Oleh: Subhan Hi. Ali Dodego*
Saat ini dunia telah diguncang dan dihebohkan oleh kehadiran sosok tamu tidak terhormat. Sontak kehadirannya membuat seluruh negara di dunia merasa tak berdaya dan bertekuk lutut di hadapannya. Walaupun sebuah negara memiliki sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, ekonominya stabil, maupun sistem pertahanan militernya kuat, tetapi tidak dapat menangkalnya. Ia berstatus sebagai tamu, namun tidak memberikan rasa hormat kepada tuan rumahnya. Dialah Covid-19.
Sebelum datangnya tamu misterius dan mengerikan ini, sebagian masyarakat Indonesia menanggapi biasa-biasa saja, bahkan ironinya mereka menjadikan Coronavirus sebagai bahan lelucon. Padahal, Covid-19 sangat menakutkan dan membahayakan. Tidak lama kemudian datanglah tamu tidak terhormat ini dari negeri Tirai Bambu tepatnya di Kota Wuhan, China. Dan akhirnya warga negara Indonesia pun terjangkit Covid-19.
Dari kasus inilah, Indonesia menyadari bahwa ternyata Covid-19 adalah nyata dan bukan berita bohong (hoaks). Dilansir dari Kontan, hingga hari Jumat tanggal 17 April 2020: sebanyak 5.923 kasus positif Coronavirus, 607 orang sembuh dan 520 orang meninggal dunia. Sampai hari ini selain vaksin/obat Covid-19 belum ditemukan, juga belum ada pakar atau ahli yang dapat menentukan kapan berakhirnya Covid-19 ini.
Tampak dan jelas Covid-19 masih menjadi momok yang sangat menakutkan bagi masyarakat Indonesia. Untuk melakukan pencegahan Covid-19 Pemerintah Indonesia pun turut andil dalam menggodok regulasi pencegahan Covid-19 seperti, Social Distancing, Lockdown hingga imbauan #DiRumahSaja.
Jika vaksin atau obat penyembuh Covid-19 ini belum ditemukan, maka aktivitas masyarakat pun akan terbengkalai. Dan mirisnya adalah pandemi global ini juga akan berdampak pada aktivitas umat Islam dalam menjemput tamu yang agung nan mulia. Jika Covid-19 tidak berakhir, maka pada posisi ini umat Islam akan menjemput dua tamu. Yang satu tamu harus dilawan dan diusir dari rumah (Covid-19) dan tamu yang satunya harus diterima dengan hati yang ikhlas (puasa Ramadhan).
Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai orang-orang yang menghendaki kebajikan bergembiralah dan wahai orang-orang yang menghendaki keburukan tahanlah dirimu. Malaikat terus-menerus berseru seperti itu, sehingga bulan Ramadhan selesai†(HR. Ahmad dan al-Nasa’i).
Hadis tersebut sebagai penanda kita akan bertemu dan menjemput tamu agung yang sangat tinggi derajatnya. Tamu yang dimuliakan oleh Allah dan rasulnya, Muhammad SAW. Karena begitu penting kehadirannya, jauh sebelum datangnya Islam telah dijemput dan dipraktikkan oleh orang-orang terdahulu hingga diabadikan dalam al-Qur’an dan al-Hadis.
Sebagai umat Islam yang taat beragama, tentu kita memahami etika atau cara menjemput tamu yang datang di rumah kita. Sikap atau etika memperlakukan tamu telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sebagai tuan rumah kita harus bersikap sopan dan menerima tamu dengan lapang dada serta dengan penuh kegembiraan. Sehingga, ada rasa kebahagiaan yang juga turut dirasakan oleh tamu yang datang di rumah kita.
Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, khususnya dalam tradisi masyarakat Indonesia tamu itu sangat dihormati dan dimuliakan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kehadiran tamu yang datang dari dalam maupun dari luar daerah. Apalagi jika yang datang itu para pejabat negara atau pemimpin di suatu daerah, masyarakat selalu disibukkan dengan menjemput tamu. Bahkan acapkali pekerjaan mereka pun ditinggalkan hanya untuk menunggu dan menjemput tamu.
Kalau tamu yang bersifat lahiriyah yakni menjalin hubungan manusia dengan manusia (hablum minannas) saja kita sanjung dan junjung tinggi, lantas bagaimana dengan tamu yang bersifat ukhrawi? Tentunya dalam posisi ini kita punya pikiran dan jawaban yang sama yakni tamu yang bersifat ukhrawi jauh lebih penting daripada tamu yang lahiriyah.
