Oleh: Moh. Busri*
Apa kabar Indonesia, sudah sehatkah kita dari pandemi Covid-19 yang sangat menakutkan itu dan membuat panik manusia di seluruh penjuru dunia. Dari kemarin kita telah sangat lelah lari terbirit-birit untuk menghindar dari penyakit itu guna melindungi kesehatan diri masing-masing. Mengurung diri di rumah tanpa aktivitas yang setiap detiknya cuma ditemani secangkir kopi di meja. Ironisnya, kopi itupun semakin hari seduhannya semakin pahit. Entah apa memang sengaja dibuatnya lebih pekat atau disebabkan gula yang mulai habis dan tidak mampu membelinya karena tidak adanya pendapatan di tengah pandemi yang terjadi.
Dengan waktu yang berangsur cukup lama ternyata krisis ekonomi itu disadari oleh Pemerintah dan masyarakat secara luas. Keluhan mengenai Lockdown sudah menjadi kabar yang tak perlu dijelaskan lagi. Dari hal itu, Pemerintah pun mengambil sikap untuk memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dari sejak itulah kembali terlihat senyum tipis rakyat Indonesia, karena mereka menganggap dengan adanya BLT itu akan lebih mengurangi beban mentalnya yang tertekan oleh krisis ekonomi.
Saya kira hal itu akan menjadi awal yang baik, sambil berharap pandemi ini segera usai. Namun ternyata tidak, persoalan menjadi semakin rumit karena ternyata persoalan perut lebih menakutkan dari pada virus Corona. Orang-orang lebih takut mati kelaparan daripada mati terkena penyakit, sehingga membuat mereka berbondong-bondong keluar rumah untuk merebut bantuan tersebut. Tapi sudahlah, kondisi menakutkan itu sudah kian berlalu dan saat ini aktivitas telah mulai dibuka kembali dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, yang katanya hal itu disebut sebagai penerapan New Normal.
Terlepas dari pembahasan Covid-19 dalam skala Nasional, saya juga ingin menanyakan kabar dari kota di ujung timur Pulau Madura. Sumenep namanya yang dikenal sebagai Kota Keris. Dahulu kota tersebut menjadi sorotan publik, sebab saat kota lain telah dipenuhi oleh virus Corona ternyata untuk Kota Sumenep masih saja menjadi kota teraman. Bahkan Gubernur Jawa Timur pernah menanyakan resep kepada Bupati Sumenep terkait penanggulangan Covid-19, karena pada saat itu di Jawa Timur yang masih aman dari virus ini hanya ada dua kota yang letaknya berada di Pulau Madura, yaitu Sumenep dan Sampang.
Namun, tidak lama dari saat itu Sumenep pun membludak pasien positifnya. Makin hari jumlah pasien yang positif kian bertambah. Penanganan Covid-19 semakin diperketat, seluruh tempat wisata ditutup, warung-warung kopi tempat mahasiswa membangun argumentasi dan narasipun tak luput juga ditutup.
Anjuran protokol kesehatan dikumandangkan ke sana kemari guna menjaga keselamatan bersama, hingga panjang perjalanannya sampailah pada masa New Normal seperti saat ini. Oh iya, saya lupa ternyata hanya perusahaan kecil yang ditutup pada saat itu, seperti warung kopi dan warung nasi, sedangkan perusaan besar tidak. Ya mungkin karena perusahaan besar di Sumenep menjadi 'Penyumbang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah' yang cukup besar pula, sehingga kalau ditutup kira-kira Sumenep akan makan apa?
Baru-baru ini Sumenep sedang dihebohkan oleh persoalan baru. Yang seharusnya penerapan New Normal merupakan bentuk dari meredanya kasus Covid-19, ternyata untuk kota di ujung timur Pulau Madura ini kasus positif Covid-19 malah semakin melonjak. Dikabarkan oleh banyak media bahwa terdapat salah satu perusahaan swasta yang besar di Sumenep telah menyumbangkan 9 karyawannya sebagai pasien positif Covid-9. Dari awal, perusahaan tersebut memang tidak pernah ditutup ataupun dibubarkan layaknya yang dilakukan oleh Tim Penanganan Covid-19 terhadap pengunjung kafe dan warung-warung kecil lainnya. Saya pun merasa heran kenapa harus tebang pilih, padahal jika ingin berbicara keselamatan bersama harusnya hal itu dilakukan secara merata.
Saat kondisi telah membuktikan bahwa 20 orang yang dipilih secara acak dari 168 karyawan yang reaktif di perusahaan tersebut untuk dilakukan pemeriksaan swab ternyata 9 orang positif Covid-19, barulah pada saat itu juga semua angkat bicara untuk menutup perusahaan tersebut. Pertanyaannya dari kemarin kalian ke mana? Mengapa baru sadar saat ini bahwa di sana terdapat perkumpulan orang yang tentunya hal itu tidak mengindahkan imbauan physical distancing dan social distancing. Di saat semua telah membludak, barulah ada keputusan bahwa perusahaan itu ditutup sementara selama 14 hari.
Pada satu sisi masyarakat dituntut untuk mematuhi imbauan Pemerintah, namun pada sisi yang lain Pemerintah tidak dapat tegas dengan peraturannya pada perusahaan besar. Saya kira sangat tidak baik jika penyakit dijadikan permainan seperti ini, karena hal tersebut menyangkut keselamatan jiwa. Bukan bermaksud menyalahkan, akan tetapi setidaknya kasus ini dapat dijadikan cermin besar bahwa keselamatan jiwa merupakan hal paling penting dibandingkan uang.
Jadi, dari hal itu harusnya masyarakat menjadi sadar akan pentingnya mewaspadai kondisi Covid-19 ini, bahkan juga bagi Pemerintah yang tidak seharusnya tebang pilih dalam menangani pandemi ini. Karena secara tidak langsung kasus yang terjadi ini bukan hanya akan berdampak buruk pada nama baik Kota Sumenep, akan tetapi juga berdampak buruk pada keselamatan jiwa masyarakat Sumenep. Jika saja hal ini akan terus berlangsung, entah apakah masih pantas bagi Kota Sumenep untuk menerapkan New Normal dan akan seperti apa kabar Sumenep untuk ke depannya.
*Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI), beralamat Matanair, Rubaru, Sumenep. Aktif di PMII sekaligus Redaktur Pelaksana LPM Retorika STKIP PGRI Sumenep.
Write your comment
Cancel Reply