Oleh: Ahmad Farisi*Â
Kata “Gus†dan “Raden†pada umumnya adalah dua kata yang biasa digunakan untuk mengawali nama seseorang. Sebagai misal, seperti Kiai Abdurrahman Wahid, di panggil Gus Dur dan seperti Kian Santang, dipanggil Raden Kian Santang.
Kata “Gus†dan “Raden†adalah dua kata yang tak biasa. Dikatakan tak biasa, karena dua kata ini tak sembarang orang bisa menyandangkan pada awal namanya.
Pada khususnya, secara kultural, golongan masyarakat yang bisa menyandang nama atau predikat “gus†dan “raden†hanyalah keluarga raja dan kiai. Jika keturunan raja dipanggil “radenâ€, maka “gus†adalah panggilan untuk anak/putra kiai.
Di Jogja, saya punya teman. Namanya Fadil, ia orang Klaten. Ayahnya (Alm) adalah seorang pengasuh pesantren. Karena ia merupakan keturunan kiai besar yang memiliki banyak santri, maka di kalangan teman-teman ia biasa dipanggil “Gus†Fadil.
Ya, secara khusus, kata “gus†hanya diperuntukkan untuk mereka yang anak kiai.
Candra Malik, sang budayawan, dalam esainya yang berjudul Gus juga mengatakan hal yang senada. Menurutnya, “gusâ€, dalam pemahaman umum, adalah panggilan penghormatan untuk putra kiai yang disematkan sebelum namanya.
Ia memperoleh gelar sosial itu sejak dilahirkan. Jika kepercayaan masyarakat meningkat didasarkan atas akhlak, ilmu, dan amalnya, seorang gus bisa kemudian ditahbiskan jadi kiai. Bisa jadi, gus itu menerimanya. Bisa pula, ia lebih suka tetap dipanggil, ’’gus!’’(Jawa Pos, 22/12/2019).
Di Madura, istilah “gus†dikenal dengan sebutan “loraâ€. Jadi, jika Anda ke Madura, dan bertemu dengan putra kiai besar. Spontan Anda akan menemukan anak kiai tersebut dipanggil “loraâ€. Bukan “gusâ€. Namun, maksud dan tujuannya sama, yakni—mengutip Candra Malik—untuk memberi penghormatan.
Lain daripada itu, sebenarnya juga ada yang bukan keturunan kiai pesantren, namun juga mendapat gelar “gusâ€. Siapakah dia? Orang ini biasanya adalah orang yang secara ilmu keagamaan, akhlak dan cara bersosialnya sama persis dengan seorang “gus†putra kiai.
Sehingga, meskipun ia bukan keturunan kiai pesantren, namun sisi keilmuannya yang tinggi dan perilaku sosialnya yang mulia juga dianggap pantas mendapatkan gelar “gusâ€, pun bukan lahir dari keluarga kiai.
Ya, secara filosofis, kata “gus†sebenarnya bukan hanya melambangkan sisi keturunan sang empunya nama. Namun juga sisi keilmuan dan akhlak sosial yang ada pada dirinya. Soal ilmu, tentunya ilmunya pun tak sembarang ilmu. Harus ilmu agama. Agam Islam tentunya.
Jadi, orang seperti Anda, atau seperti saya yang notabene adalah anak petani, dengan cara memperdalam ilmu agama dan memperbaiki akhlah dan serta perilaku sosial senyatanya juga masih bisa mendapatkan gelar “gusâ€. Pun tidak secara kultural.
Hal itu, berbeda dengan kata “radenâ€. Kata “raden†bersifat paten. Artinya, tidak boleh tidak nama ini hanya berhak disandang oleh mereka yang keturunan raja. Jadi, jika kata “gus†di atas melambangkan sisi keturunan/kasta dan sisi kedalaman ilmu agamanya. Maka, selain untuk menegaskan faktor keturunan dan sisi kekeluargaannya, kata “raden†juga dimaksudkan untuk mendeklarasikan kekuasaan politik si empunya nama.
Jadi, kalau orang seperti Anda atau saya yang besar dari orang tua petani bisa bermimpi untuk mendapatkan gelar “gus†dengan cara memperdalam ilmu agama sedalam-dalamnya, melebihi dalamnya samudera Atlantik, mungkin. Maka, jangan sekali-kali bermimpi untuk mendapat gelar “radenâ€. Sebab, hal itu adalah kesia-siaan. Kecuali, orang tua Anda hendak mendirikan kerajaan baru, seperti Sunda Empire, misalnya. Hehehe.
Lalu, pertanyaannya kemudian, bisakah seorang raden mendapatkan gelar “gus� Jawabannya sangat bisa. Tetapi, perdalam dulu ilmu keagamaannya; perbagus akhlak; dan perilaku sosialnya layaknya seorang putra/anak kiai. Niscaya, gelar “gus†juga akan disematkan oleh masyarakat dan publik.
Dan lalu, bisakah seorang “gus†mendapat gelar “raden� Jawabannya juga sangat bisa. Dengan syarat, si kiai sebagai ayah si “gus†bersedia membangun kerajaan baru. Wkwkw.
Dan pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika seorang politisi yang dianugerahi gelar “gus†oleh para pendukung politiknya, seperti seorang politisi Sumenep yang tiba-tiba dipanggil Gus Acing, misalnya? Padahal, secara keilmuan-keislaman, belum begitu pasti seperti “gus-gus†keturunan kiai? Bahkan, akhlak dan perilaku sosialnya masih patut dipertanyakan.
Ya, jawabannya sangat mudah. Kita kembali pada satu kriteria fundamental yang telah ditetapkan di atas, yakni faktor biologis, atau sekonyong-konyongnya memenuhi sarat keilmuan, akhlak dan perilaku sosial. Jika sesuai, ya..., itu sah-sah saja. Namun, jika tidak, paling-paling ia “gus musiman†atau, “gus abal-abalâ€yang membawa banyak kepentingan di pundaknya. Hohoho.
Tetapi sudahlah. Semoga saja penganugrahan gelar “gusâ€-nya bukan gelar “gus†ala Gus Nur, yang dengan gelar “gusâ€-nya kerap kali sesuka hati menggunakan tafsir bebas dan dan senaknya. Apalagi soal politik. Sumpah serapah jadinya. Wallahu A’alam.
*Esais, tinggal di Twiter @farisiaris dan Instagram @farisi_af.
Write your comment
Cancel Reply