matamaduranews.com-SUMENEP-Nama Kiai Agung Abdullah Batuampar tidak bisa dipisahkan dalam sejarah pemerintahan Sumenep tempo doeloe. Khususnya sejak abad 18 Masehi.
Kendati perannya bukan sebagai penguasa di kawasan Madura Timur, namun sosoknya merupakan cikal-bakal berdirinya dinasti terakhir keraton Sumenep (1750-1929).
Beliau tercatat sebagai ayah dari Bindara Saot alias Kangjeng Raden Tumenggung Tirtonegoro, penguasa Sumenep 1750-1762.
Di samping itu, Kiai Agung Abdullah atau yang juga dikenal dengan sebutan Kiai Entol Bungso atau Kiai Suwarga ini juga berjasa dalam membentuk peradaban dan membumikan nilai-nilai keislaman di Madura Timur, khususnya di belahan barat jalur tengah Sumenep.
Keturunan dan penerus Kiai Entol Bungso ini juga menyebar di bumi Sumenep sekaligus Pamekasan, bahkan dalam masa-masa selanjutnya di kawasan Tapal Kuda. Baik sebagai ulama sekaligus dalam peran sebagai umara.
Kali ini Mata Madura mencoba mengulas tokoh-tokoh penerus beliau di bidang agama, khususnya di kawasan Batuampar Timur (saat ini masuk bagian dari kecamatan Guluk-guluk, Sumenep)
Kiai Saba
Kiai Saba merupakan salah satu putra Kiai Entol Bungso dengan isterinya yang bernama Nyai Kursi.
Seperti diketahui, Kiai Entol Bungso tercatat memiliki empat isteri. Namun hanya dari dua isteri saja beliau dikarunia keturunan.
Isteri pertamanya ialah Nyai Nurima, putri Kiai Khatib Bangil di Prongpong, Kecer, Dasuk, Sumenep. Dari Nyai Nurima lahir salah satunya Bindara Saot.
Dengan demikian, Kiai Saba adalah saudara seayah dengan Bindara Saot. Keduanya sama-sama diambil sebagai menantu oleh Kiai Jalaluddin di Prongpong. Kiai Saba menikah dengan Nyai Arum, sedang Bindara Saot menikah dengan Nyai Izzah.
Kiai Saba di masa kecilnya dikenal dengan nama Bindara Ibrahim. Beliau dikenal sebagai sosok yang alim dan keramat. Sepeninggal Kiai Entol Bungso, beliaulah yang melanjutkan estafet kepemimpinan pesantren di Batuampar.
Kiai Bandungan
Nama kecilnya Asiruddin. Beliau juga lahir dari rahim Nyai Kursi. Jadi beliau adalah saudara syaqiq (seayah seibu) dengan Kiai Saba. Sekaligus juga saudara seayah dengan Bindara Saot.
Kiai Asiruddin dikenal sebagai sosok alim dan juga keramat. Beliau berdomisili di Bandungan (Pakong, Pamekasan). Sehingga dikenal dengan nama Kiai Bandungan.
Wafat lebih dulu saat ayahnya, Kiai Entol Bungso masih hidup. Kejadian wafatnya menunjukkan salah satu karomah sebagai tanda kewalian.
Tak lama setelah beliau wafat, Kiai Entol Bungso juga wafat. Makam ayah anak ini sejajar. Namun sehari setelah Kiai Entol Bungso dimakamkan, terdapat kejadian aneh.
Posisi makam Kiai Bandungan mundur alias nyorot dalam bahasa Madura. Menurut sesepuh, hal itu sebagai petanda ta’zhimnya beliau pada sang ayah. Sehingga posisi nisan kepala Kiai Bandungan jadi sejajar dengan posisi kaki nisan Kiai Entol Bungso.
Makam beliau dikenal dengan sebutan Asta Nyorot. Lokasi di Kompleks Pasarean Kiai Entol Bungso di Batuampar.
Kiai Pangolo Mardikan Batuampar I
Beliau merupakan salah satu putra Kiai Saba bin Entol Bungso. Kiai Nugrahan namanya.
Oleh Panembahan Sumolo, sepupunya, alias putra Bindara Saot, kawasan Batuampar dijadikan wilayah Mardikan (Perdikan) untuk menghormati asal-usulnya.
Panembahan Sumolo alias Notokusumo I adalah penguasa Sumenep 1762-1811, yang membangun keraton dan masjid Jami’. Dua bangunan yang hingga kini menjadi ikon Sumenep.
Kiai Nugrahan juga diangkat Panembahan Sumolo sebagai Penghulu Mardikan pertama.
Jabatan di wilayah Mardikan umumnya dipegang secara turun-temurun.
Sepeninggal Kiai Nugrahan, jabatan penghulu dipegang oleh Kiai Baha’uddin, salah satu putranya.
Jabatan sebagai penghulu mardikan itu terus dipegang oleh tokoh alim Batuampar dari jalur garis laki-laki keturunan Kiai Nugrahan, hingga abad 20.
RM Farhan
Write your comment
Cancel Reply