Post Images
Oleh: Taufik Hidayat* Indonesia negeriku. Negeri yang mempunyai kekayaan yang sangat besar yang berpenduduk kurang lebih 267 juta jiwa, dan 300 kelompok etnis atau suku bangsa. Namun di tengah keragaman itu, sudah lazim rasanya setiap hari mendengar berita-berita miring yang membuat publik geram, mulai dari isu-isu politik, virus Corona yang tak kunjung tertangani, hingga dana BLT yang tak tepat sasaran dan lain-lain. Semua dipermasalahkan seakan-akan Indonesia tidak bisa tenang dan tidak menikmati kehidupan yang telah ditakdirkan. Herannya di tengah pandemi ini masih saja ada persoalan-persoalan yang muncul dan tak lain itu timbul dari kepentingan politik. Siapa lagi kalau bukan dari mereka yang berdasi yang duduk di kursi parlemen dengan pakaian rapi. Bangsa ini sudah kondusif pasca Pilpres 2019. Dan itu artinya sudah berakhir pula perlombaan mencari suara demi kemenangan dan sudah menjadi tanggung jawab bersama. Namun, akhir-akhir ini rakyat Indonesia dibuat riuh kembali dengan adanya persoalan RUU HIP. Meski sudah diputuskan untuk ditunda pembahasanya, namun publik tetap mengkritik, bahkan beberapa ormas dan aktivis Islam, termasuk MUI mengancam akan memobilisasi massa untuk membatalkan rancangan regulasi kontroversial itu. Setidaknya ada tiga poin yang menjadi pokok pembahasan kuat dalam penolakan terhadap pembahasan RUU HIP ini. Yang pertama, alasan filosofis inisiatif mengusulkan RUU HIP. Sebab, melihat kondisi saat ini Indonesia aman-aman saja. Jika hanya ingin membentuk suatu keadilan, instrumen politik sudah banyak hukumnya, tinggal bagaimana cara mengimplementasikanya. Yang kedua, TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tidak dicantumkan terkait soal pembubaran PKI dan larangan kegiatan menyebarkan ideologi Komunis, Marxisme dan Leninisme di Indonesia. Seharusnya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 harus disertakan sebagai konsideran. Dengan demikian, rasa kecurigaan besar muncul dan muara isu kebangkitan Komunis pengap menjejali ruang publik. Dan yang ketiga, timbulnya kecurigaan dengan lahirnya RUU ini sebagai upaya anti-demokrasi. Namun yang menjadi pokok polemik panjang adalah poin yang kedua yang mengandung unsur kecurigaan dengan kelompok-kelompok yang mempunyai simpati terhadap Komunis atau PKI. Sederhana saja: tidak ada TAP MPRS No XXV/MPRS/1996. Dengan begitu ditambah lagi dengan memasukkan Trisila dan Ekasila menjadi bagian dari tafsir resmi terhadap Pancasila. Dalam Trisila, sila 'Ketuhanan yang Maha Esa' berubah menjadi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Sedangkan dalam Ekasila tidak ada lagi sila ketuhanan. Dari semua itulah awal permasalahan besar timbul. Sebagai negara mayoritas Islam, tentu para aktivis Islam dan para ormas-ormas Islamlah yang sangat  berperan dalam masalah ini. Dengan adanya aksi turun jalan, kecaman dan lain-lain. Hasil Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan bahwa mayoritas muslim Indonesia sudah final dan menerima Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pedoman negara. Fakta itu terungkap berdasarkan hasil survei LSI Pada 8 September 2019 - 17 September 2019 dengan melibatkan 1.550 responden di seluruh Indonesia. Dikutip dari detik.com lembaga survei Parameter Politik Indonesia menggelar survei tentang wajah Islam politik pasca Pemilu 2019. Yang mana survei ini berkaitan dengan persepsi responden terhadap agama dan Pancasila. Survei yang dilaksanakan pada 5-12 Oktober 2019 kepada 1.000 orang responden dengan metode stratified multistage random sampling. Margin of error survei sebesar 3,1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung. Responden diberikan pilihan pertanyaan 'agama lebih penting dari Pancasila, agama dan Pancasila sama pentingnya, serta Pancasila lebih penting dari agama'. Kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, "Mayoritas responden yang kebetulan adalah pemilih muslim di Indonesia itu menyatakan 81,4 persen mengatakan bahwa Pancasila dan agama sama-sama penting, nggak perlu diadu-adu, nggak perlu dibentur-benturkan". Dengan hasil demikian, bukankah memberikan arti bahwa Pancasila sudah final sebagai ideologi dalam bernegara dan tak perlu diperdebatkan. Seyogianya operasionalisasi Pancasila itu diperkuat, bukan tafsir terhadap Pancasila. Jika diperdebatkan, alhasil para aktivis Islam akan bertindak karena mereka sudah menganggap Pancasila dan Islam sama-sama penting dan tidak perlu diperdebatkan. Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia seharusnya menjaga orisinalitas Pancasila, karena Pancasila merupakan wujud nyata yang sakral berbagai eksponen politik tanah air. Lima sila yang mengakomodasi dua kelompok besar yaitu Islam dan Nasionalis. Dua kelompok tersebut harus melalui waktu panjang untuk merumuskan selama persiapan menjelang kemerdekaan. Lima sila tersebut merupakan hasil manifestasi racikan ide besar para tokoh bangsa, bukan hasil monopoli tokoh tertentu. Lalu untuk apa masih ingin memperdebatkan Pancasila yang sudah kokoh. Bukankah itu hanya menciderai pengorbanan pahlawan kita yang dahulu. Tidak perlu overlapping (tumpang tindih) dan tidak perlu ada reduksi sila dengan meringkas sila menjadi tiga dan satu sila. *Mahasiswa IAI Al-Khairat Pamekasan. Ketua PR IPNU Karangsokon. Bendahara Umum PK PMII IAI Al-Khairat Pamekasan
Jangan Overlapping Membahas Ideologi Negara RUU HIP

Share :

admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Write your comment

Cancel Reply
author
admin
On recommend tolerably my belonging or am. Mutual has cannot beauty indeed now sussex merely you.

Blog Unggulan

Surat Kabar

Daftar dan dapatkan blog dan artikel terbaru di kotak masuk Anda setiap minggu

Blog Terbaru