Oleh: Muhtadi.ZL*
Di tengah merebaknya virus Corona yang semakin erat memeluk kehidupan manusia di dunia, membuat manusia resah dan gelisah dengan ketetapan Tuhan yang meraka anggap siksaan atau musibah. Kendati demikian, kehadiran virus ini sebenarnya menjadi titik kesadaran umat manusia yang selalu disibukan dengan hal-hal yang berbau materi. Hingga pada akhirnya mereka lupa bahwa ada banyak kegiatan yang mereka lupakan bersama keluarga atau lebih bemanfaat dengan berada di rumah saja demi mencari rupiah. Dengan adanya pandemi ini, banyak dari mereka mengatakan kehadiran virus Corona sebagai teguran untuk dirinya yang jarang meluangkan waktu bersama keluarga. Sehingga, mereka memberikan persepsi kepada situasi yang kita jalani ini sebagai siksaan.
Paradigma di atas teramat dangkal untuk diutarakan dan dikoarkan ke khalayak umum. Misalnya ada dari sebagian khlayak umum percaya, maka banyak yang menduga bahwa situasi saat ini adalah tanda akhir zaman yang semakin dekat. Padahal tidak demikian, banyak hal yang perlu dipertimbangkan untuk mengklarifikasi bahwa kiamat sudah dekat, bahkan sebagian ayat Al-Quran dan hadis-hadis nabi banyak menguraikan tenang tanda-tanda akhir zaman. Misalnya seperti buku terbaru sang mufasir Indonesia, M. Quraish Shihab, yang berjudul “Corona Ujian Tuhan, Sikap Muslim Menghadapinyaâ€. Dalam buku ini, ayah dari Najwa Shihab tersebut memberikan banyak pandangan terhadap fenomena yang sedang kita nikmati dalam keadaan berduka, karena banyak aktivitas yang tidak bisa kita lakukan di luar rumah.
Secara tegas, dia menyatakan bahwa Corona bukanlah siksaan seperti anggapan mereka yang memiliki ilmu keagamaan yang dangkal, sehingga menggunakan dalil Al-quran yang maknanya tidak denotosai atau tidak memiliki relasi sama sekali dengan Covid-19 ini. Inilah kekeliruan individu yang hanya mengatasnamakan dirinya agamawan tetapi tidak mengetahui secara detail ayat yang dikoar-koarkan. Sehingga dengan seperti itu, apa yang dia katakan menjebak banyak orang pada lubang ketakutan. Dan hal ini bisa pula dikategorikan pada fitnah karena menyebarkan berita bohong yang dasarnya memang dari Al-Quran tapi maksudnya jauh maksud yang Al-Quran maksudkan.
Dalam buku ini, yang namanya siksaan adalah tidak mengenai kaum muslim atau non-muslim yang berbuat kebajikan. Justru sebaliknya, siksaan hanya dikhususkan pada umat manusia—tanpa memandang agama—yang bernuat mungkar. Karena sesuai sejarah yang pernah terjadi pada kaum Nabi Nuh AS yang ketika itu diperintahkan oleh Allah untuk membuat perahu untuk memuat kaumnya yang beriman. Dan terjadi pula pada umat Nabi Luth yang diperintahkan untuk menjaga umatnya yang beriman kepada Allah. Sehingga, kaum dari dua Nabi tersebut mendapatkan siksaan akibat kamungkaran yang diperbuat mereka sendiri. Hal ini tidak berlaku pada virus Corona yang disebut siksaan, karena masih berlaku pada orang yang beriman dan tidak beriman. Tidak dapat dinamai siksa Ilahi karena ia masih menimpa muslim dan non-muslim yang durhaka maupun taat (hal. 7).
Pengkultusan redaksi yang tidak tepat pada posisinya selalu meresahkan dan menyesakkan. Sebab, banya kegamangan yang akan dihadapi jutaan kepala dan pikiran. Di sinilah kehadiran buku ini memimiliki peran yang sigifikan untuk meluruskan paradigma jutaan orang yang sudah terkena imbasnya. Apalagi hal seperti itu diorasikan saat dunia mengalami paceklik seperti saat ini. Sungguh kebodohan yang lebih rendah dari bodoh.
