matamaduranews.com-SUMENEP-Nama Pangeran Jimat begitu populer di dua wilayah sekaligus di Pulau Garam. Baik di Sumenep maupun Pamekasan.
Pasalnya, sang pangeran yang bernama kecil Raden Ahmad ini memang dikenal sebagai pribadi mengesankan.
Pemberani, keras, tegas, ambisius, tapi juga alim, dan linuih.
Beberapa kisah karomah beliau biasa dituturkan di kalangan keluarga keraton Sumenep dari masa ke masa. Salah satunya kisah tentang beliau yang bisa membaca kata hati orang lain.
Nah, di edisi ini, Mata Madura mencoba mengulas sosok besar ini yang di masanya menyatukan dua negeri besar. Yaitu Sumenep dan Pamekasan.
Tak hanya itu Pangeran Jimat dikenal dengan upaya memadurakan sebagian tanah di Jawa bagian timur. Maduranisasi ini berlanjut hingga dewasa ini.
Menguasai Pamekasan
Pangeran Jimat di edisi sebelumnya dikisahkan melebarkan wilayah kekuasaannya hingga Pamekasan.
Sejarahnya tidak sesingkat itu. Namun memiliki akar panjang. Singkatnya, sang Pangeran yang bergelar Cakranegara III ini memang dari garis laki-laki adalah pewaris utama negeri Pamelengan (sebelum bernama Pamekasan).
Ayahnya, Pangeran Rama adalah anak tertua dari Pangeran Gatutkaca alias Adikoro I, Raja Pamekasan.
Gatutkaca adalah anak satu-satunya Pangeran Purboyo. Purboyo adalah anak tertua dari Panembahan Ronggosukowati, raja terbesar Pamekasan.
Latar belakangnya yang prestisius menjadikan suatu hal yang bersifat lumrah, hingga membentuk kepribadian unggul dalam dirinya.
Dalam catatan Zainalfattah, Pangeran Jimat sebelumnya memang menjadi bupati di Pamekasan. Kemungkinan itu terjadi di masa Pangeran Wiromenggolo, saudara iparnya yang menggantikan Pangeran Rama.
Namun jika benar, Pamekasan masih di bawah pemerintahan Adikoro II (anak Gatutkaca yang lahir dari selir). Sehingga mungkin kedudukan Pangeran Jimat kala itu sebagai bupati kecil di negeri bagian Pamekasan.
Dalam sejarah, Pamekasan memang memiliki beberapa negeri bagian, seperti Jambringen, Lawangan Daya, Lambanglor, Pakacangan, dan lainnya.
Nah, singkat cerita, Pangeran Jimat menyisihkan Adikoro II dan menggabungkan Pamekasan dalam bagian kekuasan Sumenep. Kejadian itu saat beliau menduduki tahta Sumenep (1721-1744).
Tak sampai di situ, beliau pun berhasrat meluaskan kekuasaan hingga ke seberang. Dari sana dibuatlah ekspedisi.
Maduranisasi Tapal Kuda
Hasrat Pangeran Jimat dalam meluaskan wilayah kekuasaannya ke seberang itu dimulai dengan membabat wilayah Besuki, Blambangan dan sekitarnya.
Sosok-sosok yang berpengaruh dalam roda pemerintahan beliau di antaranya ialah Raden Demang Wongsonegoro, Patih Sumenep; dan Raden Kromosure (Atmologo), salah satu menteri keraton.
Wongsonegoro dikenal dengan kebijakannya, dan kealimannya. Sosok yang berwibawa dan disegani keluarga keraton.
Sementara Kromosure atau Atmologo dikenal dengan keperwiraannya. Beliau dikenal sebagai sosok pilih tanding di medan laga.
Keduanya adalah putra Raden Entol Anom alias Patih Ronggodiboso, Patih legendaris Sumenep di abad 17.
Dalam pembabatan itu, dikirimlah atau dipindahkan orang-orang Pamekasan dan Sumenep ke Besuki. Sebagai wakil raja di sana, dalam sebuah riwayat di kalangan keluarga Rumah Panggung Ronggodiboso, ialah Raden Kromosure atau Atmologo.
Sejak saat itu, "eksodus kecil" warga Madura ke wilayah Tapal kuda membentuk warna baru di sana. Tradisi, budaya, sekaligus bahasa Madura hidup dan mengakar di sana.
Sepeninggal Pangeran Jimat, di wilayah Besuki muncul tokoh Pate Alos, yaitu keturunan Raden Abdullah (Asta Jambul, Pademawu, Pamekasan) sebagai Patih di Besuki.
Puluhan tahun berikutnya, Besuki dibentuk kadipaten dengan Raden Bambang Sutiknya sebagai Adipati Pertama. Sutiknya yang bergelar Pangeran Adipati Ario Prawiroadiningrat I itu merupakan cucu Panembahan Sumolo, Raja Sumenep (1762-1811).
Jadi sebelum muncul kebijakan kolonial tentang Maduranisasi (pemilihan bupati dari etnis Madura) pada abad 19, Pangeran Jimat telah menancapkannya sejak abad 18.
RM Farhan
Write your comment
Cancel Reply