Oleh: Moh. Rofiqi*
Sampai saat ini di berbagai belahan dunia wabah virus Corona atau pandemi Covid-19 masih menjadi momok yag menakutkan bagi masyarakat global. Ethan Siegel Ph.D, seorang ahli Antrofisika menyebutkan per 6 April 2020 kemarin, virus Corona telah memakan korban lebih dari 1,3 juta orang di seluruh dunia, dengan angka kematian 74. 000. Angka tersebut terus bertambah dengan lebih dari 70.000 kasus baru dan 5.000 kematian baru per hari (Siegel, 2020). Corona mampu mengacaukan stabilitas kehidupan manusia mulai dari tatanan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Korban yang masih meninggi ditambah geliat ekonomi makin merosot membikin pemerintah beberapa negara pusing tujuh keliling.
Di negara Indonesia, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi pilihan pemerintah dalam upaya penanganan pandemi Covid-19. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak masyarakat yang tidak mengindahkan aturan tersebut dan menganggap seolah-olah tubuh mereka kebal terhadap penyakit. Yang lebih miris lagi pemahaman mereka bahwa virus Corona tidak akan menyerang umat beragama yang patuh pada Tuhan, “tidak usah takut sama virus Corona, virus itu hanya menyerang orang-orang kafir. Kita jangan mau jika masjid ditutup, justru kalau kita  dilarang beribadah di masjid, makin jauh dari Tuhan, malah kita bisa kena virus itu†begitulah salah satu ucapan masyarakat yang pernah penulis dengar.
Tulisan ini tidak akan membahas  dampak Covid-19 terhadap ekonomi masyarakat, marwah pemerintah di tengah pandemi, atau perubahan model interaksi sosial masyarakat, dst. Penulis ingin mengajak pembaca untuk bergeser dari tema-tema tadi, menyikapi bencana Covid-19 dengan kacamata yang berbeda, membaca virus Corona dengan perspektif tasawuf. Apakah penting membahas pandemi Covid-19 dengan pijakan taswuf? Tentu saja sangatlah penting karena masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam yang di dalamnya mengandung ajaran tasawuf. Mari kita melihat bagaimana tasawuf dalam menyikapi wabah virus Corona.
Ketika mengaitkan pandemi Covid-19 dengan tasawuf, pasti tidak akan lepas dengan ajaran bahwa segala bentuk bencana yang terjadi pada manusia di atas muka bumi apapun bentuknya yang berakibat munculnya perasaan khawatir dan takut (al-khauf) dalam hati, tiada lain adalah ujian dari Allah SWT semata. Bersabar dan menerima merupakan sikap pertama yang diajarkan oleh tasawuf saat berada dalam sebuah ujian.
Mengapa bersabar sangat penting dalam menghadapi pandemi Covid-19? Karena sabar akan menjauhkan manusia dari rasa panik, kepanikan tentu saja hanya akan menimbulkan masalah baru. Ketika hal ini terjadi, seringkali manusia kesulitan mencari petunjuk penyelesaian masalah. Berbeda saat menghadapinya dengan ketenangan jiwa, ketenangan jiwa akan menguatkan daya tahan tubuh lahir dan batin, juga memunculkan potensi manusia dalam mncari penyelesaian maslah. “Petunjuk tidak bisa dicapai†ucap Ibnu Taymiyah, “kecuali dengan pengetahuan, dan arah tujuan yang benar tidak bisa dicapai kecuali dengan kesabaran dan kejernihan pikiran .â€
Kata “sabar†yang penulis maksud bukanlah sabar dengan konotasi pasrah tidak melakukan apapun atau sabar dengan asumsi bahwa pandemi Covid-19 adalah takdir yang telah Allah tentukan dan tak bisa dihindari. Sabar yang penulis maksud bersamaan dengan doa dan ikhtiar, di mana doa dan ikhtiar merupakan elemen urgen lagi krusial ketika menghadapi kesulitan dalam hidup. Bentuk ikhtiar salah satunya dengan mematuhi protokol kesehatan serta taat terhadap kebijakan Pemerintah dalam usaha memutus rantai penyebaran virus Corona.
Memang benar, salah satu ajaran tasawuf mengajarkan kita untuk pasrah dan menambah rasa cinta (mahabbah) kepada Allah. Lalu dari rasa cinta tadi akan muncul kerinduan untuk berjumpa dengan-Nya, sebagaimana ajaran sufi perempuan Rabiah Adawiyah tentang cinta (mahabbah). Rasa cinta dan rindu yang begitu besar membuat Rabiah tidak takut pada kematian. Kematian bagi Rabiah sangat diharapkan segera menjemput, sebab kematian satu-satunya pintu masuk untuk berjumpa dengan Allah kekasih hatinya. Rabiah mengungkapkan rasa cintanya itu dalam bentuk syair, “salamku untuk Allah yang tak pernah aku bisa melupakan-Nya, lidahku pun tak pernah bosan untuk menyebut-Nya. Ketika Dia pergi dariku, hati inilah rumah-Nya, Dia yang selalu di hatiku, tak mungkin aku bisa melupakan-Nya.â€
Menurut hemat penulis, korelasi antara ajaran Rabiah di atas dengan pandemi Covid-19 adalah sebagai pengingat bagi umat manusia tentang kematian. Seringkali manusia terlalu sibuk dengan urusan dunia hingga lupa bahwa kematian merupakan keniscayaan bagi semua mahluk hidup. Padahal Allah SWT telah berfirman dalam QS. Al-A’raf ayat 34 yang artinya, “Tiap-tiap umat manusia memiliki batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak akan dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannyaâ€. Pandemi Covid-19 hadir sebagai bahan muhasabah mempersiapkan bekal di kehidupan selanjutnya.
Selain bersabar, tasawuf mengajarkan manusia untuk selalu berprasangka baik melihat setiap masalah yang menimpa, termasuk wabah Corona. Prasangka yang baik mampu menumbuhkan energi positif dalam diri manusia. Dengan adanya wabah virus Corona kita memiliki banyak waktu untuk meningkatkan pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Mungkin saja Allah ingin menyentil kita bahwa hanya diri-Nya yang paling perkasa di jagad raya, manusia hanyalah mahluk lemah yang tak pantas membusungkan dada.
Beberapa ajaran tasawuf yang telah penulis tulis jika diadopsi dengan istiqomah bisa menjadi salah satu jawaban di tengah keresahan menghadapi wabah virus Corona. Semisal ada seorang muslim mengatakan “hidup dan mati manusia di tangan Allah, ya kita pasrah saja karena kita hanya sebatas hamba-Nyaâ€, maka katakanlah “justru karena kematian berada di tangan Allah kita harus takut kepada-Nya dengan mengambil sikap sesuai tuntunan-Nya, mengikuti ajaran-ajaran Rasulallah dan orang-orang saleh yang terkandung dalam ajaran agama Islam, salah satunya ya dalam dunia tasawuf.â€
Tasawuf mengajarkan kita bagaimana seharusnya manusia mengambil sikap di tengah bencana, termasuk bencana virus Corona. Jagalah kesehatan, patuhi aturan Pemerintah, teruslah berdoa agar wabah ini segera berakhir. Hal lain yang juga penting untuk diingat serta dipraktikkan adalah sabda Nabi Muhammad SAW bahwa sebaik-baiknya manusia ialah mereka yang bermanfaat pada sesamanya. Jadilah manusia yang menjadi solusi terhadap problem ini, bukan sebaliknya.
*Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Sosiologi Agama
Write your comment
Cancel Reply