Oleh: Luthfi Widaksono*
Ajang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan diselenggarakan serentak pada 9 Desember tahun 2020 mendatang menjadi perbincangan hangat masyarakat di Indonesia, khususnya di daerah Solo, Jawa Tengah. Pasalnya, calon kandidat untuk menjadi kepala daerah di Solo merupakan anak sulung dari Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. Ia dicalonkan sebagai Wali Kota Solo berdampingan dengan Teguh Prakosa.
Banyak kalangan masyarakat yang akhirnya menuai pro dan kontra terhadap isu majunya Gibran Rakabuming Raka menjadi calon Wali Kota Solo. Kemudian yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah dinasti politik itu boleh dilakukan atau sebaiknya dihindari? Dan bagaimana kita sebagai masyarakat yang menjunjung demokrasi menyikapinya? Mari sama-sama kita pahami terlebih dahulu pengertian dasar dari dinasti politik itu sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dinasti berarti keturunan raja-raja yang memerintah dan semuanya berasal dari satu keluarga. Karena Indonesia dulunya dipimpin oleh seorang raja atau sistem monarki, maka munculah istilah Dinasti Politik. Hal inilah yang mendasari penyebutan Dinasti Politik kepada para calon pemimpin yang masih terikat hubungan darah yang bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
Perbedaan antara Indonesia ketika masih berbentuk sebuah kerajaan dengan Indonesia saat ini menggunakan sistem demokrasi dalam mewariskan kekuasaan yaitu pada proses pemilihan. Bisa dikatakan pada masa kerajaan seorang raja memiliki kekuasaan absolut untuk menyerahkan jabatan raja kepada anak pertamanya secara langsung tanpa campur tangan siapapun. Sementara pada sistem demokrasi seorang anak/keturunan penguasa terlebih dahulu masuk ke dalam sebuah institusi seperti partai politik dan kemudian mencalonkan diri melalui proses prosedural, seperti pemilihan kepala daerah, gubernur, maupun presiden.
Isu Dinasti Politik di Tanah Air
Melanggengkan warisan kekuasaan di dalam negeri sendiri tampaknya bukan barang baru yang terjadi di Indonesia. Dinasti politik pada sistem demokrasi Indonesia telah terjadi di era Orde Baru pemerintahan Soeharto, di mana anak-anaknya menduduki posisi penting dalam dunia politik. Adalah Bambang Trihatmodjo dan Siti Hardijanti Hastuti (Tutut). Pada tahun 1993 ketika ayahnya masih menjabat sebagai presiden, Bambang mengisi posisi Bendahara Golkar, sedangkan Tutut dipersiapkan untuk mempertahankan dinasti politik Soeharto dengan ditunjuk sebagai Menteri Sosial pada tahun 1998, namun gagal akibat lengsernya pemerintahan Soeharto pada tahun yang sama.
Kemudian pada pemerintahan Megawati Soekarno Putri, di mana kedua anaknya menduduki jabatan dalam partai. Prananda Prabowo menjabat Kepala Ruang Pengendali dan Analisis Situasi PDI-P. Sementara Puan Maharani berhasil menjadi anggota DPR RI melalui PDI-P dari Dapil Jawa Tengah pada 2009. Kasus maupun fenomena dinasti politik kekeluargaan tidak hanya dilakukan oleh para presiden terdahulu. Banyak para pejabat maupun pemimpin daerah yang kemudian memanfaatkan kekuasaannya untuk bisa mengangkat anak maupun kerabatnya dalam menduduki jabatan politik tertentu.
Pada Pilkada 2020 yang akan datang tidak hanya putra sulung Jokowi saja yang maju, putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah, akan maju dalam pemilihan Wali Kota di Tangerang Selatan. Masih di daerah yang sama juga ada keponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, yang akan berhadapan dengan Azizah dan masih banyak lagi keturunan maupun kerabat yang muncul dalam fenomena Dinasti Politik di Tanah Air.
Dinasti Politik dalam Kacamata Demokrasi
Fenomena-fenoma “mengistimewakan†anak maupun kerabat sudah sering terjadi bagi para pemegang kekuasaan. Hal ini merupakan kesempatan yang belum tentu bisa dimanfaatkan untuk kedua kalinya. Dinasti politik tidak sepenuhnya buruk sebagaimana yang diketahui oleh masyarakat. Setiap orang berhak untuk maju dalam sebuah ajang pemilihan dengan memenuhi syarat yang berlaku. Ajang pemilihan sendiri merupakan bentuk kontestasi yaitu bisa dipilih atau pun tidak sama sekali.
Sebagaimana tertulis pada UUD Tahun 1945 pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwasanya "kedaulatan berada di tangan rakyat†yaitu bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Demokrasi sendiri yang berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka tidak ada salahnya untuk maju dalam pemilihan secara demokratis, asalkan tujuan utamanya yaitu rakyat, dan bila rakyat berkehendak maka akan memilih calon tersebut.
Namun, yang salah dalam pemilihan ini ialah ketika seorang kepala daerah atau pemimpin pemerintah lainnya memanfaatkan kekuasaannya dengan mengangkat anak maupun kerabatnya dengan cara memberi keistimewaan khusus tanpa proses seleksi. Pengangkatan seorang anak atau kerabat tersebut pun tidak lain karena adanya keinginan penguasa untuk mewariskan kekuasaan. Akibatnya bisa sangat fatal, apabila calon tersebut tidak memiliki sifat kepemimpinan yang mumpuni atau tidak kompeten dalam bidangnya, maka akan kesusahan dalam memperbaiki permasalahan yang ada.
Tingkat kejahatan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan permasalahan sosial lainnya akan terus bertambah akibat pemimpin yang tidak mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Inilah yang membuat demokrasi semakin lama kian kehilangan identitasnya di masyarakat. Demokrasi bukan lagi sebagai pedoman, namun hanya sebuah tulisan di buku Undang-Undang. Inilah yang harusnya kita sebagai bangsa berdemokrasi hindari.
Mari hadirkan dalam diri ini sifat kebangsaan dan tunjukkan bahwasanya Pancasila adalah jalan kita dalam memperkuat demokrasi serta tolak apapun pemilihan yang berbau sistem dinasti. Karena kita memiliki hak dalam memilih, maka pilihlah pemimpin yang berlandaskan kesejahteraan rakyatnya. Karena sejatinya pemimpin yang baik, pemimpin yang bermasyarakat adalah pemimpin yang menerapkan Pancasila dalam setiap perbuatannya.
*Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
Write your comment
Cancel Reply