matamaduranews.com-Kiai Sufi itu telah berpulang kehadirat Allah Swt. Innalillahi Wainnailaihi Ilaihi Roji’un. Kabar duka itu mengagetkan umat.
Kamis pagi (23/9/2021). Kabar duka itu tersiar di sejumlah grup WhatsApp.
"Innaa lillahi wainnaa ilaihi Raji'un. Telah wafat baru saja tepat pukul 23:30 wib Mbah KH R Imran Syahruddin
Pendiri dan pengasuh PP Nurul Huda, Pakamban Laok, Pragaan, Sumenep," begitu pesan duka di grup-grup WA, Kamis pagi.
Wakil Bupati Sumenep Nyai Dewi Khalifah membenarkan wafatnya KH Imran Syahruddin. "Beliau wafat malam epon," terang Nyai Eva-yang juga besan almarhum-via WhatsApp, Kamis pagi.
Saya tak banyak ngerti beliau. Hanya sekali bersua saat mengantar teman tahun 2013.
Namun, cerita sosok Kiai Imran Pakamban sudah akrab di telinga saya sebelum tahun 2013.
Seseorang-tak perlu saya sebut namanya-banyak bercerita tentang Kiai Imran. Seseorang itu, salah satu murid Kiai Imran. Waktu dia nyantri ke Kiai Imran juga ada KH R Kholil As'ad Situbondo yang katanya ikut nyantri ke Kiai Imran. Kiai Kholil saat muda, tentunya.
Kata seseorang, dari nasab-Kiai Imran masih bertalian darah dengan KH R As'ad Situbondo.
Dari cerita-cerita dari seseorang itu, hati dan pikiran saya seakan dekat dengan Kiai Imran.
Suatu waktu, ada saudara sepupu nanya kiai yang bisa bantu pengobatan ibunya. Saya cerita tentang sosok Kiai Imran Pakamban. Saya bilang kalau belum pernah sowan ke beliau.
Rute kediaman Kiai Imran hanya bisa memberi gambaran ke utara lapangan Pakamban, setelah Pondok Al-Amien Prenduan, sesuai cerita seseorang itu. Saudara sepupu langsung percaya apa yang saya ceritakan.
Keesokan hari. Sepupu mengabari kalau sudah pulang dari dhalem Kiai Imran. Sepupu bercerita sambil meneteskan air mata.
"Sengko' nangis. Bulu kuduk berdiri. Melihat wajah Kiai As'ad Situbondo berdiri. Sebelum saya datang. Kiai Imran ternyata sudah menunggu berdiri depan dhalemnya," cerita sepupu.
***
Pertengahan 2014, majalah Mata Sumenep menurunkan liputan sosok KH Sumenep Imran Syahruddin. Tulisan itu menyebut Kiai Imran salah satu sosok kiai langka di Sumenep.
Berikut hasil liputannya:
Selain usia tergolong lanjut, 85 tahun (pada 2014), keperibadian Kiai Imran amat sangat sederhana. Kehidupan asketisme (zuhud), beliau aplikasikan dalam sehari-hari.
Meski penuturan pelan, tapi menusuk relung hati paling dalam. Ada getaran batin yang terasa syahdu ketika mendengar dawuhnya. Sabdanya seperti suluh kehidupan.
Secara lahiriah praktek hidup Kiai Imran menyerupai para Sufi dulu. Atribut Sufisme terlihat dari sikap zuhud, wara’ dan qana’ah-nya. Sikap zuhud dan wara’ Kiai Imran memanfaatkan harta yang ada sesuai dengan kebutuhan. Kiai Imran tidak menginginkan banyak fasilitas.
Tempat tinggalnya juga sekedarnya, asal layak ditempati. Tanpa bermewahan. Kendati tidak sedikit tawaran datang dari para tamu untuk merenovasi kediamannya. Termasuk rencana bangunan masjid dan pesantren yang megah. Kiai Imran selalu menolak. Dengan alasan sangat sederhana.
“Banyak yang menawarkan Kiai Imran berangkat haji gratis. Termasuk bangunan masjid mewah. Tapi Kiai Imran selalu menolak,†tutur Pak Nto, yang mengaku pernah nyantri ke Kiai Imran di era 80-an, kepada Mata Sumenep.
Menurut Nyai Syarifah, puteri ke 10, dari 17 keturunan Kiai Imran, abahnya, memang selalu menolak bantuan untuk perbaikan tempat tinggal pribadi. “Pernah abah di beri mobil oleh puteranya. Tapi abah menyuruh untuk menjual kembali mobil tersebut,†tuturnya kepada, Mata Sumenep.
Dari silsilah keluarga, Kiai Imran masih memiliki kekerabatan dengan Kiai Haji Raden Syamsul Arifin, Situbondo (abah Kiai As’ad).
Kiai Syamsul memang berasal dari Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan. Begitupun Kiai Imran lahir di Kembang Kuning, Pamekasan, 25 Oktober 1930 (sesuai KTP), dari pasangan Kiai Haji Raden Syahruddin dan Nyai Zahro.
