Oleh: Dwi Indah Lestari, S.TP*
“Memandang alam dari atas bukit. Sejauh pandang kulepaskan. Sungai tampak berliku. Sawah hijau membentang. Bagai permadani di kaki langit.†Begitulah gambaran alam Indonesia yang menakjubkan. Tanahnya subur, lautnya kaya, lebih lagi berlimpahnya kekayaan alam lain yang tersimpan dalam perut buminya. Namun, nyatanya semua itu tak bisa menghindarkan negeri ini dari krisis pangan yang mengancam akibat dampak dari pandemi.
Menurut World Food Programme (WFP) 130 juta lebih masyarakat dunia terancam menghadapi kelaparan akibat pandemi ini (liputan6.com, 24 april 2020). Bahkan sebelumnya FAO telah mengimbau negara-negara di dunia untuk mempersiapkan kondisi menghadapi ancaman krisis pangan pada saat dan pascawabah Covid-19 ini.
Presiden Joko Widodo kemudian memperingatkan hal ini pada Kabinet Indonesia Maju, yang kemudian direspon oleh beberapa Menteri terkait dengan mewacanakan program Lumbung Pangan Nasional (Food Estate). Bahkan Presiden kemudian menunjuk Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subiakto untuk memimpin progam tersebut.
Pembangunan Lumbung Pangan Nasional (Food Estate) di Kalimantan Tengah (Kalteng) ditargetkan rampung tahun 2022. Lumbung pangan pertama yang akan dibangun di lahan seluas 148 ribu hektare (Ha) ini diwacanakan Pemerintah untuk menjadi solusi akan ancaman krisis pangan (detik.com, 4 Juli 2020).
Menuai Polemik
Banyak pihak yang ternyata meragukan keberhasilan dari program ini. Pasalnya program Lumbung Pangan Nasional sebenarnya bukan merupakan program baru. Era pemerintahan sebelumnya telah terlebih dahulu mencanangkan dan berakhir dengan kegagalan.
Beberapa hal yang menjadi polemik di antaranya, pertama, mengulang kegagalan program yang sama. Dari era Presiden Soeharto hingga Presiden SBY, program LPN ternyata tidak membuahkan hasil. Pembukaan lahan gambut menjadi lahan pertanian sebagai bagian dari program tersebut ternyata mangkrak tidak terurus. Bahkan yang terjadi malah meninggalkan kerusakan lingkungan.
Apalagi dengan lahan gambut yang minim hara tentu diperlukan penyesuaian terlebih dahulu sebelum bisa digunakan untuk menanam. Sehingga, bila program ini mengambil tempat dan lahan yang sama, diprediksi hasilnya tak jauh beda.
Kedua, karena rentan untuk mengalami kegagalan yang sama, program ini diprediksi hanya akan membuang dana, tenaga dan SDM percuma. Padahal, anggaran yang digelontorkan untuk program ini cukup besar dan diambil dari APBN. Tentunya hal ini malah akan menyebabkan pemborosan yang seharusnya dihindari, apalagi di tengah kesulitan ekonomi rakyat sebagai dampak pandemi.
Ketiga, pelibatan korporasi sebagai pengelolanya. Padahal, food estate merupakan program untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan. Bila kemudian korporasi turut andil sebagai pengelolanya, maka dikhawatirkan hasil yang diperoleh dari program ini kurang dapat menyentuh lapisan masyarakat yang paling membutuhkan. Sebab korporasi biasanya memperhitungkan untung rugi dalam setiap aktivitasnya.
Padahal, dengan ekonomi rakyat yang melemah, semestinya LPN bisa menjadi solusi bagi masalah rawan pangan yang membayangi masyarakat terutama lapisan bawah. Sehingga, semestinya hasil yang dipetik dari program ini dapat diakses dengan mudah dan murah oleh rakyat.
Meluruskan Arah Program Ketahanan Pangan
Dengan niat mulia untuk menghindari krisis pangan sekaligus memperkuat ketahanan pangan selayaknya Pemerintah melakukan pengkajian dan perhitungan secara mendalam terhadap kebijakan ini. Agar tujuan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat baik di masa pandemi ataupun setelah wabah berlalu dapat dipenuhi secara merata dan adil.
Pemerintah perlu juga mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak yang menyoroti program LPN ini. Pemerintah sebenarnya bisa mencoba alternatif yang lebih efektif dalam hal ini. Optimalisasi sektor pertanian dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian yang sudah ada rasanya lebih tepat dilakukan.
Berkaitan dengan intensifikasi pertanian, lahan pertanian yang ada sebenarnya cukup untuk bisa menghasilkan produk pertanian dalam rangka menyediakan stok pangan dalam negeri. Apalagi, lahan pertanian yang ada khsusnya di Jawa dan Sumatera adalah lahan yang subur, kaya hara dibandingkan dengan lahan gambut.
