matamaduranews.com-BANGKALAN-Sepeninggal Panembahan Seding Kamal (Cakraningrat II), duduklah putranya yang bernama Raden Tumenggung Sosroadiningrat sebagai pengganti keraton yang berpusat di Tonjung Sekar ini.
Sosroadiningrat bergelar Pangeran Cakraningrat III.
Sebenarnya, Panembahan Seding Kamal sebelum wafat sudah menunjuk putranya yang sulung, Raden Ario Purbonegoro. Namun karena lebih dulu mangkat, tahta Madura Barat dibagi tiga.
Tindakan memecah Madura itu diambil oleh Paku Buwono I dari Mataram. Sepertiga diberikan kepada Sosroadiningrat (Cakraningrat III), dua pertiga diberikan kepada Tumenggung Suryowinoto dan Tumenggung Sosrowinoto (kemenakan Cakraningrat III, alias anak Purbonegoro).
Keduanya (Suryowinoto dan Sosrowinoto), sebelumnya diangkat sebagai bupati Grobogan (Madiun). Grobogan dibagi dua. Keduanya kemudian dipindah ke Surabaya, dan menjadi cikal-bakal keluarga kasepuhan dan kanoman di sana.
Tindakan membagi Madura menjadi tiga, memicu perlawanan dari Cakraningrat III. Hubungan Mataram dan Madura yang sempat tegang di masa lalu, kembali terjadi.
Seding Kapal
Cakraningrat III lantas bersekutu dengan bupati Surabaya, Adipati Joyopuspito. Sebelumnya, Cakraningrat III meminta bantuan kekuatan dari Bali. Mereka lantas bersekutu melawan Mataram dan VOC.
Ketegangan ini mendapat respon dari Mataram melalui Patih Cakrajaya. Cakrajaya memanfaatkan konflik keluarga di Madura Barat, sekaligus memanfaatkan Suroadiningrat (adik Cakraningrat III) untuk menyelamatkan kekuasaan Mataram di Madura.
Tahta Madura Barat malah langsung dialihkan ke Suroadiningrat dengan harapan bisa lebih didapatkan tenaganya dalam menopang Mataram yang semakin rapuh.
Suroadiningrat pun naik tahta dengan gelar Pangeran Cakraningrat IV. Beliau memindahkan pusat pemerintahan dari Tonjung Sekar ke Sembilangan.
Sementara Cakraningrat III yang tidak sudi berperang dengan adiknya itu lantas menuju Pengairan Mangare. Di sana beliau diterima oleh serdadu VOC yang tengah berlabuh dengan kapalnya.
Di sana terjadi kesalahpahaman yang berujung pada gugurnya, Cakraningrat III di atas kapal VOC. Untuk mengenang peristiwa tersebut, beliau dikenal dengan Pangeran Seding Kapal.
Seding Kaap
Kendati berhasil “memanfaatkan†Suroadiningrat (Cakraningrat IV) untuk meneruskan trah dan menyelamatkan kekuasaan Mataram di Madura, namun di masa selanjutnya Cakraningrat IV justru menjadi musuh paling hebat dari Mataram sekaligus VOC.
Keberadaannya atas kendali Madura menjadi sebab kekalahan kedua dari Mataram setelah pertama berhasil diduduki oleh Trunojoyo, pangeran Madura sebelumnya.
Seperti pendahulunya, Cakraningrat IV juga mencoba melepaskan Madura dari hegemoni Mataram. Bahkan untuk itu, Cakraningrat IV lebih memilih berada dalam naungan VOC. Meski tak lama kemudian, beliaupun juga secara terbuka melakukan perlawanan terhadap VOC.
Namun, perjuangan Cakraningrat IV untuk memerdekakan Madura dari Mataram sekaligus VOC tidak mulus. Beliau terpaksa menyingkir ke Kalimantan, dan harus menerima kenyataan dikhianati menantunya.
Sebelum itu Cakraningrat IV meminta anaknya (Suroadiningrat) yang menjadi bupati Sedayu agar menyerah ke VOC, dengan tujuan agar Madura Barat tetap dipimpin trah Cakraningrat, dan tidak langsung dipimpin VOC.
Di Banjarmasin Cakraningrat IV berhasil ditangkap. Beliau lantas dibuang ke Kaap (Cape Town, Afrika Selatan). Beliau wafat dan dimakamkan di sana. Beberapa tahun kemudian jenazahnya dibawa ke Aermata dan dikuburkan di sana. Cakraningrat IV dikenal dengan Pangeran Seding Kaap.
Seda Mukti
Setelah ayahnya terdesak, bupati Sedayu ini mengirim surat VOC (Gezaghebber di Surabaya dan Gezagvoerder dari kapal perang Belanda di Tanjung Pangka), yang intinya Madura Barat menyerah. Isinya juga menegaskan jika dirinya selaku Bupati Sedayu menyerahkan diri.
Sebagai respon, Belanda menarik tentara-tentaranya. Namun Keraton Sembilangan diduduki VOC, meski masih ada perlawanan kecil dari rakyat di sana untuk mempertahankan keraton. Akhirnya VOC mendirikan benteng di sana.
Tujuannya untuk menjauhi kemungkinan perlawanan lagi dari keluarga bangsawan Madura Barat atau pemogokan terhadap Kompeni. VOC masih curiga pada Suroadiningrat. Peristiwa itu terjadi pada 1747.
Suroadiningrat diangkat sebagai pengganti Cakraningrat IV dengan gelar Raden Adipati Secoadiningrat (1745-1770). Pusat keraton dipindah ke wilayah kota Bangkalan saat ini. Pemindahan itu terjadi pada 1747.
Pada tahun 1762, dalam konverensi para adipati yang ditempatkan di Semarang, Pangeran Adipati Secoadiningrat ditunjuk sebagai adipati Wadhono (Hoofd Regent) pertama di Madura Barat. Beliau lantas bergelar Panembahan Cakraadiningrat (bukan lagi Cakraningrat).
Adipati Wadhono adalah adipati yang membawahi beberapa adipati. Secara sederhananya setingkat gubernur atau kepala adipati.
Dalam sejarah Bangkalan, beliau sering disebut Cakraadiningrat V.
Selama pemerintahannya, Madura Barat aman, maju, dan makmur. Tidak ada peperangan, kecuali di masa awal kepemimpinannya, yaitu pemberontakan Ke’ Lessap.
Panembahan Cakraadiningrat wafat pada 1770 dalam keadaan tenteram dan sentosa, serta dalam keadaan Bangkalan kaya raya. Sehingga beliau disebut orang dengan Panembahan Seda Mukti.
RM Farhan
Write your comment
Cancel Reply