Karena itu, sewaktu muda, Kiai Imran sempat nyantri ke Kiai Syamsul, berlanjut ke Kiai As’ad, termasuk Kiai Umar, Sumber Beringin. Nyai Sarifah tidak menyebut durasi waktu mondok Kiai Imran di Situbondo.
Bagaimana asal muasal domisili Kiai Imron?
Nyai Syarifah bercerita, penentuan lokasi kediaman di Desa Pakamban Laok, berdasar saran Kiai Wongso, Kecamatan Lenteng, Sumenep.
“Abah sowan ke Kiai Wongso minta arahan, baiknya bertempat tinggal di mana, apakah di Jawa atau di Madura. Kiai Wongso menjawab lebih baik di Madura,".
Abah tanya kembali, apabila di Madura di Kabupaten mana?
"Kiai Wongso menjawab Sumenep. Jika di Sumenep, mana? (barat atau timur). Kiai Wongso menjawab di bagian barat yang ada alas (hutan) di pegunungan,".
"Dari saran Kiai Wongso, abah memilih bermukim di Desa Pakamban Laok, konon, di lokasi ini dulu, terkenal sebagai tempat angker (seram),†tutur Nyai Sarifah.
Sang menantu Kiai Imran, Abdul Waris Anwar, menjelaskan, tanah yang ditempati Kiai Imran saat ini berasal dari pemberian Abdul Rasyid, yang saat itu, masih hutan belantara.
Sekitar tahun 1962, Kiai Imran mendirikan tempat tinggal setelah sebelumnya berdomisili di Probolinggo.
Sejak itu, banyak tamu dari Probolinggo yang sowan ke sini,†ungkapnya. Para tamu datang dari berbagai daerah, menetap hingga beberapa hari di kediaman Kiai Imran.
Seiring berjalannya waktu, putra-putri Kiai Imran berinisiatif mendirikan Yayasan Ali Imron untuk mendirikan Pondok Pesantren Nurul Huda, pada tahun 1993.
Abdul Waris Anwar, menjelaskan, pesantren berdiri berdasar permintaan para tamu yang berkeinginan putranya untuk mengaji ke Kiai Imran. Hingga kini jumlah santri yang mondok di pesantren mencapai ratusan, berasal dari Pamekasan, Sampang, Bangkalan, dan seputar Probolinggo. Termasuk dari Sumenep.
Tamu yang datang rata-rata dari etnis Madura yang berdomisili di Jawa. Seperti, Probolinggo, Lumajang, Banyuwangi, Jember, Surabaya. Termasuk dari Madura.
“Salah satu tamu yang sering ke abah, seperti Ustadz Husni, Surabaya dan Ustadz Jamali, Sampang. Termasuk mantan Bupati Probolinggo, Hasan Aminuddin, masih berguru ke abah,†jelas Nyai Sarifah.
Para tamu biasanya datang rombongan naik bus pariwisata. “Tradisi di kami, setiap tamu yang datang, di sediakan dahar (makanan) sebagai bentuk penghargaan kepada tamu. Setiap sedekah dari tamu, abah langsung mensedekahkan kepada orang lain. Abah amat sangat sederhana sekali. Beliau selalu istiqomah memegang syar’i,†sambungya.
Sosok Kiai Imran rendah hati. Segala perbuatannya tidak berharap pujian manusia, kecuali berharap ridha Allah Swt.
Begitupun sikap qana’ah Kiai Imran juga diwujudkan dalam bentuk syukur melalui ketaqwaan utuh kepada Allah Swt.
Kepada para tamu, Kiai Imran selalu memberi wejangan sesuai dengan kebutuhan atau problem yang dihadapi. Seperti, ketika ada tamu yang mengalami problem rezeki, Kiai Imran menasehati dengan nasihat taqwa.
“Keyakinan utuh (ketaqwaan sempurna) kepada Allah Swt, sebagai penguasa alam, akan menolong setiap kesulitan yang menimpa hamba, asal diri kita memasrahkan diri kepada Allah Swt. Apabila kamu tidak berharap pertolongan-Nya, Allah Swt melepas dan menyerahkan sesuai hawa nafsumu,†dawuh Kiai Imran kepada tamu yang hadir.
Setelah berdiri Ponpes, masyarakat sekitar pesantren, berharap berdiri lembaga formal agar putra-putri desa setempat dan sekitar tidak bersusah jauh menuntun ilmu.
Maka di tahun 2007, berdiri SMP Miftahussa’adah. Pada tahun berikutnya, 2008, berdiri Paud Edelweis, dan pada tahun, 2009, berdiri SMK Al ‘Imran, serta pada tahun, 2010, berdiri MI Tahfid Al Quran. PP Nurul Huda, di bawah naungan Yayasan Ali Imran. (**)
hambali rasidi
Write your comment
Cancel Reply