matamaduranews.com-SUMENEP-Tahun 1945 merupakan tahun paling bersejarah dalam proses berdaulatnya NKRI. Melemahnya cengkraman penjajahan Jepang yang mengaku sebagai “saudara tua†itu tidak lantas membebaskan sepenuhnya “sang saudara mudaâ€.
Jepang mulai galau. Sementara rakyat Indonesia, khususnya para tokohnya, mulai tidak sabar. Kemerdekaan harus diraih, bukan sebagai pamrih. Kemerdekaan Indonesia harus diperjuangkan, bukan karena pemberian.
Perang Pasifik yang menjadi sebab kalahnya Jepang semakin jelas. Sang Perdana Menteri, Jenderal Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944 mengumumkan bahwa Indonesia akan dimerdekakan kelak, sesudah tercapai kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya.
Dengan cara itu, Jepang berharap tentara Sekutu akan disambut oleh rakyat Indonesia sebagai penyerbu negara mereka, sehingga pada tanggal 1 Maret 1945 pimpinan pemerintah pendudukan militer Jepang di Jawa, Jenderal Kumakichi Harada, mengumumkan dibentuknya suatu badan khusus yang bertugas menyelididki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, yang dinamakan "Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (BPUPKI) .
Pembentukan BPUPKI tersebut untuk menyelidiki, mempelajari dan memepersiapakan hal-hal penting lainnya yang terkait dengan masalah tata pemerintahan guna mendirikan suatu negara Indonesia merdeka.
Usulan Telak dari Putra Sumenep
“Paduka Tuan Ketua yang terhormat! Lebih dahulu saya ucapkan pemyataan penghargaan yang sebesar-besarnya dan terima kasih kepada Panitia untuk menulis Undang-undang Dasar ini.
Tuan Ketua, di antara rakyat, di mana termasuk juga saya, ada yang menginginkan, bahwa Kepala Negara kita yang akan dipilih jadi Kepala Negara Republik Indonesia itu, hendaknyalah orang Indonesia aseli yang umumya tidak kurang dari 40 tahun dan beragama Islam.
Akan tetapi yang demikian itu tidak terdapat dalam Undang-undang Dasar dan karena itu saya majukan pertanyaan: apakah di luar Undang-undang Dasar akan diadakan Undang-undang yang menyatakan kehendak yang saya majukan tadi itu atau tidak?
Jika tidak, saya mohon supaya itu dimasukkan juga, entah di dalam Undang-undang Dasar atau Undang-undang lain, ialah ketentuan bahwa Kepala Negara atau Presideh Republik Indonesia hendaknya orang Indonesia yang aseli, berumur sedikit-dikitnya 40 tahun dan beragama Islam. Sekianlah, terima kasih.â€
Kata-kata lantang dan tegas itu keluar dari mulut seorang pria berkacamata. Pembawaannya tenang, tapi menyimpan gelombang semangat yang tinggi. Pria itu berasal dari sebuah pulau kecil di seberang Jawa. Di ujung timur sekali.
Pria itu merupakan salah satu putra unggulan Sumenep yang tak disangka-sangka, ternyata berperan dalam persiapan kemerdekaan 1945. Namanya hampir tidak pernah dibincang. Padahal perannya dalam proses lahirnya kedaulatan RI tidak bisa dianggap kecil.
Bangsawan Trah Onggodiwongso
Raden Abdul Rachim Pratalikrama, salah satu putra Raden Wongsotaruno, Patih Sampang yang asli Sumenep. Abdul Rahim adalah juga kakak dari Abdul Halim Perdanakusuma, Pahlawan Nasional yang gugur dalam menjalankan tugasnya pada 1947.
Lahir di Sumenep pada 10 Juni 1898. Abdul Rachim dibesarkan dalam lingkungan keluarga bangsawan Sumenep. Kakek buyutnya, Raden Tumenggung Rangga Kertabasa Pratalikrama merupakan petinggi keraton Sumenep di masa Panembahan Sumolo dan Sultan Abdurrahman sekaligus.
“Pratalikrama merupakan sosok yang berjasa dalam membantu Sultan Sumenep waktu menerjemahkan lempengan kuna berbahasa sansekerta. Lempengan yang ditemukan Gubernur Jendral Inggris, T. S. Rafflesh,†kata RB Muhlis, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep.
Nasab ke atas, Tumenggung Pratalikrama bersambung pada Raden Anggadiwangsa atau Onggodiwongso alias Raden Entol Anom, seorang tokoh keraton Sumenep abad 17 yang paling disegani. Selain dikenal kealimannya dalam hal agama.
Kembali pada Abdul Rachim, setelah lulus Bestuurschool pada 1929, ia aktif sebagai pegawai pemerintah. Dalam riwayat pekerjaan, beliau pernah menjadi Asisten Wedana Pasongsongan, Sumenep.
“Lalu berturut-turut menjadi wedana di Sapudi, wedana Asembagus (Situbondo), wedana Blega (Bangkalan), dan wedana Galis (Pamekasan),†kata Iik Guno Sasmito, salah satu kerabat Abdul Rachim Pratalikrama.
Setelah itu Abdul Rachim menjabat Patih di Panarukan, lalu pindah menjadi Patih di Lumajang. Terakhir saat pendudukan Jepang, ia ditugaskan ke Kediri hingga menjadi Residen Kediri, jabatan yang diemban hingga awal lahirnya NKRI.
Seperti disebut di muka, pada 1 Maret 1945 dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI (Dokuritsu Junbi Chosa-kai). Badan yang dibentuk Jepang pasca kekalahannya dalam perang Asia Pasifik itu guna mempelajari, menyelidiki dan mempersiapkan hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek politik, ekonomi, tata pemerintahan, dan hal-hal penting yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia yang merdeka.
Abdul Rachim merupakan salah satu dari 67 anggota BPUPKI. Badan yang dalam beberapa proses selanjutnya mengantarkan negeri ini menuju kedaulatannya. Ia terkenal dengan usulannya terkait syarat seorang Presiden.
Abdul Rachim wafat pada 8 Juli 1948. Jasadnya dimakamkan di area makam Setonogedong, Kota Kediri. Atas jasa-jasanya merintis lahirnya NKRI, pemerintah menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama pada tanggal 12 Agustus 1992, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 048/TK/Tahun 1992.
RM Farhan
Write your comment
Cancel Reply