matamaduranews.com-CATATAN ini mungkin tidak seperti yang pembaca bayangkan. Karena tulisan singkat ini hanya sebatas refleksi dari pengalaman kala saya tidak sengaja nyangkruk bareng dengan petani di Madura.
Tiga orang petani Madura sedang duduk di depan toko, mereka sedang menunggu pupuk yang dibelinya dari Sampang. Petani yang satu menggerutu pupuk sedang mahal.
Dua lainnya menyergah "larang ta' ponapah pokok ce' parepot reng taneh". Kira-kira maksudnya: mahal tidak masalah yang penting petani tidak sulit mendapatkannya.
Ingatan saya, ketika mendengarkan diskusi tiga petani Madura tersebut langsung kepada Hub De Jong. Salah seorang sejarawan Belanda yang menulis buku : Sejarah Madura dalam Tiga Zaman.
Hub De Jong, menyebutkan bahwa sebagian kecil daerah di Madura adalah kawasan agraris dengan potensi pertanian tembakau dan padi.
Pertanian tembakau dianggap sangat cocok dengan struktur tanah yang keras dan sifatnya yang kasar menyerupai lempung berpasir di hampir seluruh tanah di empat kabupaten di Madura. Bahkan, di dalam buku ; Madura : Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris 1850-1940, Kuntowijoyo menyebutkan pertanian tembakau di Madura adalah salah satu sektor industri penghasil tembakau terbaik di Jawa Timur.
Adapun untuk sektor pertanian padi, petani Madura biasanya bercocok tanam di lahan dengan struktur tanahnya relatif bercampur lumpur dan subur. Lahan yang relatif subur ini lumrahnya berada di kawasan sungai atau di sawah-sawah pedalaman desa dengan sistem perairan menggunakan saluran kecil. Petani Madura menyebut jenis tanah tersebut dengan sebutan "tanah oro".
Nah, di tempat saya tinggal, rata-rata masyarakat adalah pekerja usahatani tembakau dan padi. Masyarakat menggantungkan pendapatan pada kebun tembakau saat musim kemarau dan padi pada saat musim hujan.
Saat ini sedang musim hujan, berarti sebagian besar petani telah menggarap sawahnya untuk bercocok tanam. Musim-musim hujan seperti ini adalah musim yang ditunggu dan diharapkan untuk tumbuh kembang padi yang ditandur di sawah ladang milik petani.
Tetapi ada yang tidak diharapkan oleh petani, ialah fenomena mahalnya harga pupuk dan sulitnya petani mendapatkan pupuk. Subai salah seorang petani padi yang tengah mengeluhkan pupuk yang harganya mahal dan langka.
Rekannya Marjidin, juga mengalami hal yang sama. Bahkan secara samar-samar saya mendapatkan informasi hampir seluruh petani di Madura tengah kesulitan untuk mendapat pupuk. Kabarnya sebagian masyarakat menyerukan aksi ke PT. Pupuk Indonesia dan Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur untuk melakukan audiensi menyampaikam permasalahan pupuk yang mahal dan langka di Madura.
Fenomena pupuk langka dan mahal yang dialami petani Madura terjadi ketika negara hadir dalam ruang-ruang industri pertanian secara intim. Negara menciptakan mekanisme-mekanisme pasar yang tak lain adalah perwujudan dari state kapitalisme.
Konsep state kapitalisme ekonomi ialah dimana komersialitas industri pertanian dipegang oleh negara, sementara alat produksi diorganisir dan diurus oleh pasar untuk kepentingan negara. Gampangnya kekuatan negara dan kekuatan kapitalis digabungkan (the economist:60).
Di dalam sistem state kapitalisme, pasar sengaja dibuat untuk memfasilitasi eksploitasi kepada para petani. Pada saat yang sama nasib petani menjadi taruhan dari sistem yang sama sekali tidak menguntungkan tersebut.
Disinilah penghancuran sistem pertanian dengan sistem monopolistik gaya baru terus dilegitimasi oleh negara. Sementara itu di saat yang bersmaan sistem tersebut menggurita dan berhasil mengeksploitasi, mengasingkan, dan menjebak masyarakat petani dalam jerat kapitalisme pertanian gaya baru. Dimana pasar seolah-olah tidak terlihat perannya dengan pengaturan negara, padahal secara samar-samar pasar berhasil memelihara rent seeking dengan negara.
