Oleh: Ahmad Farisi*
Hukum, sebagaimana tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. Hukum juga dapat diartikan sebagai undang-undang, peraturan, dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.
Sedangkan menurut salah satu filsuf Athena, Aristoteles (384-322 SM) hukum bukan hanya berarti kumpulan aturan yang dapat mengikat dan berlaku pada masyarakat saja, tapi juga berlaku pada hakim itu sendiri. Dengan kata lain hukum tidak diperuntukan dan ditaati oleh masyarakat saja, tapi juga wajib dipatuhi oleh pejabat negara.
Sebenarnya, selain Aristoteles, beberapa filsuf lainnya juga banyak yang mendefinisikan apa itu hukum. Sebut saja John Locke (1632-1704) dan Santo Thomas Aquinas (1225-1274). Namun, terlepas dari semua itu, pada intinya, dalam hemat saya, menyimpulkan dari beberapa pendapat ahli, hukum itu adalah aturan yang dimaksud untuk mengatur kehidupan masyarakat agar lebih teratur, aman dan damai.
Dalam perspektif ilmu hukum, secara keseluruhan, hukum diklasifikasikan menjadi delapan macam. Pertama, hukum berdasarkan bentuknya; kedua, hukum berdasarkan sumbernya; ketiga, hukum berdasarkan waktunya; keempat, hukum berdasarkan tempat berlakunya; kelima, hukum berdasarkan sifatnya; keenam, hukum berdasarkan cara mempertahankannya; ketujuh, hukum berdasarkan wujudnya; dan kedelapan, hukum berdasarkan isinya.
Pada dasarnya, dari delapan klasifikasi hukum tersebut, maksud dan tujuannya sama. Yakni sama-sama ada untuk mengatur kehidupan umat manusia. Tidak lain. Namun, sebagai bagian dari ilmu hukum, klasifikasi hukum tetap penting dan perlu untuk dipelajari.
Sebab, dalam prakteknya, pelaksanaan hukum dalam kehidupan masyarakat tidak selalu seragam dan sama. Nah, dan pada saat bersamaan, di situlah sebenarnya klasifikasi hukum berfungsi. Yakni untuk mengisi ruang ketidakseragaman dan ketidaksamaan praktek hukum tersebut.
Sebagaimana ditegaskan Prof. Achmad Sanusi (1966), penulis buku Sistem Nilai, tujuan dari klasifikasi hukum adalah untuk: pertama, memperoleh nilai-nilai teoritis, yaitu memperoleh suatu pengertian yang lebih baik tentang hukum. Kedua, untuk memperoleh nilai-nilai praktis, yaitu untuk dapat lebih mudah menemukan dan menerapkan hukum.
Bagi suatu negara, apalagi bagi negara multikultural seperti Indonesia, kehadiran hukum tentunya sangat penting. Mengingat tujuan dari kehadiran hukum itu sendiri adalah untuk mengatur segala bentuk aktivitas manusia agar tidak bertentangan dan mengganggu hak-hak manusia lainnya.
Karena itu, setiap negara yang ada, baik negara bersistem monarki ataupun demokrasi, bisa dipastikan juga mengadopsi yang namanya hukum dan sistem hukum, termasuk Indonesia. Bahkan, secara konstitusional dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3), Indonesia telah menyatakan dirinya sebagai negara hukum (Law State).
Secara konsepsional, keberadaan hukum adalah untuk ditaati, lebih-lebih diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, bukan untuk dijadikan pajangan saja. Niscaya, jika keberadaan hukum ditaati, cita-cita manusia untuk hidup aman, damai dan tentram akan tercapai.
Bukti konkret dari masyarakat yang taat hukum secara baik dapat dilihat dari kondisi sosiologis masyarakat itu sendiri. Jika secara sosiologis kondisi masyarakatnya aman, adil dan sejahtera, maka hal itu meniscayakan bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat taat hukum.
Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membangun masyarakat taat hukum. Salah satunya dengan cara merekontruksi kesadaran hukum masyarakat. Merekontruksi kesadaran hukum masyarakat dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, mengukuhkan pendidikan hukum masyarakat sejak masih dini. Kedua, menanamkan pengetahuan tentang bahaya melanggar hukum bagi dirinya dan masyarakat secara umum.
Ketiga, menegakkan hukum yang berlaku sesuai dengan prosedural hukum, agar ada efek jera yang dialami masyarakat pelannggar hukum. Keempat, pejabat negara, khususnya penegak hukum harus mencajadi contoh bagi masyarakat dalam hal menaati hukum. Artinya, bagaimana masyarakat bisa menaati hukum yang berlaku sementara penegak hukumnya sendiri tidak menaatinya. Jadi, harus dimulai dari penegak hukumnya dulu.
Dengan demikian, jika kesadaran hukum masyarakat sudah terbangun, niscaya akan akan terbentuklah yang namanya masyarakat taat hukum. Dan pelanggaran hukum, seperti halnya aksi kriminalitas, misalnya, saya yakin akan semakin mudah untuk ditekan mundur.
*Mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Write your comment
Cancel Reply