Oleh: Jamalul Muttaqin*
Tidak pernah saya melihat pemandangan seperti ini sebelumnya. Di mana Kiai Ali Fikri tidak seperti yang saya banyangkan. Jauh melampaui apa yang tergambar dalam benak saya. Beliau mau bersusah-susah turun ke pelosok-pelosok menyapa masyarakat wong cilik. Tidak memangdang kelas tertentu. Beliau berlabuh, beliau menerobos batas dengan kegigihannya.
Sebagai Calon Wakil Bupat Sumenep memang bisa diakui itu cara kampanye beliau. Tapi, yang membuat saya heran. Ciri khas kesantrian dan karismatik yang terpancar dari wajah beliau nampak berseri-seri. Selalu tawadhu’ dan rendah hati ketika bertemu dengan siapapun. Aura sebagai sosok Kiai—sosok Kiai Ali Fikri—yang asli tidak pernah luntur, malah semakin menegaskan sifat sebagai pemimpin yang gigih dan lembut seperti Ali bin Abu Thalib.
Meski banyak lawan-lawan politiknya menyerang membabi buta menuduh beliau yang tidak-tidak (bahkan diluar batas kewajaran), Kiai Ali Fikri membalasnya seperti sosok Gus Dur saat diwawancari oleh Kick Andy tentang dilengserkannya menjadi presiden. “Biarkan sejarah yang membuktikan!â€
Perbedaan pilihan politik di Pondok Pesantren Annuqayah sangat wajar. Tapi, menyalahkan Kiai Ali Fikri adalah kesalahan kita dalam mencerna dinamika ini. Dari turunnya rekom antara Ra Mamak dan Kiai Ali Fikri jelas telah berbeda. Kiai Ali Fikri maju dengan konsisten sebagai Calon Wakil Bupati Sumenep, sedangkan Ra Mamak dengan konsisten maju sebagai Calon Bupati Sumenep. Jelas perbedaan ini tidak usah diperpanjang lagi. Tidak ada yang salah dari keduanya. Jika ada yang kecewa atas turunnya rekom itu semata-mata karena bukan kesalahan beliau, tapi kesalahan partai itu sendiri.
Sebagian pihak baik internal maupun eksternal masih saja mereduksi persoalan-persoalan yang berlalu. Padahal, keduanya bersaudara yang berpelukan, tak pernah sedikitpun menampakkan terhadap publik ada sekat apalagi hanya gara-gara politik. Baliau berdua putra terbaik KH. A. Warits Ilyas yang dilahirkan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pertanyaannya, kenapa ada sebagian masyaikh Annuqayah tidak satu pilihan. Sudah sejak dulu memang begitu. Bayangan saya, Annuqayah tidak pernah akan satu pilihan ketika calonnya yang diusung bukan dari Annuqayah sendiri. Saya keliru. Saat calonya adalah Kiai-nya sendiri, perbedaan itu semakin melebar.
Di saat-saat tertentu kadang pondok pesantren yang besar seperti Annuqayah hanya dimanfaatkan oleh sebagian politisi untuk meraup keuntungan suara masyarakat setiap Sumenep menggelar Pilkada. Nama-nama kiai sepuh Annuqayah selalu diseret dan dibawa-bawa para calon untuk mendapatkan nilai jual dan nilai tawar.
Lupakan itu semua. Saya sebenarnya ingin bercerita perihal sosok Kiai Ali Fikri. Hari ini. Ketika beliau telah yakin untuk meneruskan perjuangan ayahandanya, Kiai A. Warist Ilyas, hati saya bergetar. Mata saya berlinang. Sungguh, ini ijtihad politik yang luar biasa. Baru kali ini saya melihat beliau ingin berlabuh sendiri membangun Sumenep ketika hampir tiap waktu saya sowan beliau memberikan kritik dan meluruskan kinerja Pemkab Sumenep yang kurang berkenan. Mungkin saatnya beliau turun langsung untuk mengubah Sumenep seperti yang beliau impikan.
“Lihat! Pembangunan Sumenep. Apa pemerintah hanya bisa membuat gorong-gorong?†kata beliau tempo hari saat saya mempresentasikan sebuah program kerja pesantren. Bukan tanpa alasan beliau mengatakan begitu. Tentu saya sudah lupa arah pembicaraan pada waktu itu, setidaknya saya menyinggung bantuan perbaikan aspal jalan menuju jalan utama ke pesantren Annuqayah yang tidak kunjung ada titik terangnya.