Sebagai contoh di Bangkalan, Madura, produksi beras yang dihasilkan dari Oktober 2019 sampai Maret 2020 mencapai 50.078 ton. Dengan jumlah konsumsi masyarakat Bangkalan sebesar 24.216 ton selama tiga bulan, berarti masih ada surplus 25.862 ton (Koran Madura, 4 Mei 2020). Begitupun yang terjadi di Sumenep. Wakil Bupati Sumenep, Achmad Fauzi menyebutkan, ketersediaan beras periode bulan Januari sampai Mei tahun 2020 sangat mengembirakan hingga surplus sebesar 44.833 ton. Ketersediaan beras selama periode tersebut sebesar 91.028 ton (Portal Madura, 19 Juni 2020).
Hanya saja ini tentu membutuhkan dukungan dari Pemerintah dalam memaksimalkan produksi pertanian. Di antaranya dengan penyediaan bahan baku yang diperlukan dalam produksi, seperti pemberian benih atau bibit unggul, pupuk, obat-obatan secara gratis atau murah. Selain itu, Pemerintah perlu membangun infrastruktur yang mendukung, seperti penyediaan irigasi yang cukup serta penyediaan alat-alat pertanian untuk petani.
Sementara itu, ekstensifikasi dilakukan dalam rangka memperluas lahan pertanian yang sudah ada. Hal ini bisa dilakukan dengan menghidupkan kembali lahan-lahan petani yang mati serta melakukan pengontrolan praktik-praktik alih fungsi lahan pertanian. Sebab, seringkali petani tidak mengolah lahannya karena tak memiliki biaya. Untuk itu, pemberian modal yang memadai bagi petani sehingga bisa melakukan usaha produktivitas pertaniaannya, bisa dimasukkan dalam program optimalisasi sektor pertanian.
Pemerintah juga berperan dengan memberikan insentif bagi berbagai riset pengembangan ilmu dan teknologi pertanian yang ditujuan untuk semakin mengoptimalkan produksinya. Hasilnya kemudian diberikan kepada petani dalam bentuk pelatihan, sehingga petani bisa memanfaatkan teknik-teknik pertanian modern dalam pengolahan lahannya.
Dengan langkah ini, biaya yang dibutuhkan akan lebih tepat sasaran karena langsung sampai kepada petani. Selain itu, lahan pertanian yang sudah ada tidak memerlukan penyesuaian seperti bila lahan itu merupakan bekas lahan gambut yang minim hara. Lahan gambut memerlukan usaha untuk memperkaya kandungan haranya sebelum bisa digunakan untuk menanam. Sehingga, akan membutuhkan dana yang besar dan waktu untuk penyesuaian tersebut. Sementara bila menggunakan lahan pertanian yang sudah ada, hal itu tidak perlu dilakukan, jadi lebih hemat.
Pemerintah perlu juga mempertimbangkan untuk penguasaan program LPN hanya pada pihaknya saja. Korporasi mungkin bisa dilibatkan dalam membantu pengembangan riset, penyediaan alat atau pada lini-lini non strategis lainnya.
Sebab, program food estate ini nantinya untuk mengatasi krisis pangan. Tentunya yang nanti paling merasakan imbas dari krisis pangan ini adalah rakyat. Untuk itu, hasil dari program ketahanan pangan ini seharusnya bisa dinikmati oleh rakyat, bukan hanya dengan ketersediaannya yang cukup tapi juga dengan harga yang murah atau terjangkau.
Di lini distribusi, Pemerintah harus pula berperan untuk menjamin harga komoditi pertanian yang wajar dan menguntungkan baik bagi petani sebagai produsen maupun masyarakat sebagai konsumennya. Untuk itu, sebaiknya harga yang disepakati diserahkan saja terbentuk secara alami pada mekanisme pasar, tanpa ada penetapan harga dasar. Namun di sisi lain, Pemerintah wajib melakukan pengawasan dan pencegahan pada praktek-praktek penimbunan dan monopoli pihak-pihak yang ingin mempermainkan harga. Untuk itu, harus ada peraturan yang ditetapkan serta sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya.
Sebagai pengayom dan pelayan rakyat, Negara perlu mengerahkan daya upaya dalam pengurusan urusan rakyatnya. Apalagi dengan kondisi pandemi yang masih belum menampakkan tanda-tanda akan berakhir, jelas keadaan ekonomi rakyat mengalami keterpurukan. Seyogyanya Negara hadir secara nyata untuk membantu rakyat dengan program-program dan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Dengan sinergi yang baik antara masyarakat dan Negara, ketahanan pangan akan bisa diwujudkan, sehingga negeri ini terhindar dari ancaman krisis pangan. Wallahu’alam.
*Penulis berdomisili di Bangkalan, Madura. Lahir di Bojonegoro, 22 Mei 1980. Memiliki ketertarikan dalam mengamati masalah-masalah sosial di masyarakat.
Write your comment
Cancel Reply