Sampai saat ini Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) masih menjadi salah satu organisasi kemahasiswaan terbesar di tingkat Nasional. Bahkan pada tanggal 17 April tahun ini, keberadaannya sudah menginjak usia ke-62 tahun. Tepatnya dihitung dari mula berdiri di tahun 1960.
Dinamika konflik sosial yang dihadapi PMII dari awal memang tidak mudah. Sangat banyak rintangan yang terus dihadapi. Jika hal demikian tidak didasari oleh tekad, kesungguhan dan dalamnya pengetahuan, tentu dengan akan sangat mudah tumbang.
Sebab, kondisi sosial politik yang terjadi pada masa awal berdirinya PMII sangat carut marut. Hingga di pertengahan jalan, terpaksa memilih untuk mendeklarasikan independensi organisasi supaya tidak ada satupun institusi ataupun partai politik yang bisa memanfaatkan keberadaannya.
Hingga kini, carut marut konflik sosial dan politik sebenarnya belum tuntas total. Namun, dinamika yang terjadi tidak lagi seperti dulu. Lebih halus, dingin, dan senyap. Tapi jauh teramat dalam menusuk. Layaknya fakta yang ditulis M. Arif Pranoto dan Hendrajit berjudul Perang Asimetris.
Seolah dipaksa menghadapi realita, kader PMII harus mampu mengasah kepiawaiannya untuk menyelesaikan persoalan sosial yang sedang terjadi. Bahkan saat organisasi ini mulai direncanakan untuk didirikan, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PBNU) periode 1956-1984 Idam Chalid sudah menitipkan pesan. Jika memang kader nahdliyin sepakat untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan, maka tidak boleh mengarah pada ilmu untuk ilmu.
Maksudnya, PMII tidak boleh hanya ditujukan untuk mencetak kader yang piawai memperdebatkan ilmunya. Melainkan harus mampu merealisasikan secara nyata terhadap sosial. Baik dalam lingkup terkecil bagi semesta di dunia ini. Sebagaimana telah ditanamkan melalui nilai dasar pergerakan (NDP), yaitu memantapkan hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.
Tugas ini tidaklah mudah untuk diterapkan. Apalagi, jika doktrinasi idealisme yang ditanamkan hanya sebatas reaksioner dan praktis, sehingga cenderung menyebabkan pola pandang kader terlalu sempit. Bahkan terkadang mudah menjustifikasi problematika sosial secara subjektif.
Perlu disadari bahwa tantangan untuk kader PMII ke depan harus bisa menempati berbagai leading sector. Tidak terkecuali di kursi politik, ruang pendidikan, budaya, media, termasuk juga tokoh sosial keagamaan. Melalui hal demikian, diharapkan kader muda benih NU tersebut dapat menjadi kontrol terhadap ketidakstabilan rotasi kehidupan yang masih jauh dari klasifikasi sejahtera.
Sekalipun PMII secara kelembagaan menempatkan diri untuk tidak ikut campur pada urusan politik praktis dalam partai, tapi kader jebolannya tetap dituntut untuk masuk ke dalamnya. Tidak lain hanya untuk menjadi kontrol supaya kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat dapat diminimalisasi. Sekalipun, patut juga untuk diakui bahwa sebagian di antaranya masih banyak yang lupa jalan pulang.
Tapi, dari setiap kemungkinan yang akan terjadi tentu tidak semuanya buruk. Sampai hari ini, jika mengacu pada doktrinasi positif yang ditanamkan pada setiap diri kader, pasti masih ada yang sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Untuk itu, mungkin yang terpenting untuk disadari oleh seluruh kader PMII di usia organisasinya yang terus bertambah semakin tua adalah merefleksikan diri. Khususnya dalam mencapai cita-cita sebagai kader ulul albab.
Dengan demikian, kader PMII benar-benar mampu menjadi manusia yang bermanfaat untuk yang lain. Tidak hanya bagi umat Islam, apalagi sekadar kelompok kecil sesama agama. Bahkan bagi manusia yang tidak bertuhan sekalipun, tetap wajib menebarkan manfaat. Begitu juga untuk alam semesta secara umum. Wallahu A'lam, Salam Pergerakan.
*) Moh. Busri adalah mahasiswa dan kader PMII Komisariat STKIP PGRI Sumenep. Lahir di pelosok Desa Matanair, Kecamatan Rubaru, Sumenep.
Write your comment
Cancel Reply