Dhiya'u Shidiqy
Oleh: Dhiya'u Shidiqy (Dosen Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Kediri)
matamaduranews.com-Memang sudah bukan menjadi sesuatu yang mengherankan lagi tentang anggapan dan tanggapan seseorang tentang setiap hal, bahwa sejauh apa pun anggapan dan tanggapan seseorang tersebut tergantung seberapa jauh pengertian dan pemahaman yang dimilikinya.
Sudut pandang dan cara pandang juga turut menentukan bagaimana pemahaman yang telah dimilikinya tersebut membentuk suatu anggapan yang mendorongnya untuk memberikan tanggapan terhadap hal tersebut.
Beberapa bulan yang lalu dunia maya sempat dihebohkan dengan peristiwa yang cukup menghebohkan, dimana terjadi penghancuran atas suatu hal oleh seseorang yang menganggap hal tersebut adalah suatu simbol kemusyrikan sehingga timbul perusakan sebagai bentuk tanggapan terhadap apa yang menjadi anggapannya tersebut.
Terlepas dari sudut pandang penyikapan setiap orang terhadap kejadian tersebut, adanya sebuah pendapat bahwa dalam peribadatan seorang pemeluk keyakinan terkadang memiliki sisi yang tidak logis dan tidak ilmiah, semakin membuat saya tertarik untuk memberikan sumbangsih yang semoga tidak semakin menambah keruh suasana, justru yang saya harapkan adalah sebaliknya.
Latar belakang dan profesi yang sedang saya jalani saat ini mendorong saya untuk mengkomparasikan dua pendekatan yang telah menjadi dikotomi hampir di setiap aspek kehidupan. Bahwa dalam memandang dan mengkaji segala aspek kehidupan, pada akhirnya terdapat dua pendekatan yang digunakan yaitu ilmiah dan non ilmiah.
Pendekatan ilmiah sering diartikan sebagai suatu pendekatan dalam memahami segala aspek kehidupan dengan lebih menonjolkan hingga mengutamakan sisi saintifik, sehingga segala sesuatu harus subjektif, faktual, rasional, empiris dan logis.
Sebaliknya, pendekatan dalam memahami kehidupan yang tanpa menggunakan kajian secara empiris,
dimana dogma menjadi pendekatan utamanya serta cenderung kepada hasil yang subjektif, pendekatan tersebut dikategorikan non ilmiah.
Dua pemahaman tersebut telah membuat siapapun menyadari bahwa sudah tidak mengherankan lagi apabila metodologi selalu menjauhi mitologi, dengan mengklaim bahwa metodologi lebih akurat dalam
merepresentatifkan fakta dan realita.
Begitu pula sebaliknya, mitologi menanggap bahwa nenek oyang dan para pendahulu manusia telah jauh memiliki keakuratan dalam memahami segala aspek kehidupan jika dibandingkan dengan manusia saat ini. Maka yang menjadi pertanyaan besar adalah benarkah metodologi itu bertolak belakang dengan mitologi?
Kegagalan kita dalam mendefinisikan modernitas sering kali membuat kita lupa terhadap sesuatu yang lebih fundamental dari sekedar modernitas yang kita yakini tersebut. Bahwa kemajuan pengetahuan dengan segala kemodernan adalah pola pikir dan cara pandang yang maju, hingga negara-negara pencetusnya kita yakini sebagai negara maju. Dan metodologi adalah suatu produk dari sesuatu yang kita yakini sebagai modernitas yang pastinya akan membawa kemajuan.
Maka tidak mengherankan lagi bila akhirnya metodologi kerap diidentikan dengan metode kebarat-baratan. Hingga klaim ilmiah, dimana segala sesuatu yang harus kita tempuh dalam kehidupan harus berilmiah yang dibuktikan dengan pendekatan ilmiah. Lagi-lagi saat ini legitimasi akan keilmiahan hanya berlaku pada setiap pendekatan yang mengedepankan metodologi belaka.
Di sisi lain, selama ini mitologi hanya dianggap suatu dogma dengan stigma yang negatif yang lebih identik dengan hal yang tidak logis dan mengarah kepada subjektifitas manusia. Terlepas dari latar belakang keyakinan yang dimiliki, bangsa timur memiliki banyak mitologi tentang kehidupan jika dibandingkan dengan bangsa barat.
