Post Images
Oleh: Moh. Busri* Saat ini akan saya awali tulisan ini dengan kata “Salam Mahasiswa!”, untuk kalian para aktivis yang langkahnya sedang terselimpung dengan adanya wabah Covid-19. Lockdown menjadi pembahasan yang cukup membosankan untuk diperbincangkan bagi para mahasiswa yang semakin hari makin tergelitik dengan ketidakwarasan para petinggi. Biasanya mahasiswa yang seringkali mengawal segala bentuk kebijakan akan sering pula dirinya dihujani pertanyaan oleh petinggi-petinggi yang mengeluarkan kebijakan tersebut. Dan andaikan saat ini saya yang berada di tengah pertanyaan-pertanyaan itu, maka akan saya jawab dengan lantang sebagaimana sumpah mahasiswa itu dilontarkan. Jika saja hari ini saya ditanya “mengapa kamu mengkritik?”, maka saya akan menjawab “karena saya adalah mahasiswa”. Jika hari ini saya ditanya “mengapa kamu melawan?”, maka saya akan menjawab “karena saya adalah mahasiswa”. Dan jika hari ini saya ditanya “mengapa kamu tak takut?”, maka dengan lantang saya kembali akan menjawab “karena saya adalah mahasiswa”. Dari dulu hingga hari ini banyak sekali yang mengaku dirinya sebagai mahasiswa, namun ternyata tidak sadar tanggung jawabnya. Seperti yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka bahwa idealisme adalah keistimewaan terakhir yang dimiliki mahasiswa. Oleh karenanya, rasa getir itupun hangus seketika jika gelar mahasiswa itu terngiang jelas di benak saya. Mungkin lebih pas untuk dibahasakan saya hanya ingin merdeka, sama seperti yang Soe Hoek Gie katakan dalam bukunya (Catatan Seorang Demonstran: 2005), “Hanya ada dua pilihan, menjadi apatis atau mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka”. Sejatinya mahasiswa bukan lagi sebagai siswa, dan mahasiswa lebih mengerti permainan yang terjadi. Namun saat ini mahasiswa seringkali terkekang kemerdekaannya dan hanya rasa takut yang paling kuat untuk mengekang kemerdekaan mahasiswa. Pandemi Covid-19 bukan berarti menjadi alasan bagi mahasiswa untuk berhenti berpikir kritis dan membiarkan percaturan proyek terus berlangsung dimainkan oleh oknum-oknum yang berkepentingan. Perkuliahan online menjadi solusi untuk mengatasi kondisi pandemi yang terjadi, namun sadarkah bahwa pembelajaran yang terjadi sangat tidak efektif. Sementara di samping itu masiswa masih pontang panting untuk membeli paket internet, bahkan biaya perkuliahanpun masih saja melambung tinggi seakan para tuan dan puan di kampus tercinta enggan untuk berhati nurani. Jika mahasiswa berdiam diri melihat kondisi ini terus mengakar, maka tunggu saja kabar kematian nama mahasiswa. Namun jika mahasiswa melawan, maka bersiaplah nama mahasiswa akan segera berlumur kata anarki. Bukan hal yang asing saat para petinggi kampus itu berkata, “dulu saya juga aktivis dan dulu saya juga kritis, namun saya tau tempat dan kondisi”. Hal itu adalah bahasa yang teramat sering didengar oleh mahasiswa, tapi saya rasa mahasiswa melangkah sebab dirinya telah mengerti akan tempat, sasaran, dan kondisi. Mahasiswa memiliki hak untuk terus belajar menggali ilmu pengetahuan dengan memberikan upah sebagaimana tercantum dalam peraturan kampus (SPP/UKT/BKT). Maka, mahasiswa juga punya hak untuk menyampaikan aspirasinya jika kebijakan yang terjadi terasa kurang layak untuk diteruskan. Bukan berarti mahasiswa tidak memiliki etika pada saat menyampaikan aspirasinya, akan tetapi mahasiswa bukan lagi siswa dan tentunya sudah sedikit paham cara permainan catur politiknya. Kedua, sejak beberapa tahun yang lalu Indonesia telah menerapkan beasiswa khusus mahasiswa kurang berkemampuan namun memiliki semangat tinggi untuk kuliah. Beasiswa itu dikenal dengan nama “BIDIKMISI”. Programnya cukup baik, bahkan sangat membantu pada masyarakat menengah ke bawah yang kurang mampu namun bersemangat untuk melanjutkan pendidikannya. Akan tetapi, ada hal kurang elok di tengah Bidikmisi itu. Idealisme mahasiswa kembali terkekang lantaran para petinggi kampus semakin memiliki senjata sebagai ancaman untuk mahasiswa. Biasanya mahasiswa yang mencoba untuk mengawal kasus yang terjadi di kampus atau kebijakan yang kurang baik, maka dirinya diancam akan dicabut beasiswanya sehingga tidak dapat lagi melanjutkan kuliah lantaran tidak memiliki biaya. Lantas jika demikian adanya, bagaimana dengan hak dan tanggung jawab mahasiswa yang sejatinya memang sebagai agen of knowledge, agen of sosial control, dan agen of change. Mahasiswa selalu dituntut adanya untuk menjadi generasi yang berpengetahuan. Akan tetapi, segala bentuk bentuk pendidikan yang diberikan oleh para dosen dibatasi untuk dikritik. Padahal jika hal itu memakai teori “Hegel” adanya tesis sangat perlu menghadirkan antitesis agar tercipta sintesis. Begitu pula adanya teori yang diberikan dosen sangat perlu untuk dibantah agar dapat teruji keabsahannya dan ditemukan sebuah simpulan. Kalau saja hari ini mahasiswa masih belum bisa berpikir kritis, maka jangan heran jika hari esok banyak sarjana yang tidak mengerti dengan fokus pendidikannya sendiri. Ketiga, mahasiswa juga dituntut untuk menjadi generasi kontrol sosial. Akan tetapi pada saat dirinya mencoba untuk perjuangkan haknya sendiri, maka beribu ancaman menghampirinya. Jangankan memperjuangkan dan mengontrol sosial, memperjuangkan haknya sendiri saja sudah seakan membuat tiang gantungan berdiri tegak di depan mata. Maka siapakah penjajah hari ini?, siapakah pendidik hari ini?, dan siapakah pahlawan hari ini?, jika segala bentuk kemanusiaan dikendalikan oleh kepentingan materi. Yang terakhir, mahasiswa dituntut untuk menjadi generasi perubahan. Maka di sinilah mahasiswa harus berdiri tegak menggadaikan segala takut dan resahnya lantaran kita harus merdeka, bukan sebagai boneka. Wiji Thukul pernah berkata, “jika suara dibungkam, usul ditolak, maka hanya ada satu kata, LAWAN!!!”. Bukan berarti menjadi mahasiswa harus bersifat anarki, akan tetapi dengan menyampaikan aspirasi melalui literasi merupakan sebuah solusi yang cukup menarik dibandingkan idealisme yang ditukar dengan sesuap nasi. Untuk mengakhiri tulisan ini mungkin kembali saya tegaskan, mahasiswa hanya ingin merdeka. Salam Mahasiswa!!!. *Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI), beralamat di Matanair, Rubaru, Sumenep. Aktif di PMII sekaligus Redaktur Pelaksana LPM Retorika STKIP PGRI Sumenep.
Mahasiswa Sudahkah Mahasiswa Merdeka? Kemerdekaan Mahasiswa

Share :

admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Blog Unggulan

Surat Kabar

Daftar dan dapatkan blog dan artikel terbaru di kotak masuk Anda setiap minggu

Blog Terbaru