di bangsa ini tidak cukup hanya dengan ilmu pengetahuan. Harus ada panduan utuh antar iman ilmu dan amal. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi oleh iman dan takwa. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Albert Einstein, “agama tanpa ilmu adalah pincang, dan ilmu tanpa agama adalah butaâ€.
*Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) IAIN Ternate, Maluku Utara.
Write your comment
Cancel Reply