Pedang Allah yang terhunus merupakan sebuah julukan yang sangat pas disematkan pada Khalid bin Walid. Rasulullah SAW memberikan julukan demikian karena memang telah dapat dibaca sejak awal menjadi tentara Islam bahwa sosok Khalid adalah seorang panglima perang yang tidak akan pernah terkalahkan oleh pasukan apapun sekalipun tentara musuh berkali lipat lebih banyak dari tentara Islam. Hal itu terjadi bahkan sebelum menjadi muslim. Khalidlah panglima pasukan kafir yang memporak-porandakan dan mengalahkan pasukan Islam dalam perang Uhud, sehingga banyak tentara Islam yang syahid.
Kenyataan tersebut cukup beralasan sehingga Rasulullah memberikan julukan dengan ‘Pedang Allah’. Sesungguhnya itu menjadi ketetapan bagi Khalid bin Walid untuk tidak meninggal di medan perang. Seandainya Khalid wafat di tangan orang kafir, maka itu artinya Pedang Allah telah berhasil dipatahkan oleh musuh Allah, dan itu tidak akan mungkin terjadi. Dari saking hebatnya, Khalid seolah tidak membutuhkan pertolongan-Nya untuk memenangkan setiap perang.
Buku setebal 264 halaman ini menceritakan riwayat hidup dan perjuangan Khalid bin Walid ; seorang panglima perang Islam yang tangguh da ahli di dalam mengatur siasat perang. Junaidi Ahmad, penulis buku ini, menceritakan dengan lengkap dan teliti mulai dari silsilah keluarganya, pergaulannya di masa muda, dan kenapa kemuian ia masuk Islam serta berbagai peperangan yang diikuti baik bersama, sebelum dan setelah Rasulullah wafat.
Bahwa Khalid adalah keturunan Bani Makhzum, satu klan dari suku Quraisy yang dihormati. Keluarganya kaya raya, terpandang, dan terkuat di kalangan Quraisy. Ayah Khalid, Walid, adalah pemimpin dan tokoh utama Bani Makhzum. Maklum, jika pada usia remaja Khalid dikenal sedikit sombong. Pada masa mudanya, Khalid hobi dan ahli gulat. Bahkan suatu waktu diceritakan bahwa Khalid pernah bergulat dengan Umar bin Khattab. Kedua tokoh ini memiliki usia dan fisik yang sama. Dalam pergulatan, Khalid ternyata mampu mengalahkan Umar, bahkan sampai mematahkan kakinya.
Sebagai putera yang lahir dari keluarga yang hobi perang, Khalid juga berlatih mengendarai kuda, belajar keterampilan berperang mengguakan berbagai jenis persenjataan seperti tombak, pedang, lembing, anak panah dan lainnya. Ia juga berlatih berperang di atas punggung kuda. Masyarakat jahiliyah menganggap pedang sebagai senjata utama dalam perang. Dalam hal ini, Khalid menjadi pemuda yang sangat dominan dalam seni bertarung dengan pedang. Karena kemampuan itulah masa muda Khalid juga digunakan untuk mengawal kafilah-kafilah dagang ke berbagai daerah sekitarnya.
Mulanya, sama seperti keluarganya, Khalid pun memusuhi Islam, bahkan ia pernah menjadi panglima perang melawan Islam di bukit Uhud. Namun, kemudian Allah memberikan hidayah kepadanya melalui sebuah surat yang dikirimkan saudaranya, Al-Walid—yang saat itu telah lebih dulu masuk Islam. Waktu itu Khalid sedang dilanda kebimbangan sampai-sampai berpindah agama ke agama Nasrani Heraklius. Setelah membaca surat itu, Khalid bangun dari kekafirannya dan berangkat beserta dua orang temannya, Amru bin Ash dan Utsman bin Thalhah, menemui Rasulullah untuk masuk Islam.
Setelah masuk Islam, Khalid masuk ke dalam barisan tentara Islam dan mengikuti banyak perang. Ada sekitar enam perang yang diikuti Khalid bersama Rasulullah dan empat belas perang pasca Rasulullah wafat. Dan seluruhnya tidak satupun yang mengalami kekalahan sekalipun dalam segi pasukan, Islam kalah jauh. Seperti perang melawan Romawi yang memiliki pasukan sebanyak 20.000 tentara, sementara pasukan Islam hanya sebanyak 3.000 tentara (hal 76). Juga saat melawan Musailamah Al-Kazzab pasukan Islam berjumlah 12.000 orang dan pasukan Musailamah sekitar 40.000 orang (hal 130).
Hal tersebut membuktikan bahwa kuantitas pasukan tidak begitu penting bagi Khalid. Yang lebih penting dari itu ialah kualitas semangat dan keberanian dalam pasukan serta pengaturan strategi perang yang baik dan mematikan. Dengan itu, perang baru akan dapat dimenangkan. Ketika melawan tentara Romawi yang banyak, Khalid pernah berkata: “Apakah kau kira aku takut terhadap pasukan Romawi yang banyak? Sesungguhnya pasukan itu baru dianggap banyak jika berhasil memenangkan perang, dan akan dipandang sedikit jika mereka kalah.†(hal 191).
Selain dikenal sebagai sosok yang tangguh, mahir bertarung dan paling berani, Khalid juga ahli dalam mengatur siasat perang. Khalid selalu menggunakan taktik yang mengejutka lawan. Semisal penyerangan secara tiba-tiba, menyerang pada malam hari, pemilihan posisi pasukan yang baik, mengelabui musuh di medan, serta strategi-strategi lain yang cemerlang dan sulit diterka musuh. Akan tetapi, disebabkan tidak pernah kalah dalam perang, Khalid akhirnya wafat di tempat tidurnya setelah dipecat dari jabatannya sebagai prajurit oleh Khalifah Umar.
Pada bagian akhir buku, Junaidi menyertakan kesimpulan tentang nilai-nilai keteladanan Khalid bin Walid yang dapat ditiru oleh setiap orang dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, buku ini sangat bagus dibaca oleh umat Islam di samping sebagai tambahan khazanah sejarah Islam juga bisa dijadikan hikmah yang bisa dipetik dan diaplikasikan sehari-hari. Akan tetapi, terdapat satu hal paling urgen yang menurut penulis perlu diperbaiki karena hal itu sangat mengganggu pembaca, bahkan apabila fatal bisa merusak pemahaman bacaan. Yakni terlalu banyaknya kesalahan dalam penulisan. Seandainya buku ini akan dicetak ulang, maka perlu diteliti lagi untuk kemudian diperbaiki. Wallahu a’lam.
Annuqayah, 01 Februari 2020 M.
*Ahmad Nyabeer adalah nama pena Ahmad Fawa’id. Mahasiswa INSTIKA Guluk-Guluk, Sumenep. Aktif di Komunitas Persi.
Write your comment
Cancel Reply