matamaduranews.com-SUMENEP-Seperti yang diulas sebelumnya, salah satu makam berukuran panjang di Sumenep ialah di kawasan Mandaraga. Kawasan ini masuk wilayah kecamatan Ambunten.
Di sana ada makam panjang yang dikeramatkan warga setempat, bahkan mayoritas warga Sumenep lainnya.
Sosok yang dimakamkan di tempat itu sejatinya merupakan sosok istimewa. Sosok ini tidak pernah disebut Landaur. Meski ukuran makamnya memang mirip dengan makam-makam lainnya yang diklaim sebagai makam Landaur.
Makam kuna yang tak biasa di Desa Keles, Kecamatan Ambunten, Kabupaten Sumenep itu juga masih menyimpan misteri.
Disebut tak biasa, kendati dari bentuk nisannya memang kuna, namun ukuran kijingnya jauh lebih panjang dari makam kuna manapun di Sumenep. Mungkin satu-satunya yang mirip makam ini hanya di daerah Kecamatan Bluto, yaitu pasarean Raja Joharsari.
Makam di Desa Keles itu dikenal oleh masyarakat Ambunten sebagai makam Pangeran Mandaraga. Nama Mandaraga, di literatur babad atau sejarah Sumenep dikenal sebagai salah satu penguasa kawasan ujung timur Pulau Garam ini.
Nama itu sejatinya sebuah ‘nisbat’. Karena nama asli Mandaraga, konon ialah Raden Piturut. Mandaraga adalah sebuah tempat atau lokasi yang beliau diami. Dalam konteks penguasa, di tempat itu ia bertahta atau mendirikan keratonnya.
“Ya, kini, Mandaraga menjadi nama sebuah kampung,†kata Faiqul Khair al-Kudus, salah satu pemerhati sejarah di Parongpong, Desa Kecer, Kecamatan Dasuk, pada Mata Madura.
Nah, di mana letak misterinya? Dalam catatan babad karya Werdisastra, nama Pangeran Mandaraga disebut lebih awal. Babad memang memulai kisahnya dari sosok legendaris utama Sumenep: Jokotole.
Kendati literatur lain menyebut bahwa Sumenep, dari catatan otentik, sudah diperintah oleh penguasa bernama Aria Wiraraja, sekitar kurang lebih 2 abad sebelumnya.
Nah, Pangeran Mandaraga dikenal sebagai keturunan langsung adik Wiraraja, yaitu Aria Bangah, yang selanjutnya mengganti sang kakak sebagai Adipati di Sumenep.
Namun, di beberapa catatan silsilah, baik yang bersumber di Madura Timur (Sumenep) atau Barat (Pamekasan hingga Bangkalan), ada nama Pangeran Mandaraga yang disebut sebagai cucu Sunan Kudus.
Beliau ditulis sebagai suami Nyai Gede Kentel, cucu Sunan Giri. Catatan itu bahkan diadopsi juga oleh penulis buku silsilah keluarga besar Keraton Sumenep dari dinasti terakhir.
“Di buku silsilah Sumenep, salah satunya yang disusun RB Abdul Fatah, setebal 75 halaman,†kata R. Ja’far Shadiq, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep.
Masalahnya, jika kemudian Pangeran Mandaraga yang disebut sebagai suami Nyai Gede Kentel itu adalah orang yang sama dengan penguasa Sumenep di kurun 1300-an Masehi itu, jelas tertolak dengan fakta sejarah masa hidup Sunan Giri (kakek Nyai Gede Kentil) yang lahir di paruh pertama 1400-an Masehi.
“Namun masalah lainnya, kedua sumber, yaitu babad dan catatan silsilah yang versi ke Sunan Kudus, sama-sama menyebut bahwa Pangeran Mandaraga berputra Pangeran Bukabu dan Pangeran Baragung,†ujar Ja’far.
Misteri asal-usul itu menurut Ja'far perlu dilakukan kajian mendalam. Di sana perlu dilakukan ujian adu data, dan perlu dibuat kesimpulan, meski tidak harus menyamakan versi.
“Sejarah memang tidak akan selesai dikaji, sampai kapan pun,†imbuh salah satu personel Komunitas Ngoser (Ngopi Sejarah) ini.
Lantas bagaimana dengan postur makam? KH Suhil Imam di Ambunten yang juga dikenal sebagai pemerhati silsilah dan sejarah ikut berkomentar. Menurut beliau makam tersebut tidak sepanjang itu. Namun sudah dipugar lagi.
“Tidak seperti itu aslinya,†tuturnya.
Beliau juga menyebut nama Mandaraga kurang tepat, namun yang benar ialah Mandiraga.
Terpisah, R. Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah lainnya mengatakan, mungkin kata-kata Kiai Suhil ada benarnya. Pasalnya, kijing makam sudah tidak original, alias dikeramik.
“Bisa jadi antara nisan bagian kepala dan kaki bergeser atau memang sengaja digeser,†katanya.
RM Farhan
Write your comment
Cancel Reply