matamaduranews.com-SUMENEP-Kalianget merupakan kota penting di masa lampau. Di sana, merupakan arus masuk utama jalur laut mulai sejak masa VOC maupun Kolonial. Apalagi, Kalianget juga dikenal dengan industri garamnya.
Nah, jika menuju kawasan Kalianget, tepatnya di Kalianget Barat, akan ditemui kawasan bernama Ji Kantang. Nama itu merupakan pelafalan masyarakat setempat. Nama sebetulnya ialah Loji Kantang.
Di tempat itu, seorang wakil raja di Sumenep, bersama seorang putra dan puluhan pasukannya gugur. Peristiwa itu diawali dengan kontak fisik dengan serdadu Inggris yang mendaratkan kapalnya di pelabuhan Saroka.
Kejadian itu pada bulan Sya’ban. Kalender Masehi kala itu menunjukkan angka 1796 . Pertanda telah hampir setengah abad masa berdirinya dinasti Saut di bumi Songennep.
Dinasti baru yang sekaligus menjadi penutup era keratonisasi di ujung timur pulau garam. Sebuah penanda yang dibasahi darah dan air mata terjadi di pembuka bulan tersebut.
Kiai Angabai Mangundireja atau Ke Mangon. Patih dalem di masa Panembahan Natakusuma (1762-1811). Sang Patih memimpin pertempuran pada 1796 itu. Sedang sang Panembahan tengah berada di negeri Semarang.
Menurut sebuah keterangan sejarah, peristiwa itu terjadi kala Inggris datang ke Indonesia untuk merebutnya dari tangan Belanda, sehingga Gouverneur Generaal (gubernur jendral) J. W. Jansen kalah perang lalu mundur ke Semarang untuk melawan Inggris di sana.
“Sumber itu juga menyebut bahwa saat itu Pangeran Natakusuma bertolak ke Semarang untuk membantu Belanda. Namun karena Belanda keburu takluk, sehingga pasukan Natakusuma kembali ke Sumenep,†kata R. Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep.
Namun peristiwa Jansen itu terjadi pada 1811, sedangkan dalam kubah Ke Mangon, prasasti jelas bertuliskan 1796. Di 1811, Panembahan Natakusuma sudah wafat dan diganti oleh putranya, Sultan Pakunataningrat.
“Jadi perlu semacam pelurusan terhadap sumber yang menyatakan bahwa peristiwa Ke Mangon itu terjadi pada 1811,†tegas Nurul.
Peristiwa bentrok itu dimulai dengan serangan meriam tentara Inggris yang ditujukan pada bangunan Asta Tinggi di Kebunagung. Orang-orang Britis itu rupanya mengira Asta Tinggi ialah benteng keraton. Sehingga moncong meriam ditujukan ke sana. Namun serangan tersebut hanya mengenai atap atau cungkup. Itu pun konon banyak yang meleset.
Nah, singkatnya, serangan itu lantas dibalas oleh Patih Kiai Angabei Mangundireja dengan mengirim sejumlah pasukan barisan yang dipimpinnya langsung beserta seorang putranya. Pertempuran dahsyat pun meletus. Hanya saja perang tak seimbang, baik dari jumlah pasukan Sumenep sekaligus perlengkapan perang, yang kalah banyak dan modern dibanding milik pasukan Inggris.
Meski begitu, orang-orang Sumenep tak gentar dan tak takut mati. Mereka tetap bertahan meski banyak pasukannya yang gugur.
Kembali ke Ji Kantang, saat kontak fisik itu Ke Mangon dan pasukannya terus bertarung habis-habisan. Namun beliau pun roboh saat bedil serdadu Inggris menembus tubuhnya. Tokoh yang sudah sepuh itu pun menghembuskan nafas terakhirnya di Loji (Loji Kantang). Tepat di Jumat pertama bulan Sya’ban, di tanggal 10 tahun 1725 berdasar kalender tahun Jawa.
“Sehingga untuk mengenang itu, ada ungkapan Jimbrit baceng kamarong kellana maronggi, Inggris dateng Ke Mangon mate e Loji. Artinya Inggris dating, Kiai Mangon mati atau wafat di Loji,†kata Nurul.
Jenazah Ke Mangon dimakamkan di Asta Tinggi dengan kijing dan ornamen makam yang sangat istimewa. Konon, hal itu sebagai bentuk penghargaan dari Panembahan Natakusuma atas jasa-jasa sang patih.
RM Farhan
Write your comment
Cancel Reply