matamaduranews.com-SUMENEP-Lalu lalang di sepanjang jalur utama menuju “kota†Kalianget mungkin tak seramai di zaman keemasannya. Ya, kawasan yang kini secara administratif berstatus kecamatan pinggiran di belahan Kabupaten Sumenep, dahoeloe kala merupakan Kota Modern.
Mulai dari Pabian, Marengan hingga pelabuhan di ujung timur Kalianget, sekaligus ujung timur Sumenep dan Madura secara bersamaan, adalah hiruk-pikuk yang tak pernah bisa kita dengar lagi saat ini.
Di masa awalnya, Kalianget merupakan cikal-bakal kota modern di Madura Timur atau Sumenep. Kota ini juga sekaligus merupakan salah satu kota modern pertama di Nusa Garam. Istilah yang dipakai oleh generasi saat ini ialah “Kota Tuaâ€.
Sebutan kota tua tak hanya ada di Sumenep atau Madura. Namun juga di Jawa. Kawasan-kawasan Kota Tua di daerah lain mungkin tak seperti di Sumenep. Di sini tidak ada sterilisasi. Yang ada sepertinya hanya berupa pendataan. Penempatan kategori. Sehingga akhirnya, tergerus zaman tanpa adanya upaya perlindungan.
Nostalgia Kota Tua dan Sejarahnya
Penyebutan Kota Tua sebelum munculnya “Kota Lama†di Sumenep. Kota Lama ialah tata kota di yang sejatinya juga semasa dengan era Pemerintahan Hindia Belanda atau era kolonial.
Bedanya, tata kota di kawasan Kota Lama ini dibangun oleh Panembahan Natakusuma I alias Panembahan Sumolo (memerintah Sumenep pada 1762-1811), dan dilanjutkan oleh para penerusnya.
Kota lama juga tidak seratus persen mengadopsi pengaruh gaya bangunan Eropa. Namun lebih kental pada gaya arsitektur Jawa. Tanpa menafikan perpaduan beberapa arsitektur bangunan asing lainnya, seperti Arab, Cina, dan lain-lain.
Secara historis, kawasan Kota Tua didirikan oleh kongsi perdagangan bangsa asing atau VOC pada awal abad 18. VOC mulai tercatat menancapkan kukunya di kawasan Madura Timur pada 1705. Kala itu Sumenep berada di bawah pemerintahan Pangeran Rama alias Cakranegara II.
Kendati demikian, sebagian besar sisa peninggalan bangunan di Kota Tua berera 1830-an. Yang artinya di masa itu VOC telah bubar dan diteruskan Pemerintahan Kolonial.
“Di masa VOC memang tidak ditemukan sistem sentralistik pusat perkotaan modern di Sumenep. Karena memang yang ada sisa-sisa bangunan itu sudah berera Kolonial,†kata Hairil Anwar, salah satu anggota TACB Sumenep.
VOC memilih kawasan Kalianget sebagai pusat kongsi dagangnya dikarenakan letaknya yang sangat strategis dan merupakan bandar pelabuhan tersibuk di selat Madura. Di sanalah terletak pelabuhan Kertasada, pelabuhan tertua di Sumenep.
Sebagai penanda bahwa pihaknya “menang†atas Sumenep, VOC pun membangun sebuah benteng. Namun, karena dipandang kurang strategis, benteng pertama itu pun hanya selesai fondasinya saja. Letaknya tak jauh dari kantor BMKG Kalianget saat ini.
Lokasi benteng yang gagal dioperasikan itu oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan Loji Kantang atau Ji Kantang. Saat ini merupakan sebuah kampung yang secara administratif masuk kawasan desa Kalianget Barat.
Tidak berhenti di sana, VOC memilih kawasan lain sebagai “Lojiâ€. Di kawasan itu lantas dibangun sebuah benteng mungil. Lokasinya memang strategis, dan berada di dataran tinggi. Dari sana VOC memang lebih efektif dalam memantau keluar-masuknya kapal di Pelabuhan Kertasada.
Kembali pada Kota Tua, mulai dari bangunan RSI Kalianget saat ini, masih bisa ditemui bangunan-bangunan masa kejayaan VOC sekaligus masa Pemerintahan Kolonial. Seperti rumah-rumah bercorak Eropa dan bangunan-bangunan lain yang fungsinya beragam. Bangunan-bangunan itu lebih lima puluh persen dibangun pasca VOC alias di masa Kolonial.
Selain itu, kawasan tersebut juga difungsikan sebagai pemukiman-pemukiman orang Eropa. Pemukiman tersebut mulai menyebar ke arah barat, hingga di daerah Marengan dan Pabean.
Jika diamati, model arsitektural bangunan di kawasan tersebut memang memang cenderung terpengaruh kebudayaan indisch. Kebudayaan Indisch di Indonesia berkembang pada abad 17-18.
