Blog Details Page

Post Images
matamaduranews.com-BANGKALAN-VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) alias kongsi dagang Belanda resmi menancapkan pengaruhnya di pulau Garam sejak abad 18. Kendati dalam prakteknya, Madura masih berdiri dengan sistem keratonisasi, dan penguasanya masih didasarkan pada trah. Namun dalam beberapa kasuistik, politik adu domba (devide et empera) bangsa negeri Kincir Angin itu memang menciptakan beberapa angin perubahan di kawasan Nusa Garam. Para penguasa Madura juga sedikit diuntungkan secara prestice dari efek semakin rapuhnya Mataram. Yang mana para penguasa Madura diposisikan oleh VOC sebagai “teman”. Maknanya bukan jajahan VOC atau Mataram. Setelah Raden Jurit dinobatkan sebagai penguasa Madura Barat dengan gelar Pangeran Adipati Cakraningrat IV, pusat pemerintahan dipindah dari Tonjung Sekar ke Sembilangan. Prahara Sebelum Mukti Cakraningrat IV sejatinya tidak senang pada Mataram, kendati penguasanya, Amangkurat IV adalah besannya. Bahkan, Cakraningrat menerapkan politik lunak pada Belanda, dan memilih menjadi “bawahan” VOC dari pada Mataram. Peluang konflik Mataram dengan Belanda dimanfaatkannya untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram atas Madura Barat yang mulai berkembang hingga beberapa daerah di Jawa Timur. Menghadapi Cakraningrat IV tentu saja Mataram tidak mampu. Sehingga puncaknya Cakraningrat IV bahkan berhasil menduduki Kartasura. Menyikapi itu, VOC meminta Cakraningrat IV untuk menyerahkan kembali Kartasura. Di situlah kemudian terjadi angin perubahan. Cakraningrat IV justru menolak, dan mengadakan perang terbuka dengan VOC. Hal itu diawali dengan sikap tidak mengirim upeti lagi pada Belanda. Belanda lantas mengajukan perundingan pada 1744. Langkah yang ditolak mentah-mentah oleh Cakraningrat IV. Akhirnya, pada 1745, Belanda mengumumkan bahwa Cakraningrat IV makar alias memberontak. Awalnya VOC kewalahan menghadapi Cakraningrat IV. Bahkan Cakraningrat IV mencoba meluaskan wilayah hingga Madura Timur (Sumenep), namun gagal. Arus cerita pun berbalik. Cakraningrat IV mulai terdesak oleh serangan Belanda, sehingga beliau memilih menyingkir dari Madura Barat, dengan tujuan, Madura Barat masih tetap dipimpin keturunannya. Cakraningrat IV pun menyeberang ke Kalimantan. Di mana di sana salah satu putrinya menikah dengan Sultan Banjarmasin. Namun ternyata menantunya mengkhianatinya. Cakraningrat IV menyingkir dan bergabung dengan Inggris yang kebetulan berlabuh di Kalimantan. Malang tak dapat ditolak, sang Nata malah ditawan Inggris untuk selanjutnya diserahkan pada Belanda. Berakhirlah lantas perlawanan Cakraningrat IV dan orang-orang Madura. Cakraningrat IV lantas dibuang ke Cape Town, Afrika Selatan. Beliau di sana hingga wafat. Orang Madura menyebut daerah itu Kaap. Sehingga Cakraningrat IV pun dikenal dengan gelar anumertanya: Pangeran Siding Kaap. Sebelum menyingkir dari Madura, Cakraningrat IV menahan putranya yang menjadi bupati Sedayu (R. Tumenggung Suroadiningrat) agar tidak mengikuti jejaknya. Cakraningrat IV berhasil meyakinkan Suroadiningrat dengan tujuan agar kelak Madura tidak dipimpin langsung Kompeni Belanda. Dan agar trah Cakraningrat tidak musnah dari Madura Barat. Sedo Mukti Suroadiningrat patuh pada ayahnya. Ia pun mengirim surat VOC (Gezaghebber di Surabaya dan Gezagvoerder dari kapal perang Belanda di Tanjung Pangka), yang intinya Madura Barat menyerah. Isinya juga menegaskan jika dirinya selaku Bupati Sedayu menyerahkan diri. Sebagai respon, Belanda menarik tentara-tentaranya. Namun Keraton Sembilangan diduduki VOC, meski masih ada perlawanan kecil dari rakyat di sana untuk mempertahankan keraton. Akhirnya VOC mendirikan benteng di sana. Tujuannya untuk menjauhi kemungkinan perlawanan lagi dari keluarga bangsawan Madura Barat atau pemogokan terhadap Kompeni. VOC masih curiga pada Suroadiningrat. Peristiwa itu terjadi pada 1747. Suroadiningrat diangkat sebagai pengganti Cakraningrat IV dengan gelar Raden Adipati Secoadiningrat (1745-1770). Pusat keraton dipindah ke wilayah kota Bangkalan saat ini. Pemindahan itu terjadi pada 1747, bersamaan dengan pembangunan Benteng Belanda di Sembilangan. Setelah pindah ke Kota Bangkalan, Suroadiningrat berganti gelar Pangeran Adipati Secoadiningrat. Pada tahun 1753, setelah Cakraningrat IV wafat di pengasingan, Pangeran Adipati Secoadiningrat mengajukan permohonan untuk membawa jenazah ayahnya ke Bangkalan. Permohonan itu diizinkan VOC. Jenazah Cakraningrat IV dibawa menggunakan kapal dan dimakamkan di Aermata, Arosbaya. Pada tahun 1762, dalam konverensi para adipati yang ditempatkan di Semarang, Pangeran Adipati Secoadiningrat ditunjuk sebagai adipati Wadhono (Hoofd Regent) pertama di Madura Barat. Beliau lantas bergelar Panembahan Cakraadiningrat (bukan lagi Cakraningrat). Adipati Wadhono adalah adipati yang membawahi beberapa adipati. Secara sederhananya setingkat gubernur atau kepala adipati. Dalam sejarah Bangkalan, beliau sering disebut Cakraadiningrat V. Selama pemerintahannya, Madura Barat aman, maju, dan makmur. Tidak ada peperangan, kecuali di masa awal kepemimpinannya, yaitu pemberontakan Ke’ Lessap. Panembahan Cakraadiningrat wafat pada 1770 dalam keadaan tenteram dan sentosa, serta dalam keadaan Bangkalan kaya raya. Sehingga beliau disebut orang dengan Panembahan Sedo Mukti. RM Farhan
Bangkalan Sosok & Tokoh BANGKALAN Panembahan Sedo Mukti Adipati Wadhono Pertama di Madura Barat Bangkalan
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Featured Blogs

Newsletter

Sign up and receive recent blog and article in your inbox every week.

Recent Blogs

Most Commented Blogs