Opini
Merdeka (dalam) Politik
Oleh: Akh. Mardani Abdullah*
Bulan ini kita merayakan kemerdekaan negeri ini. Kemerdekaan yang didapatkan melalui perjuangan berdarah-darah selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Tepat tanggal 17 Agustus 1945 ketika Soekarna-Hatta memproklamirkan kemerdekaan, kita memasuki babak baru sebagai sebuah bangsa yang merdeka, bangsa yang bisa menentukan garis dan nasibnya sendiri.
Seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar kita, salah satu tujuan kemerdekaan ini yakni untuk mensejahterakan kehidupan umum (bangsa). Kesejahteraan yang tidak hanya berupa kebebasan dan kemerdekaan, akan tetapi juga sejahtera secara ekonomi, pendidikan, keamanan, stabilitas dan berbagai macam kesejahteraan lainnya.
Segala kesejahteraan yang ingin dicapai, tentu saja harus melalui proses yang tidak mudah. Dalam konteks hari ini, paling tidak dibutuhkan pemimpin yang kompeten dalam proses menuju kesejahteraan yang diimpikan, baik pemimpin di level pusat maupun daerah. Pemimpin-pemimpin yang dipilih melalui proses politik, haruslah pemimpin yang mempunyai rekam jejak kepemimpinan dan visi membangun kesejahteraan yang bagus, rekam jejak dan visi yang bisa dilihat dan dibaca semua orang.
Partai Politik dan Kepemimpinan
Partai Politik sebagai salah satu sarana utama dalam proses menuju kursi kepemimpinan di negeri ini, harus tampil menjadi roda penggerak utama dalam memunculkan tokoh- tokoh yang memiliki kompetensi, rekam jejak kepemimpinan dan visi pembanguanan kesejahteraan yang bagus. Partai politik harus menjadi filter pertama mencegah orang-orang yang tidak memiliki kompetensi tampil dan berpeluang menjadi pemimpin.
Langkah paling dasar yang perlu dilakukan oleh partai politik dapat berupa restrukturisasi kepartaian. Partai politik sebagai miniatur negara harus menjadi contoh bagaimana pengelolaan berdasarkan kemampuan, bukan karena nepotisme dan garis keturunan (trah). Kita lihat partai-partai politik hari ini, mayoritas dikelola dengan model kerajaan. Orang tua sebagai pendiri partai, maka anak keturunannya menjadi orang penting yang menentukan di partai tersebut, tanpa mempertimbangkan kemampuan dan faktor-faktor pendukung lainnya.
Apabila model pengelolaan partai politik saja seperti ini, maka tak mengherankan jika calon-calon yang dimunculkan untuk berkontestasi menjadi pemimpin seringkali hanyalah petugas partai, bukan tokoh yang benar-benar memiliki ide dan konsep yang ditawarkan untuk kesejahteraan rakyat. Tokoh-tokoh ini hanyalah petugas partai yang hanya membawa kepentingan sekelompok elit, kepentingan parsial, bukan kepentingan orang banyak (rakyat).
Model pengelolaan partai yang tidak berdasarkan pada kompetensi ini, tentu saja menghasilkan berbagai macam anak turunan “ketidakbenaranâ€, pragmatisme partai politik menjelang Pilkada salah satunya. Faktanya, banyak partai politik yang kini kehilangan martabatnya, kehilangan ideologi partai dengan tidak malu mendukung dan merekomendasikan tokoh dari partai lain yang pada dasarnya secara ideologi jauh berbeda. Partai-partai politik kini sepertinya terjebak pada pragmatisme kemenangan semu. Hanya mendukung tokoh yang berpeluang menang, demi mendapatkan jatah pembagian kue kursi kekuasaan.
Partai politik yang hanya peduli pada kemanangan, tanpa mempertimbangkan kepentingan dan kemaslahatan rakyat, tentu saja hanya akan menjadi alat segelintir kelompok yang haus kekuasaan. Tokoh yang ditampilkan ke publik, ke arena kontestasi kepemimpinan, adalah tokoh-tokoh yang tak memiliki rekam jejak bagus dalam upaya mensejahterakan rakyat.