Bangunan besar di kawasan Kota Tua juga terkait dengan industri garam. Dalam sebuah foto lawas, bisa dilihat perumahan para karyawan pabrik garam dan taman-taman yang luas.
Salah satu bangunan megahnya ialah yang saat ini menjadi kantor PT Garam dan gedung center di kawasan Kalianget Timur.
Benteng VOC dan Kerkhof
Bangunan tua dengan pintu gerbang yang masih utuh itu tampak gagah dilihat dari luar. Namun ketika masuk ke dalam, hampir tidak ada yang bisa menggambarkan bentuk asli dari reruntuhan masa buram akibat cengkraman kuku penjajahan di era yang dikenal dengan VOC-nya itu.
Luasnya mungkin tidak seperti benteng-benteng di luar Madura. Karena sejatinya, benteng yang dibangun pada 1785 ini hanya sebagai penanda saja bahwa VOC “menang†atau berhasil mencengkram Madura Timur, khususnya.
Panjang dan lebar benteng, 150 meter dan 100 meter. Jadi, luas benteng tersebut adalah 1.500 meter persegi. Tinggi benteng sekitar tiga meter, yang mana di setiap sudutnya ada bataliyon yang berbentuk segi empat dan berfungsi sebagai tempat pengintai musuh. Khususnya saat suasana peperangan saat itu.
Di setiap bataliyon ada lubang-lubang kecil, manfaatnya untuk meletakkan senjata, utamanya, saat menyerang musuh.
Cagar budaya tertua peninggalan VOC ini memang tidak terawat sebagaimana cagar budaya lainnya. Dari sebuah papan nama di depan benteng, ada keterangan bahwa kawasan itu menjadi kawasan milik Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur. Luas keseluruhan 12.765 meter persegi. Jadi bangunan benteng berada di dalam kawasan Disnak Jatim itu.
Di musing penghujan ini area benteng sedikit dipenuhi rumput-rumput liar. Alih-alih dibersihkan, rerumputan itu mungkin menjadi tambahan pakan hewan ternak yang di waktu tertentu dibiarkan bebas di dalam benteng.
Tak banyak yang bisa digali dari sejarah benteng ini. Namun di masanya, bangunan ini terbilang megah, dan merupakan pusat pertahanan utama sekaligus terakhir VOC.
Di area benteng, menurut Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Sumenep, sejatinya banyak bangunan. Namun hanya tersisa di sudut belakang bagian timur dalam benteng. Bangunan itu mirip cungkup.
“Tidak bisa dipastikan itu fungsinya sebagai apa. Saya dengar itu tempat obat-obatan,†kata salah satu penjaga pintu masuk atau gerbang benteng.
Bangunan ini resmi menjadi milik Disnak Jatim sejak 1998 silam. Di luar benteng ada komplek pemakaman orang-orang yang diidentifikasi sebagai keturunan Belanda.
“Itu bangunan baru. Sekitar 1930-an. Kalau bangunan pemakaman orang-orang Belanda yang lama di sebelah selatan atau Kertasada. Disebut kampung Kerkop. Dari asal kata Kerkhof, bahasa Belanda yang bermakna mati,†kata Hairil Anwar.
Nah, terkait Kerkhof, saat ini material berharga, sekaligus prasasti-prasastinya yang sudah mulai raib dijarah orang. Lokasi yang menyimpan salah satu sejarah penting tentang memori masa silam itu juga sudah tergerus zaman, tanpa ada tangan-tangan yang mencoba melestarikan.
“Takut juga yang mau merawatnya mungkin, karena dikhawatirkan nanti mengundang tangan-tangan jahil,†kata Aank, salah satu warga Sumenep yang tengah mengunjungi tempat itu.
Yang dikatakan Aank masuk akal juga, karena fakta sejarahnya, pada tahun 1960-1970-an marak terjadi penjarahan benda-benda yang melekat pada bangunan makam. Penjarahan itu terjadi pasca para warga Eropa (Belanda) yang sebelumnya bermukim di kawasan Marengan dan Pabian itu kembali ke negeri asalnya.
Dari penelusuran Mata Madura, benda-benda yang dijarah waktu itu ialah ornamen, prasasti dan material yang mahal di masanya. “Seperti marmer dan patung-patung yang terbuat dari logam,†kata Hairil Anwar.
Dari hasil identifikasi Hairil dan kawan-kawannya sesama pemerhati sejarah, terdapat sekitar empat puluh makam lebih yang berada di kompleks tersebut. Kesemuanya dalam kondisi yang tak terawat dan hancur.
Bentuk makam-makam bangsa Kolonial di sana itu juga beragam dan begitu artistik. Ukurannya juga bermacam-macam. Mungkin menunjukkan strata dan status penghuni makam itu di masa hidupnya. “Dari jumlahnya yang puluhan itu hanya dua makam yang bisa diidentifikasi. Yaitu makam Dirk Van Duyne dan Lindeman,†ujar Hairil.
RM Farhan
Write your comment
Cancel Reply