Setelah melakukan refleksi ini, secara perlahan saya temukan beberapa persoalan berikut. Pertama, kelangkaan pupuk terjadi akibat distribusi pupuk subsidi dengan mekanisme penyaluran lewat kelompok tani. Tujuan distribusi ini semula ialah agar subsidi bisa tepat sasaran.
Sepintas mekanisme ini tampak begitu baik, memanjakan petani dengan sistem kios pupuk semakin dekat bagi petani di desa-desa. Mendekatkan petani dengan akses terhadap barang-barang kebutuhan pertanian dan membuat petani semakin dimanja.
Sayangnya, mengiringi perkembangan mekanisme tersebut, persoalan demi persoalan berdatangan. Mekanisme penyaluran ini menimbulkan masalah baru, ialah terjadinya praktik monopoli bisnis pupuk oleh segelintir orang kaya yang sengaja ingin menguasai bisnis pupuk. Orang yang kaya ini bekerjasama dengan pemerintah melakukan cara-cara rent seeking (loby dan suap). Sebagai hasilnya distribusi pasar pupuk pertanian menjadi abu-abu, seolah-olah bisnis pupuk di dalam kontrol negara namun kenyataannya marketlah yang menguasai mekanisme-mekanisme yang dibuat negara.
Kedua, munculnya penyalahgunaan pupuk subsidi di kelompok tani, elit desa, dan elit lokal daerah. Hal ini mengakibatkan distribusi terhambat dan pupuk menjadi mahal dan lanka.
Para elit ini dimungkinkan menjadikan bisnis pupuk untuk mendapatkan hasil yang berlipat ganda dari akses mereka terhadap mekanisme pasar yang dibuat oleh negara.
Bisa jadi elit-elit lokal tersebut bagian dari rent seeking yang bukan hanya untuk mencari keuntungan dari hasil kerjasama dengan negara tetapi juga keuntungan dengan mekanisme pasar.
Jika melihat dua hal di atas, tulisan ini telah menyimpulkan bahwa distribusi pupuk subsidi dengan mekanisme penyaluran lewat kelompok tani menambah masalah baru ialah terhalanginya hak pemerataan dan lahirnya monopoli bisnis pupuk, serta munculnya penyalahgunaan pupuk subsidi di tingkat elit kelompok tani, elit desa dan lokal daerah.
Pertanyaan selanjutnya apa yang akan terjadi terhadap industri pertanian di Madura jika mekanisme-mekanisme tersebut berlanjut ?.
Barangkali untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan ini penulis perlu menggunakan teori alienasi Karl Marx. Menurut Marx, alienasi manusia bisa terjadi karena manusia tidak dapat merealisasikan dirinya secara bebas dan universal dalam bekerja.
Makanisme state kapitalisme di dalam industri pertanian sebagaimana digambarkan di dalam kehidupan sosio ekonomi maayarakat Madura telah mendorong alienasi atau pengasingan petani dari alam, di mana masyarakat petani dipaksa meninggalkan ruang pertanian karena faktor mekanisme pasar yang merugikan.
Disinilah rantai eksploitasi terhadap petani Madura terus berlanjut karena ketergantungan yang diciptakan lewat mekanisme state kapitalisme.
Dalam kondisi petani mengalami alienasi maka petani secara perlahan berubah dan beralih menjadi pekerja upahanan seperti buruh di kota-kota.
Fenomena alienasi petani Madura dalam beberapa tahun terakhir rasanya cukup menjadi contoh.
Banyak petani Madura berubah profesi menjadi buruh upahan dengan bekerja di pabrik dan sektor lain. Meski penulis tidak tahu pasti data megrasi penduduk berprofesi petani ke pekerja upahan di kota, tetapi secara faktual kondisi ini tergambarkan dari massifnya mobilitas penduduk Madura mencari kerja ke kota-kota besar seperti Bali, Jakarta, Tangerang dan Surabaya.
Nampaknya perubahan tersebut sepintas tidak secara langsung memberi dampak negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat Madura.
Namun bila direfleksi secara mendalam, perubahan sosial yang digambarkan menimbulkan retakan ekosistem sosial ekonomi pertanian di Madura.
Sebagai kesimpulan, penulis ingin katakan bahwa pertanian di Madura dalam beberapa tahu ke depan mungkin akan ditinggalkan dan kita akan melihat, hanya ada petani tua di Madura.
*Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya
Write your comment
Cancel Reply