Partai politik harus mulai meninggalkan kebiasaan pragmatis, hanya mendukung pihak yang populer, pihak yang berpeluang menang, tanpa memperhitungkan kecocokan ide, nilai, dan ideologi. Partai politik harus kembali pada khittah-nya, menjadi sarana memperjuangkan ide, nilai, dan cita-cita demi kesejahteraan orang banyak, bukan hanya segelintir kelompok saja.
Rakyat dan Kesadaran Politik
Ketika elit hanya sibuk berebut kue kekuasaan, rakyat lah yang akan menjadi korban. Sebagai rakyat, kita perlu belajar dan melihat kembali kontestasi Pilpres 2014 dan 20 9 lalu. Dua Pilpres ini, sepertinya merupakan “pertandingan politik†yang paling banyak menyita perhatian masyarakat kita dalam sepanjang sejarah negeri ini. Betapa tidak, riuhnya pemberitaan mengenai tetek-bengek Pilpres ini disiarkan selama 24 jam oleh berbagai stasiun televisi, media cetak, dan media daring selama berbulan-bulan. Bahkan sejak sebelum penetapan calon sudah ramai, samapai ketika pemenang diputuskan, keriuhan gegap gempita Pilpres ini tak juga kunjung berakhir.
Media sosial seperti Facebook dan Twitter menjadi arena pertandingan dua kelompok yang saling mendukung calon pilihannya masing-masing. Olok-olok, meme, dan perundungan terjadi tiap saat, tak berkesudahan. Tak jarang, perdebatan di media sosial ini seringkali berujung pada rusaknya pertemanan dan persaudaraan. Pertemanan dan persaudaraan rusak hanya karena perbedaan dukungan calon presiden.
Ketika rakyat di bawah ribut antar sesamanya demi membela dan mengunggulkan calon dukungannya. Politisi yang banyak diharapkan sebagai negarawan, tidak muncul sebagai penengah, justru malah semakin membiarkan bibit perpecahan menjadi-jadi di masyarakat, memperpanas suasana dengan berbagai lontaran pernyataannnya di media.
Namun, apa yang terjadi setelahnya? Para politisi yang sebelumnya terlihat saling serang, kini tampil lebih mesra, saling berbagi senyum dan rangkulan satu sama lain. Pihak-pihak yang bertanding di Pilpres ini terlihat tidak jelas siapa yang menang dan kalah, karena ternyata semua mendapat jatah kekuasaan. Apa yang didapat rakyat yang sebelumnya mati-matian ribut membela calon dukungannya? Kekecewaan besar, karena hanya menjadi penonton dan tukang tepuk tangan dari permainan yang disajikan oleh para politisi di atas sana. Kemenangan calon yang didukungnya di Pilpres, sama sekali tak berpengaruh pada perbaikan taraf hidup—seperti yang diharapkan sebelumnya.
Belajar dari kasus tersebut, kita sebagai rakyat perlu untuk mulai menanamkan kesadaran dalam berpolitik. Bahwa selama partai politik tidak mencoba memperbaiki pengelolaan partainya sendiri, maka tidak akan ada harapan munculnya tokoh-tokoh yang memiliki rekam jejak kepemimpinan dan visi tentang mensejahterakan rakyat. Selamanya partai politik akan dibajak menjadi alat tokoh-tokoh yang hanya ingin menikmati kursi kekuasaan.
Masih dalam suasana kemerdekaan, suasana menjelang Pilkada Kabupaten Sumenep. Mari kita memilih tokoh yang mempunyai rekam jejak kepemimpinan, mempunya visi membangun kesejahteraan rakyat. Tokoh yang menawarkan kesejahteraan bukan hanya sebagai hiasan bibir belaka. Mari kita merdeka dalam politik. Merdeka!
*Penulis merupakan alumni Magister Sosiologi Universitas Airlangga. Mengajar Sosiologi dan Antropologi di SMA Negeri 2 Sumenep
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.
Write your comment
Cancel Reply