Hidup bertoleransi dalam bernegara dan bermasyarakat sangat dibutuhkan, bahkan memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjaga keberagaman. Apalagi bertoleransi dalam perbedaan keyakinan agama. Untuk masa sekarang tidak mudah menemukan seseorang yang mampu bertoleransi di setiap keadaan. Di Indonesia sendiri, hal seperti ini masih belum menyeluruh dan mendarah daging dalam jiwa individu masyarakatnya. Mungkin hal semacam ini wajar, karena orang-orang pribumi lahir dan berkembang dengan corak yang berbeda, mulai suku, ras, agama dan adat istiadat. Sehingga, pemikiran yang tertanam tidak mau lepas dari kebiasaan yang sudah mendaging.
Seperti dalam buku ini. Penulis, Muhammad Muhibbuddin, mengajak pembacanya untuk kental lagi dalam bersikap toleran. Karena dengan tolerasi, negara ataupun masyarakat tidak akan mudah terpecah belah dengan etnis yang berbeda. Hal itu sebagaimana dia paparkan dalam buku terbarunya ini, melalui kepemimpinan panglima muslim yang berasal China. Benar! Tokoh tersebut adalah Laksamana Cheng Ho, pemimpin perang yang memiliki misi perdamaian ke setiap negara.
Cheng Ho sendiri memiliki nama asli Ma He. Akan tetapi, nama tersebut tidak objektif untuk dijadikan sumber keterangan. Sebab dalam catatan sejarah Dinasti Ming tak ada keterangan lengkap tentang panglima yang memiliki jasa terhadap dunia ini, mulai silsilah keluarga dan rekam jejak kehidupannya.
Panglima yang akrab dengan beberapa pemimpin negara pada masanya, khususnya Jawa dan Sumatera ini, lahir dari keluarga muslim Yunnan, Tiongkok. Dalam buku ini, ada beberapa paragraf yang menyatakan bahwa Cheng Ho dikenal sebagai Kasim. Dan karena waktu itu Tiongkok masih didominasi kultur dan sistem kebangsawanan, seorang kasim (dalam status sosial) dipandang rendah meskipun memilik prestasi yang gemilang.
Ekspedisi yang dilakukan Cheng Ho sebenarnya ingin membuktikan pernyataan yang dikemukakan oleh Kaisar Ming, “bahwa rakyat di segala penjuru adalah keluarga,â€. Itulah yang menjadi prisipnya untuk mejelajah dunia, sehingga ekspansi yang dilakukannya ke berbagai negara murni hanya ingin mendamaikan dunia, serta memuliakan dan menerapkan syari’at Islam, dengan harapan seluruh negara memiliki toleransi yang erat dalam berbilateral.
Untuk Indonesia sendiri, sosok Cheng Ho bisa di sejajarkan atau disamakan dengan KH Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dikenal Gus Dur yang mencintai perdamaian. Cheng Ho juga demikian, lebih-lebih dalam hal beragama. Seperti pada pelayarannya, di dalam kapal saat hendak beribadah, Cheng Ho mempersilakan rombongannya untuk beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing, yang tentunya tidak sedikit dari rombongannya yang beragama Budha dan Tao, sedangkan Cheng Ho beribadah sesuai keyakinannya sendiri. Hal ini yang kemudian menjadi alasan Cheng Ho dicintai oleh banyak orang.
Buku ini sangat bagus dibaca bagi pencinta sejarah, karena di dalamnya mengulas kisah-kisah perjalanan Cheng Ho, panglima yang berada di bawah kerajaan Kaisar Ming, dan memiliki toleransi terhadap agama dan budaya. Selain itu, buku ini juga ditulis dengan narasi yang ringan dan mudah dipahami oleh semua kalangan. Oleh karenanya, kehadiran buku ini diharapkan bisa menjadi rujukan untuk menciptakan bangsa atau masyarakat yang saling menghargai agar ke-Bhinneka-an Tunggal Ika benar-benar diwujudkan oleh bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Wallahu a’lam
*Penulis lahir di Jember, 29 September 2000. Saat ini sedang nyantri dan berstatus mahasiswa INSTIKA Guluk-Guluk, Sumenep pada Fakultas Syari’ah Program Study Hukum Ekonomi Syari’ah (HES) Semester IV. Aktif di berbagai komunitas menulis dan karya-karyanya tersebar di beberapa media online dan cetak.
Write your comment
Cancel Reply