Dialah bulan suci Ramadhan, sebagai tamu yang suci nan agung yang datang untuk melipatgandakan pahala dan menyucikan jiwa manusia agar menjadi manusia seutuhnya (sempurna) di hadadapan Allah SWT. Oleh karena itu, untuk menunjukkan komitmen kita sebagai umat yang taat, maka sebelum datangnya tamu yang agung ini kita harus mempersiapkan diri mulai dari sekarang melalui tuntunan Rasulullah SAW yaitu melaksanakan ibadah dan mensucikan diri dari sifat dengki, sombong, iri hati, riya’, dan sifat tercela lainnya.
Hakikat puasa tidak sebatas menahan lapar dan dahaga. Tetapi lebih dari itu, puasa harus dijadikan medium untuk memperbaiki diri, yaitu melawan hawa nafsu, dengan cara menjaga hati, pikiran, ucapan dan perbuatan kita agar terhindari dari bujuk rayu syaitan. Banyak orang yang hingga akhir puasa, tidak mendapatkan nilai puasa, dengan kata lain puasanya sia-sia. Karena syaitan berhasil menyeret dan menggelincirkan dirinya untuk berbuat kejahatan di bulan suci Ramadhan.
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
“Shalat lima waktu, antara Jum’at dengan Jum’at yang lain, antara Ramadhan dengan Ramadhan berikutnya dapat menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan di antaranya apabila menjauhi dosa besar†(HR.Muslim).
“Bulan Ramadhan, bulan yang Allah mewajibkan atasmu berpuasa dan Aku telah mensunahkan bagimu berdiri untuk shalat di malam harinya. Siapa yang berpuasa Ramadhan dan melakukan Shalat malam dengan penuh iman dan hanya mengharap keridhaan Allah, niscaya orang tersebut akan terlepas dari dosa-dosanya seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya†(HR. Ibn Khuzaimah).
Jika kita menelaah dan memahami hadis di atas, memberi informasi sekaligus harapan bahwa Allah akan memuliakan dan menghapuskan seluruh dosa yang dilakukan oleh manusia. Hingga pasca puasa dirinya ibarat bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya. Namun, ada syarat yang harus dipatuhi oleh manusia. Syarat atau kriteria inilah yang akan mengangkat harkat dan martabat manusia di hadapan Allah SWT.
Kriteria tersebut adalah selama bulan suci Ramadhan, kita tidak boleh melakukan dosa. Perbuatan yang disengaja untuk melanggar perintah Allah merupakan dosa yang harus ditinggalkan oleh manusia. Syarat yang berikutnya adalah selama bulan suci Ramadhan kita harus berpuasa. Boleh tidak berpuasa bagi mereka yang uzur. Selama tidak ada uzur puasa harus tetap dilaksanakan.
Selanjutnya kita dituntut untuk bangun di malam hari bersujud kepada Allah. Hal ini dilakukan untuk menambah kualitas ibadah kita dengan memperbanyak shalat sunnah seperti tahajud, dhuha, hajat, tarawih dan shalat sunnah lainnya. Kemudian, kita harus beriman kepada Allah SWT dan mengharapkan keridhaan-Nya. Ibadah yang kita lakukan ditujukan semata-mata untuk meraih ridha-Nya, bukan karena dunia dan materi.
Bulan suci Ramadhan adalah bulan yang penuh maghfirah dan ampunan. Salah satu bulan yang paling dimuliakan olah Allah SWT. Oleh sebab itu, untuk menjemput kehadirannya kita perlu mempersiapkan diri mulai dari sekarang. Sebab, hanya orang-orang pilihan dan taatlah yang dapat mendapatkan nikmatnya puasa Ramadhan.
Oleh karena itu, puasa Ramadhan ini harus dijadikan momentum sakral yang diisi dengan melaksanakan ibadah. Banyak orang yang melaksanakan puasa hanya mengejar kuantitas tapi sedikit mengejar kualitas. Bagaiamana tidak? Puasa yang idealnya harus dijadikan wadah untuk memperbaiki diri dari perbuatan dosa, malah sebaliknya melaksanakan perbuatan maksiat dan tidak sedikit yang melaksanakan puasa hanya untuk menggugurkan kewajiban.
Dengan demikian, muslim yang taat dapat terlihat dari pola tingkah, sikap dan pola lakunya. Ketika dia berpuasa, selalu menjaga pikiran, lisan dan tindakannya untuk tidak melakukan kejahatan. Sebab, esensi puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tapi harus menjaga diri dari perbuatan maksiat kepada Allah SWT. Dengan tingkah laku seperti ini, insyaallah puasa kita menjadi berkah di dunia dan kelak di akhirat. Wallahu a’lam bishawab!
*Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Ternate, Maluku Utara
Write your comment
Cancel Reply