Oleh: Muhtadi.ZL*
Karakter memiliki peran yang sangat signifikan dalam membentuk manusia yang baik dan disiplin di segala aspek. Atau bisa juga karakter diartikan sebagai fondasi awal dalam membangun sumber daya manusia yang sangat kuat. Sebab setelah ditelisik lebih jauh, bangsa yang kuat terletak pada karakter yang disiplin.
Hal semacam ini sudah mendapat perhatian serius dari dulu sampai sekarang. Dan terbukti, negara-negara yang maju mayoritas memperhatikan perkembangan karakter bangsa atau rakyatnya. Seperti Jepang, yang telah kita ketahui bersama bahwa negara tersebut serius dalam menerapkan karakter disiplin ilmu. Ada juga Singapura yang disiplin dalam segi ekonominya. Sehingga, perkembangan di negara tersebut berkembang pesat, karena cara mengatur bangsanya mudah. Sebab, pemikiran mereka sudah sejalan dengan pemerintah, dan memiliki komitmen yang sangat kuat dalam hal kedisiplinan.
Untuk membentuk karekter disiplin, sebenarnya mudah. Seperti yang dikemukakan ulama filsafat etika, Ibnu Miskawaih dalam kitabnya, “Tahzib al-Aklak.†Kitab tersebut diterjemahkan dan disederhanakan ke dalam bentuk buku dengan judul “Pendidikan Karakter Ibnu Miskawaih.†Berdasarkan buku ini, penulis mencoba memaparkan beberapa tahap untuk membentuk karakter yang independen, seperti halnya Pengulangan (Repetition), adanya Proses (Proces), dan penyesuain (Adabtation). (Hal. 37)
Kehadiran buku ini seolah menjadi pedoman awal untuk menyelami karakter lebih dalam lagi, khususnya dalam membangun fondasi awal. Tentu hal-hal besar yang ingin diraih akan mudah didapat, dan hal ini membuat seseorang memiliki pemikiran yang lelusa dalam menyelami karakternya sendiri ataupun memberikan penafsiran terhadapa karakter orang lain.
Dengan kerakter yang sudah mendarah daging, seseorang tidak akan gegabah dalam memutuskan sesuatu. Karena untuk melaluinya membutuhkan pemikiran yang jernih atau pertimbangan terlebih dahulu. Sebab disadari atau tidak, seseorang merasa dikendalikan oleh sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu itu apa. Oleh karenanya, seseorang yang sudah memiliki karakter bisa dikata paham dalam memilah dan memilih yang baik dan tidak baik. Sehingga, jika hal seperti itu mudah dikendalikan. Maka jangan heran jika seseorang akan mendapat pengakuan dari orang di sekitarnya.
Namun, seperti yang dikemukakan di atas, untuk membentuk karakter ada pembiasaan. Pembiasaan ini menjadi pintu utama untuk memasuki tahapan selanjutnya. Karena karakter sebanarnya sudah ada dalam diri kita sedari dulu. Hanya saja, kita tidak terbiasa atau enggan untuk mengenal dan menyelaminya. Bahkan—dalam buku ini mengatakan—keberadaan karakter atau pembiasaan itu sendiri, berada di organ yang vital. Kebiasaan muncul karena otak terus-menerus mencari cara untuk menghemat upaya dan usaha. (Hal. 23)
Melihat keadaan Indonesia saat ini yang sedang mengalami berbagai macam problem, seperti politik, kekerasan dan pendidikan, masalah seperti ini biasanya timbul dari karakter yang tidak independen atau tempramental dari orang itu sediri. Sehingga, problem ini muncul dan harus segera dicarikan solusi oleh internal negara. Sebab jika tidak, problem ini (meskipun sepele) akan mengakar. Di saat seperti inilah, kehadiran buku 'Pendidikan Karakter Ibnu Miskawaih' seolah memiliki peran penting dalam memperbaiki masalah tersebut atau menjadi jalan utama untuk menguragi problem tersebut.
Jika dicarikan benang merahnya terkait permasalahan di atas, pandangan awal pasti tertuju pada karakter atau watak. Sebab, orang Indonesia—kebanyakan—lahir dari keluarga yang kurang memperhatikan kedisiplinan. Oleh karena itu, pemahaman tentang karakter harus segera diluruskan apapun kondisinya. (Hal. 65)
Pelurusan karakter sangat diperlukan, sebab pembinaan seperti ini memiliki tujuan jangka panjang dan hasil yang akan diperoleh pasti sesuai dengan ekspektasi awal. Hal ini senada dengan yang dikatakan Imam Ghazali, yaitu orang yang beriman harus mempunya tujuan jangka panjang. Seperti tujuan karakter itu sendiri, akan memliki dampak baik bagi yang melakukan. Sebab, pembinaan karakter bertujuan untuk mencetak tingkah laku manusia yang baik. (Hal. 45)
Buku dengan ketebalan 82 halaman ini sangat cocok dibaca oleh semua kalangan, termasuk orang tua dan guru atau pendidik. Kecuali untuk anak-anak, buki ini masih membutuhkan bimbingan dari orang dewasa, karena bahasa yang digunakan mayoritas kata ilmiah. Namun, seandainya buku ini mau dicetak ulang, sangat baik kiranya ada perbaikan dari segi kata yang kurang huruf. Meskipun demikian, buku ini tetap layak untuk dijadikan sebagai bahan rujukan bagi orang tua dan pendidik sebagai bahan awal untuk mendidik karakter mereka.
*Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk, Sumenep, Madura.
Write your comment
Cancel Reply