Akhir-akhir ini, gerakan keagamaan yang cenderung pada kekerasan mulai semakin merebak. Pasalnya, banyak aliran-aliran baru yang rupanya mulai merangsek dari berbagai penjuru, mulai dari yang gerakannya halus sampai yang gerakannya sangat kasar. Gerakan yang rupanya bertopeng Salafi-Wahhabi ini mulai terasa adanya di Indonesia ini. Dan kali ini berwajah baru yaitu dengan neo-Salafi yang telah tercerabut dari pemikiran Abdul Wahhab-sang pendiri kelompok ini.
Situasi ini tak bisa dipelak lagi dengan kedatangan PKS, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Gerakan Fajar Nusantara yang telah membentuk tafsir baru atas nama praktik agama. Dalam tangan-tangan mereka agama yang semula ramah lalu menjadi marah. Sehingga, menakutkan dan menyeramkan.
Sebagaimana ditulis dalam profil, buku ini merupakan karangan terbaru dari Nur Khalik Ridwan. Buku-buku sebelumnya yang ia terbitkan antara lain Negara Bukan-Bukan (IRCiSoD, 2018), Masa Depan NU (IRCiSoD, 2018), Suluk dan Tarekat (DIVA Press, 2019), Ajaran-Ajaran Gus Dur (Noktah, 2019) (hal. 833). Buku terbarunya ini menengarai sejarah, perkembangan, cara berpikir dan cara gerakan ajaran Wahhabi.
Wahhabisme merupakan aliran yang diperkenalkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang merupakan keturunan Bani Tamim yang bermazhab Hambali. Ia hidup sekitar 1115-1206 H (1703-1792 M). Dengan demikian, ia menjadi paham dan berkembang dengan pemikirannya yang kasar. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh baginda Rasul bahwa suatu hari ia menunjuk Riyadh, ia lalu berkata bahwa di daerah ini akan muncul fitnah yang besar. Dan dari riwayat lain mengatakan bahwa orang yang botak yang akan menyebar fitnah yang besar. Dan apa yang diindikasikan oleh Rasulullah tak jauh dari keperibadian Muhammad bin Abdul Wahhab yang memang botak dan memang tak ada orang yang botak selain dirinya.
Hal demikian tentu tak canggung lagi jika kita membaca buku setebal 834 halaman ini. Di sini Ridwan mendedah dengan sangat jelas pemikiran Wahhabi. Dengan kecerdasannya sebagai alumni pesantren yang aktif di NU dan pergerakan PMII dan berbagai aktivitas lain, ia membaca pemikiran Wahhabi dengan sangat dalam dan bagaimana dampak pada orang yang mengikuti.
Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh Wahhabisme di antaranya soal takwil, thaghut, bid’ah dan tauhid. Konsep-konsep ini yang rupanya membuat kaum muslimin bisa tersesat hanya jika membaca pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang keras dan egaliter, mengambil ayat-ayat sepotong-potong disesuaikan dengan konteks yang hendak dijadikan alasan, padahal bukan itu maksud dari penafsiran ayat Alquran.
Bid’ah menurut kalangan Wahhabi cenderung pada hal-hal yang mengada-ada. Tidak memberikan ruang sama sekali pada konsep bid’ah hasanah, bahkan bid’ah ini juga dikatakan bid’ah yang sesat. Padahal, Nabi pernah bersabda bahwa man sanna sunnatan hasanatan kana lahuu ajruuha wa ajru man ‘amila bihaa, wa man sanna sunnatan sayyiatan kaana ‘alaihi wizruhaa wa wazru man ‘amila bihaa. Atau seperti perkataan Sayyidina Umar, disebut dalam kitab An-Nihayah fi Gharib al-Hadist “Nikmatu al-bid’ah hadzhihi†dalam soal Qiyam Ramadhan. Atau juga sabda Nabi, “Alaikum Bisunnati wa sunnati khulafaur rasyidina min ba’di. Ini tak jauh amat juga dari sabda Nabi yang lain bahwa “antum a’lamu bi umuri dunyakumâ€.
Para pembela Wahhabi lalu juga mengutip hadis tandingan-yang mungkin bukan dalam konteks ini. Seperti hadis riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah, “berhati-hatilah dari hal baru, karena setiap hal yang baru itu bid’ah dan setiap kebid’ahan itu sesatâ€.
Dengan hujjah di atas lalu para Wahhabi menyebut tradisi yang tidak berlandaskan pada agama sebagai hal yang sesat. Seperti upacara Maulid Nabi, memperingati Isra’ Mi’raj, malam Nisfu Sya’ban, berdzikir dengan tarian, tepuk tangan, pukulan terbang, acara selamatan atau mengundang kiai untuk tahlilan dan mendoakan orang mati menurut mereka merupakan hal-hal yang baru dan tak perlu dikerjakan, dan barang siapa mengerjakan ini semua menurut mereka adalah orang yang amalnya tertolak (hal. 628).
Tradisi-tradisi yang telah disebut di atas inilah yang rupanya akan memicu konflik kemudian pada tataran tauhid Wahhabisme. Orang-orang yang melakukan berbagai tradisi di atas lalu dianggap kafir dan halal darahnya dibunuh. Nah, di titik inilah paham Wahhabisme menemukan momentum kekerasannya-yang dalam praktik keindonesiaan kita dikenal dengan aliran neo-Salafi. Adapun tujuan gerakannya adalah memecah belah persatuan dan sering mengkafir-kafirkan kelompok yang tak sepaham dengan dirinya.
Dengan kecerdikan dan kepiawiannya dalam menuturkan bahasan, Ridwan menyajikan fakta-fakta dan data empiris dari pemikiran Wahhabisme dan para pengkritiknya. Ridwan yang juga lulusan pesantren cukup jeli dalam memaparkan kitab-kitab yang menjadi rujukan para pengkritik Wahhabi ini di samping ia juga menyebutkan beberapa ayat dan hadis yang dijadikan rujukan oleh para pembela Wahhabi, yang asal copot saja-tidak tahu konteks, asbabun nuzul maupun asbabul wurud-nya hadis itu diturunkan.
Tidak ada gading yang tak retak begitu kata para pepatah, begitu juga dengan buku ini. Ada kesalahan ketik di beberapa bagian buku. Namun, jika dihadapkan pada keindonesiaan kita buku ini patut dimiliki siapa saja untuk mengerti sejarah dan embrio lahirnya Wahhabi-yang di Indonesia telah berwajah macam-macam. Kadang terorisme berbau politik, materialisme versus neoliberalisme, bom bunuh diri dan semacamnya, yang semuanya mengarah pada kapitalisme yang akan merongrong kebhinnekaan kita. Selamat membaca.
*Rifqi As'adi adalah mahasiswa INSTIKA Guluk-Guluk asal Pulau Giliyang, Dusun Peape, Kecamatan Dungkek. Tulisannya pernah tersesat di media cetak maupun online, pernah Juara I Resensi LA Fest 2020. Juga pernah Juara III LKTI HIMA 2016.
Write your comment
Cancel Reply