Hal tersebut semakin memperkuat dan mempertegas bahwa milotogi sangat tidak logis dan tidak ilmiah, sehingga pendekatan dalam hidup yang mengedepankan sisi mitologi menjadi bukti akan kegagalan seseorang dalam berpikir logis. Hingga akhirnya mitologi akan mendorong setiap orang
untuk mengedepankan sisi kepercayaan seseorang dengan menaruh rasa percaya terhadap segala hal.
Jika kita telaah kembali, benarkah mitologi dan metodologi adalah suatu yang dikotomis? Jika kita bandingkan dengan mitologi, metodelogi cenderung memiliki hal yang rasional dan logis dimana akal menjadi perangkat utamanya.
Sedangkan mitologi dianggap hanya sekedar hal yang tidak logis dan irasional yang terlalu mengedepankan rasa, dimana hati menjadi piranti utamanya. Tanpa kita sadari, pendikotomian yang telah terjadi seolah mempertegas bahwa terdapat wilayah yang berbeda antara pikiran dan perasaan, dalam hal ini fungsi otak dan hati. Dan seakan telah lupa, bahwa sejatinya kedua hal tersebut, baik pikiran dan perasaan adalah hal yang beriringan, bukan hal yang bertolak belakang. Karena akhir dari pertimbangan setiap perasaan tergantung bagaimana cara seseorang tersebut memikirkannya, begitu pula puncak pemikiran seseorang tergantung seberapa besar yang telah mampu ia rasakan.
Jika kita resapi bersama akan hal tersebut, maka sejatinya logika dan estetika bukanlah hal yang dikotomis, karena pada intinya hanya sekedar perbedaan deskripsi dalam menarasikan suatu fenomena sebagai akibat perbedaan posisi dan cara dia memandangnya saja. Maka sangat terasa mustahil jikalau menempuh jalan kehidupan hanya dengan salah satu diantara dua hal tersebut.
Memanglah benar bila segala sesuatu dalam hidup haruslah memiliki pijakan ilmiah, akan tetapi adakah sesuatu yang tidak ilmiah bilamana segala sesuatu menyimpan kandungan ilmu di dalamnya?
Naluri akademis yang ada pada setiap orang sering kali membelenggu legitimasi kehidupannya dengan memperkecil cakupan pemaknaan atas suatu hal. Bila peda dasarnya segala sesuatu adalah ilmu, maka mustahil kiranya jika penyimpulan akan ilmu tersebut bukan sebagai suatu ilmu. Dengan begitu maka sejatinya tiada hal yang tidak ilmiah, hanya saja kitalah yang terkadang mempersempit ruang keilmiahan hanya pada kata ilmu dan ilmiah serta metode yang telah disepakati bersama sebagai metode ilmiah.
Hingga akhirnya kita hanya akan menyadari bahwa apapun yang kita lakukan dalam menjalani hidup dengan segala sudut pandang yang kita miliki, pada akhirnya kita hanya butuh menyadari bahwa itu semua hanyalah kesimpulan kita dalam menarasikan dan merepresentasikan kehidupan. Bahwa pada akhirnya harus memilih, mana yang terbaik dan mana yang paling benar dalam hidup, mitologi ataukah metodologi? Yang benar adalah hidupnya dan yang terbaik adalah menjalani setiap kehidupannya dengan sudut pandang yang telah dipilihnya.
Oleh karenanya, secara mendasar metodologi dan mitologi tidak lagi menjadi hal yang dikotomis. Apa yang harus kita sesalkan dari sebuah mitologi bila akhirnya bermitologi sendiri adalah suatu metodologi yang belum terdiskripsikan.
Dan apa pula yang bisa kita banggakan dari kemutakhiran capaian metodologi bila hasilnya memiliki pola yang sama dengan apa yang kita percayai sebagai suatu mitologi, karena keterbaruan dalam dunia ini hanya sekedar pengulangan pola yang lama pada fenomena yang berbeda.
Bila dalam khasanah keimanan, seseorang harus meyakini kepada apa yang seharusnya agama ajarkan untuk diyakininya, maka hal tersebut semakin membulatkan seorang mukmin untuk mengimani Al-qur’an dengan meyakini bahwa Al-qur’an adalah hal yang sangat ilmiah, walau sepintas terkesan sebagai suatu mitologi, namun mengandung banyak metodologi. (*)
Write your comment
Cancel Reply