Kemarin. Saya dibuat haru-biru dengan kegigihan beliau yang tidak pernah lelah dan letih untuk menyapa para alumni, untuk menyapa masyarakat ke berbagai daerah hatta kepulauan. Ada sebuah video perjalanan beliau ke kepulauan yang ditemani istri tercinta, Nyai Dwi’_panggilan dari Neng Dwi Sukmawati. Itu momen yang membuat hati saya tersentuh hingga bergetar. Begitu mulianya beliau ketika menaiki perahu dengan senyum khasnya bersama Nyai Dwi’ tercinta. Di sana ditemani masyarakat dan KH. A. Mutam Muchtar dari Annuaqayah yang selalu setia mendampingi perjalanan Kiai Ali Fikri.
Beliau melawan ombak di lautan, saya bisa merasakan apa percakapan Kiai Ali Fikri dengan masyarakat saat berkunjung dari pulau ke pulau. Beliau semakin gigih bukan hanya menyampaikan agenda politik, tapi menyampaikan dakwah perjuangan Ahlussunnah wal Jama’ah melalui PPP dan PKB.
“Sebagai manusia tentu saya memiliki banyak ketidaksempurnaan. Paling tidak para ulama sesepuh yang ada di dalam barisan partai Islam ini bisa membimbing kami untuk membangun Sumenep,†kira-kira begitu pesan beliau yang selalu disampaikan meski tidak sama persis.
Sebelumnya mungkin beliau tidak pernah merasakan berletih-letih, menanggung panas di bawah terik matahari yang menyengat, menanggung beban caci maki dari sebagian yang tidak suka kepada beliau. Padahal, sebelumnya Kiai jarang mendapatkan perlakuan seperti ini.
Tetapi, saya melihat itu adalah jalan kebahagiaan beliau ketika bersama masyarakat. Ya, ketika menemani masyarakat berkeluh kesah. Beliau lebih bahagia menukar waktu istirahatnya demi melayani umat. Saya sudah membayangkan, dan ingin melihat, kelak beliau bisa benar-benar menjadi Bupati Sumenep memakmurkan masyarakat.
Kenapa Kiai harus terjun langsung dalam dunia politik? Setidaknya mengutip dari yang dikatakan oleh Gus Baha’, kiai bisa menghidupkan syariah Islam. Fiqih politik bisa hidup di tengah masyarakat yang masih awam. Bayangkan ajaran-ajaran fiqih, tauhid, dan yang lainnya sebatas disebarkan lewat pengajian-pengajian. Apa tidak terlalu lamban Islam menyebar sebagai khazanah pengetahuan di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada yang salah ketika yang menggendalikan atau yang menggunakan bisa tepat memposisikannya.
Saya mengenal Kiai Ali Fikri, meski bukan santri kesayangan, paling tidak saya pernah mendapatkan tanggungjawab dari beliau untuk mengurus Organisasi Daerah (Orda) di pesantren Annuqayah daerah Lubangsa. Dari sana saya banyak belajar kepemimpinan kepada beliau. Saya juga pernah diberikan amanah untuk mengelola media dan kepustakaan.
Sesuatu yang paling saya ingat ketika saya ditunjuk untuk menjadi penanggungjawab untuk merumuskan tata tertib pondok pesantren Annuqayah Lubangsa. Pengalaman terakhir ini banyak membuat saya yakin bahwa sosok Kiai Ali Fikri benar-benar telah matang dalam urusan organisasi. Kami merancang Tatib beberapa bulan lamanya, rapat tiap malam sehabis Isya’ bersama para tim. Apa yang selalu beliau ingatkan kepada kami, "Jadilah orang yang istiqomah".
Seperti apa yang beliau katakan ketika diminta untuk mendaftarkan diri sebagai Calon Wakil Bupati dari partai PKB. Beliau menolak. “Cukup di PPP saja. Saya istiqomah dengan partai yang telah diperjuangkan oleh Abah saya,†kata beliau. Malam itu, waktu saya mendengar cerita ini dari Anggota Komisi II DPRD Sumenep, Juhari sebagai kader PPP, saya langsung teringat dengan pesan beliau. “Istiqomah itu indah dan pelakunya itu keren!â€
*Jamalul Muttaqin, penulis asal Sumenep yang intens mengikuti isu-isu politik. Saat ini masih aktif mengajar di SMP-SMA Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta.
Write your comment
Cancel Reply