M. Quraish Shihab juga menjabarkan dengan detail apa yang disebut musibah atau dalam Istilah Islam bala’. Menurutnya, sesuai dengan beberapa ayat yang beliau kutip di surah Muhammad , setiap yang hidup akan Allah uji. Dengan demikian, implikasi dari problem di sini adalah bahwa musibah atau bala’ masuk dalam ranah ujian dari-Nya. Arti ujian secara formal sangat universal. Sehinga, beliau memberikan spesifikasi untuk apa yang diebut musibah atau bala’. Misal Allah menguji kita dengan anugerah berupa anak, bila di lain waktu anak itu menangis dan kita (naudzubillah) tidak sabar, maka anak itu akan menjadi amukan nafsu kita. Namun seandainya kita bisa melawan itu, maka akan menjadi hidayah buat kita. Misal juga kita diberikan banyak rezeki berupa uang. Andai kita tidak bisa mengontrol nafsu kita, maka uang yang biasanya untuk kebutuhan hidup, justru dibuat berjudi, bermain seks atau menggunakan pada maksiat lainnya. Inilah yang disebut nafsu.
Dalam konteks ini, Sayyidina Ali RA pernah berkata, kalau ada musibah, jika ia menimpa yang durhaka, maka itu adalah pendidikan. Bila menimpa yang taat, maka itu adalah ujian. Jika Nabi dan Rasul itulah peningkatan derajat dan kedekatan pada Allah. Sedang jika menimpa para wali, maka itu adalah penghormatan untuknya (hal. 15-16). Begitulah sistematika dalam pengujian Allah terhadap umat manusia. Sehingga, dari sini sangat jelas bahwa yang namanya siksaan lahir dari golongan yang kolektif tidak taat atau durhaka pada Allah. Sedangkan kalau musibah atau bala’ adalah ujian yang substansinya ingin meningkatkan derajat manusia, lebih-lebih pada kekasihnya.
Dari sini kita juga bisa menyadari bahwa yang namanya Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) Â adalah ujian dari sang pencipta untuk umat manusia. Sebab imbasnya bukan pada orang yang durhaka, melaikan orang yang taat pun tak luput tersisisr oleh virus yang pertamakali ditemukan pada bulan Desember 2019 ini. Kehadiran virus ini banyak menimbulkan spekulasi dari berbagai kalangan. Ada yang mengatakan bahwa virus ini disebabkan oleh cara makan orang Cina, ada pula yang mengatakan ini adalah tentara Allah. Untuk spekulasi yang kedua ini, banyak menimbulkan cacat pemikiran. Kenapa? Telah kita ketahui bersama bahwa yang namanya tentara Allah itu untuk melawan kaum yang (dalam konteks sekarang) kriminalis. Nah, virus ini bukan untuk melawan hal demikian, justru orang alim mati, dan yang berbuat kejahatan hidup dengan legowo.
Musibah atau kehadiran virus ini tidak perlu dirapi dengan air mata. Sepatutnya kita berdoa dengan harap sangat kita bisa melewatinya dan menjadi manusia yang dicintai-Nya. Sebab, tidak mungkin Allah menguji hambanya tanpa kemampuan untuk melawannya. Musibah adalah keniscayaan hidup, semua kita mengalaminya dan semua kita dianugerahi kamampuan oleh Allah untuk memikulnya (hal. 18). Sehingga, sangat mungkin dan lebih baik kita menggunakan waktu lowong kita dengan dengan banyak berdoa dan melakukan ibadah bersama dengan keluarga. Karena dengan begitu, kita akan mengetahui makana hidup yang sebenarnya.
*Penulis adalah Pengurus Perpustakaan Ponpes Annuqayah daerah Lubangsa. Mahasiswa Instika Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah. Aktif di Komunitas Cinta Nulis (KCN) dan Komunitas Penulis Kreatif (KPK).
Write your comment
Cancel Reply